Penyebutan LSL yang Rancu dalam Berita HIV/AIDS

Pemakaian istilah LSL dalam berita HIV/AIDS sering tidak tepat karena tidak semua murni laki-laki gay, ada yang mempunyai istri
Ilustrasi. (Sumber: thehealthsite.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Belakangan ini judul-judul berita di media massa dan media online tentang HIV/AIDS selalu mengumbar terminologi: LSL, gay, homoseksual dan seks menyimpang.

Pemakaian istilah LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) dalam berita HIV/AIDS sering tidak tepat karena tidak semua LSL yang disebut dalam berita itu murni sebagai laki-laki gay karena ada di antara mereka yang mempunyai istri.

Ini contoh judul berita LSL dan gay (secara internasional dikenal sebagai MSM - Men who have sex with men):

  • Kelompok LSL Mendominasi Kasus Baru HIV/AIDS di Kota Sukabumi
  • Kaum Gay Mendominasi Terjangkit HIV di Palembang
  • Puluhan Warga Kota Serang Terjangkit HIV, Kaum Gay Mendominasi
  • Terlibat LSL, 7 Orang Dinyatakan Positif HIV-Aids
  • Gay Penyebar Dominan HIV Sukabumi

Di sela-sela kegiatan “Semiloka Kekekerasan Berbasis Gender dalam Perspektif Kelompok Populasi Kunci di Isu HIV” yang diselenggarakan oleh Wahana Cita Indonesia (WCI) di sebuah kafe di Kota Tangerang, Banten, 2/11-2022, ada pembicaraan tentang pemakaian terminologi LSL dalam pemberitaan terkait dengan HIV/AIDS.

Ternyata batasan LSL sangat sepele yaitu jawaban atas pertanyaan: Apakah pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis?

Itu untuk keperluan program penjangkauan yang dibalut dengan terminologi ‘populasi kunci.’ Tentu saja batasan yang sangat tipis itu tidak sesuai dengan kaidah orientasi seksual tentang LSL, yang juga dikenal sebagai laki-laki gay, yaitu laki-laki yang (hanya) tertarik secara seksual dengan laki-laki.

Namun, dalam beberapa kasus penjangkau menemukan LSL yang ditarik ke dalam ‘populasi kunci’ mempunyai istri.

Kok bisa?

Ternyata tidak sedikit laki-laki gay yang berhadapan dengan konstruksi sosial yaitu seorang laki-laki ditandai dengan mempunyai istri dan keturunan (anak).

Laki-laki gay pun ingin menutupi orientasi seksual mereka di lingkungan keluarga dan pergaulan sosial serta di tempat kerja sehingga mereka menikah. Tapi, itu terjadi karena terpaksa atau dipaksa.

Seorang penjangkau yang ikut pada semiloka pernah mendampingi seorang perempuan yang menikah dengan LSL, semula suami tidak memberitahu (calon) istrinya kalau orientasi seksualnya adalah homoseksual, dalam hal ini gay.

Dalam perjalanan hidup pasangan itu terbongkar status LSL si suami. Tentu saja terjadi persoalan besar yang akhirnya perpecahan tapi tidak sampai pada perceraian.

Hanya saja suami tidak pernah memberikan nafkah batin lagi karena memang bukan orientasi seksualnya. “Yang lebih parah uang belanja pun suaminya yang pegang,” kata penjangkau tadi.

Makanya, dalam kaitan itu Dr Dede Oetomo, aktivis GAYa Nusantara Surabaya, mengatakan perlu dipertanyakan untuk apa istilah itu diperlukan.

Jika untuk program, maka untuk dipublikasikan harus jelas batasannya karena LSL yang jadi bahan berita tidak murni laki-laki gay lagi.

Ada wacana LSL yang mempunyai istri masuk ke klasifikasi biseksual. Tapi, Dede tidak setuju karena, “Belum tentu orientasi seksual mereka itu memang biseksual,” ujar Dede melalui komunikasi WA, 4/11-2022.

orientasi seksual
Matriks: Orientasi Seksual. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia)

Untuk itulah Dede meminta jika untuk konsumsi publik, seperti berita disebut laki-laki gay atau LSL yang mempunyai istri.

Terkait dengan hubungan seksual, menurut Dede, ada yang terpaksa melakukannya karena sudah suami-istri. Memang, ada juga yang tidak terpaksa, “Namun, kurang gairah jika dibandingkan dengan hubungan seksual sesama laki-laki,” kata Dede.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS ada penggiringan opini publik, bahkan global, bahwa yang bermasalah dengan HIV/AIDS adalah kalangan homoseksual.

Padahal, data kasus HIV/AIDS menunjukkan kasus terbanyak justru terdeteksi pada kalangan heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis).

Laporan siha.kemkes.go.id menunjukkan persentase HIV yang ditemukan dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2022 secara nasional berdasarkan transmisi (faktor risiko) yaitu heteroseksual 28,9% dan homoseksual 18,2%. Sedangkan pada kasus AIDS faktor risiko penularan terbanyak melalui hubungan seksual berisiko heteroseksual (69,9%), sedangkan homoseksual (8,6%).

“Iya, entah mengapa ya, dari dulu yang disebut berisiko hanya kalangan gay,” kata Dede tentang sikap banyak kalangan yang hanya melihat gay sebagai populasi yang rentan tertular HIV/AIDS.

Masih menurut Dede, penempatan kalangan gay sejak epidemi dikaitkan dengan komunitas yang berisiko (tertular HIV/AIDS).

Yang bikin kisruh adalah gay atau LSL disebut sebagai berisiko, padahal yang berisiko adalah perilaku seksual bukan gay atau LSL sebagai orientasi seksual.

Untuk diketahui, kalangan heteroseksualpun bisa terperangkap dalam perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Fakta menunjukkan di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seks pada kalangan heteroseksual jauh lebih banyak daripada kalangan homoseksual.

Untuk itulah Dede berharap terminologi gay dan LSL dipakai untuk keperluan program bukan untuk publikasi yang justru bisa menyesatkan yaitu ada di antara mereka yang mempunyai istri.

Kalau tetap dipublikasikan disebut saja berapa dari LSL itu yang murni laki-laki gay dan LSL yang mempunyai istri agar masyarakat memperoleh informasi yang akurat. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Kasus Pemaksaan Sterilisasi Sebagai Kekerasan Berbasis Gender Ditemukan di Tangerang Banten
Selain beberapa jenis kekerasan seksual ditemukan juga kekerasan berbasis gender, seperti pemaksaan sterilisasi, di wilayah Tangerang, Banten
0
Penyebutan LSL yang Rancu dalam Berita HIV/AIDS
Pemakaian istilah LSL dalam berita HIV/AIDS sering tidak tepat karena tidak semua murni laki-laki gay, ada yang mempunyai istri