Kasus Pemaksaan Sterilisasi Sebagai Kekerasan Berbasis Gender Ditemukan di Tangerang Banten

Selain beberapa jenis kekerasan seksual ditemukan juga kekerasan berbasis gender, seperti pemaksaan sterilisasi, di wilayah Tangerang, Banten
Ilustrasi - Parlemen menyerukan kekerasan berbasis gender untuk dimasukkan sebagai area kejahatan baru di bawah hukum Uni Eropa. (Foto: europarl.europa.eu/© Dominique FAGET/AFP)

TAGAR.id, Kota Tangerang, Banten – Selama ini yang sering terdengar hanya kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Padahal, ada kekerasan yang jauh lebih serius yaitu kekerasan yang terjadi karena terkait dengan gender, seperti pemaksaan sterilisasi terhadap perempuan pengidap HIV/AIDS ketika melahirkan.

Hal itu tentu saja jarang terdengar karena terkait dengan perlakuan buruk, fisik dan nonfisik, terhadap warga dengan berbagai latar belakang gender.

Kekerasan seksual yang berbasis gender di wilayah Tangerang Raya (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangeang Selatan) terungkap dalam “Semiloka Kekekerasan Berbasis Gender dalam Perspektif Kelompok Populasi Kunci di Isu HIV” yang diselenggarakan oleh Wahana Cita Indonesia (WCI) di sebuah kafe di Kota Tangerang, Banten, 2/11-2022.

Misalnya, ada transgender yang dipaksa memakai pakaian laki-laki baru dilayani di sebuah pusat layanan kesehatan (Pusyankes) pemerintah. Ini merupakan bentuk kekerasan berbasis gender.

“Kasian teman itu karena tidak bisa berobat hanya karena dia seorang transgender (lebih dikenal sebagai waria-Red.),” kata seorang peserta.

Kegiatan semiloka diikuti oleh aktivis dari IPPI Banten, KDS Perwata, Penjangkauan WCI – Wahana Cita Indonesia, Pendamping sebaya JIP, AKTA, dan Tim CSS.

Ancaman kekerasan fisik juga bisa terjadi. Seperti yang dialami oleh pengagas acara ini, Aeini Nasution, Advocacy Officer Kota Tangerang, Banten, Dia adu mulut dengan warga di lingkungannya yang menolak kehadirannya sebagai warga.

Selain kekerasan berbasis gender yang dialami Aeni itu juga merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak ada UU di Indonesia yang melarang transgender bermukim di Tanah Air karena UU tidak mengenal pembedaan hak dan kewajiban warga negara berdasarkan jenis kelamin dan gender.

Gender mengacu kepada karakteristik (ciri khas) fisik dan biologis perempuan, laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki yang dikonstruksi berdasarkan norma sosial. Termasuk norma terkait dengan perilaku dan peran yang jadi seorang perempuan, laki-laki, anak perempuan atau anak laki-laki serta hubungan antara satu sama lain.

Namun, perlu diingat sebagai hasil dari konstruksi sosial, gender bervariasi dari satu budaya ke budaya lain, dari satu sistem sosial ke sistem sosial lain serta dari satu kaangan masyarakat ke masyarakat dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Misalnya, urusan masak-memasak dan kegiatan terkait bunga (kembang) selalu dikatakan urusan perempuan. Tapi, fakta menunjukkan juru masak (chef) justru jauh lebih banyak laki-laki. Begitu juga dengan perangkai karang bunga dikerjakan oleh laki-laki.

Yang disayangkan kekerasan, stigma dan diskriminasi justru sering terjadi di sarana pelayanan umum dan kesehatan negara (pemerintah). Sejatinya negara ada untuk membela warganya apapun jenis kelamin, status sosial dan gendernya.

Selain itu pelecehan seksual berbasis gender juga jadi masalah. Seperti yang disampaikan oleh Hady Irawan, staf di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Tangerang, suitan atau siulan cowok terhadap cewek di jalan raya atau di angkutan umum merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender.

Celakanya, masyarakat anggap enteng karena sudah jadi pemandangan sehari-hari, padahal di dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah diatur jenis-jenis pelecehan seksual dengan sanksi pidananya.

Di Pasal 4 ayat1 disebutkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

a. pelecehan seksual nonfisik;

b. pelecehan seksual fisik;

c. pemaksaan kontrasepsi;

d. pemaksaan sterilisasi;

e. pemaksaan perkawinan;

f. penyiksaan seksual;

g. eksploitasi seksual;

h. perbudakan seksual; dan

i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Di Pasal 4 ayat 2 disebutkan: Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:

a. perkosaan;

b. perbuatan cabul;

c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;

d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;

e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;

f. pemaksaan pelacuran;

g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;

h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;

i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan

j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kegitan cowok yang menggoda cewek dengan suitan atau siulan dan pemaksaan kontrasepsi merupakan bentuk perbuatan yang melawan hukum sesuai Pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu pelecehan seksual nonfisik dengan ancaman hukuman penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10.0OO.000.

Peserta lain mengeluhkan soal pemaksaan tenaga medis di rumah sakit terhadap perempuan pengidap HIV/AIDS yang melahirkan untuk disterilisasi permanen dengan mengangkat rahim. Padahal, pemaksaan sterilisasi merupakan bentuk perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 huruf d yaitu pemaksaan sterilisasi.

“Yang saya tahu saja sudah lebih dari lima orang yang dipaksa sterilisasi,” kata peserta tadi yang juga menghadapi pemaksaan sterilisasi ketika dia melahirkan. Tapi, dengan halus dia menolak sehingga lolos dari perbuatan yang melawan hukum dan HAM itu.

Yang menyedihkan ada perempuan pengidap HIV/AIDS yang lari dari rumah sakit karena dipaksa jalani steriliasi setelah melahirkan. Akibatnya, perempuan tadi putus pengobatan obat antiretroviral (ART) yang justru berdampak ke masyarakat karena dia akan menularkan HIV/AIDS ke laki-laki yang menikahinya kelak.

Tampaknya, perlu kerja keras untuk memasyarakatkan UU TPKS ini agar warga bisa menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan seksual, termasuk kekerasan berbasis gender. []

Berita terkait
Bintang Sinetron Jin dan Jun, Yuyun Sukawati Jadi Korban KDRT
Bintang sinetron Jin dan Jun, Yuyun Sukawati dikabarkan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari sang suami, Fajar Umbara.
0
Kasus Pemaksaan Sterilisasi Sebagai Kekerasan Berbasis Gender Ditemukan di Tangerang Banten
Selain beberapa jenis kekerasan seksual ditemukan juga kekerasan berbasis gender, seperti pemaksaan sterilisasi, di wilayah Tangerang, Banten