Yogyakarta - Angin kencang menerjang sejumlah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu 20 Oktober 2019 malam. Puluhan pohon di lereng Merapi itu bertumbangan menutup akses jalan dan sebagian menimpa rumah warga.
Relawan Tim Reaksi Tepat (TRC) Kecamatan Pakis Sumarman mengatakan, angin kencang juga menyebabkan atap rumah berterbangan. "Pohon tumbang berakibat tertutupnya akses jalan," kata dia, Senin 21 Oktober 2019.
Dia menjelaskan, Minggu 20 Oktober 2019 pukul 20.53 WIB angin yang bertiup masih kencang. Sehingga tidak memungkinkan untuk penanganan.
"Pukul 22.01 WIB sekitar 50 warga di Dusun Kekoan, Desa Pogalan, Kecamatan berkumpul di lapangan. Warga dituntun menuju Balai Desa Pogalan agar lebih aman," katanya.
Berdasarkan laporan dari TRC Pakis, ada tiga desa yang terdampak angin kencang. Rinciannya di Desa Ketundan, empat dusun yakni Rembyungan, Kecitran, Ketundan dan Kiyudan, Desa Pogalan ada satu dusun yakni Kekoan dan Desa Kenalan ada dua dusun, Kenalan dan Kedakan).
"Angin kencang juga melanda Dusun Pelem, Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan. "Bangunan garasi roboh. Pohon tumbang menutup akses jalan Dusun Swanting, Desa Banyuroto," ujar dia.
Kepala Stasiun Klimatiogi Mlati, Yogyakarta Reni Kraningtyas mengatakan, angin kencang di kawasan lereng Merapi mulai terjadi pada Minggu, 20 Oktober 2019 pukul 19.30 WIB.
"Kejadian itu dipicu anomali aliran angin lembah, angin mengalir dari lembah ke arah gunung," katanya.
Aliran tersebut yang membawa udara dingin dan lembab sehingga terjadi kondensasi dan terbentuk awan Cumulonimbus (Cb) di lereng pegunungan.
Menurut dia, angin lembah biasanya terjadi siang hari saat bagian dengan dataran yang lebih luas dan lebih rendah telah mendapat pemanasan matahari yang cukup.
Diperkirakan itu turut andil memicu kejadian bencana lokal angin kencang ini
Di arel pegunungan, secara umum suhu udara biasanya lebih dingin di bandingkan daerah di lereng. Maka sirkulasi udara lokal cenderung bergerak turun atau angin gunung.
Namun, pada saat kondisi di tempat lebih panas di bagian atas, maka sirkulasi lokal dapat berbalik sehingga menyebabkan angin lembah atau dari atas ke bawah menjadi lebih kuat dari biasanya.
Pada topografi tertentu, oleh pengaruh bentuk lereng dan permukaan pegunungan, angin lembah itu dapat membentuk pusaran angin pada area dan skala yang lebih kecil.
"Ini seperti yang terjadi di Kecamatan Selo Boyolali pada Senin 21 Oktober 2019 pagi," kata Reni.
Menurut dia, angin kencang kembali lagi pada Senin, 21 Oktober 2019 pukul 10.00 WIB di Kecamatan Selo Boyolali, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Dari laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY dan BPBD Magelang, Jawa Tengah, di lereng sebelah barat-barat daya dan tenggara Merapi, berdampak debu-debu tebal beterbangan hingga menutupi pandangan mata.
Reni menjelaskan, angin kencang di kawasan Merapi di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Sleman bersifat sangat lokal. Alasannya, selain mengacu kepada konsentrasi wilayah kerusakan, kecepatan angin pun berbeda dengan dataran rendah lainnya.
"Kecepatan angin di lereng Merapi mencapai 80 kilometer per jam (skala fujita), sedangkan pengukuran di Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta 16 kilometer per jam," kata Reni.
Dia memperkirakan, angin di lereng Merapi berhembus kencang secara lokal, lebih kencang di malam hari, karena ada peningkatan aktivitas Merapi.
"Diperkirakan itu turut andil memicu kejadian bencana lokal angin kencang ini," ujar dia.
Reni menjelaskan, peningkatan aktivitas Merapi berupa erupsi awan panas pada 14 Oktober diikuti guguran lava pada 15 Oktober 2019 menyebabkan peningkatan suhu permukaan di kawasan puncak Merapi. "Tekanan udara di wilayah ini menjadi cukup rendah," ungkapnya.
Menurut dia, dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan. Suhu yang lebih panas akibat erupsi Merapi dan guguran lava dalam waktu yang lama, mampu menurunkan tekanan udara permukaan. Sehingga udara mengalir ke wilayah dengan suhu lebih panas. []