Jepara - Pengusaha kayu dan mebel di Jepara, Jawa Tengah mengeluhkan pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Selain tidak berdampak pada bisnis, pemberlakuan sistem itu menjadikan pengusaha seperti korban dari kepentingan bisnis antar negara.
Hal itu mencuat dalam diskusi yang digelar Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Kayu (HIMKI) Jepara. Bekerja sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jepara dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jateng.
Diskusi membahas tata kelola niaga kayu. Digelar di Sriya Cafe and Homestay itu, Rabu, 13 November 2019 dan diikuti puluhan usahawan kayu.
Negara tidak memiliki nilai tawar dalam melakukan ekspor kayu.
Bukan tanpa alasan jika pengusaha mendesak SVLK dihapus. Sebab regulasi tersebut dianggap tak memiliki nilai manfaat bagi produknya. Seperti disampaikan Ketua HIMKI Jepara, Maskur Zainuri. Selama ini mereka hanya menjadi obyek penderita atas peraturan verifikasi legalitas kayu.
"Negara tidak memiliki nilai tawar dalam melakukan ekspor kayu. Sehingga Indonesia harus mengalah dan menjalankan SVLK. Kalau tidak punya itu maka crude palm oil dari Indonesia akan di-banned beredar oleh Uni Eropa," jelas dia.
Diketahui, SVLK menjadi syarat wajib pengusaha kayu yang hendak mengekspor kerajinan mereka ke Eropa. SVLK juga dinilai sebagai sebuah regulasi untuk melindungi hasil hutan dari Indonesia. Dengan peraturan ini, bahan baku untuk mebel dan furnitur memiliki kejelasan asal dan legal.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah meminta pengusaha tetap mematuhi kebijakan itu. "Jangan jadikan regulasi tersebut sebagai masalah. Karena hingga kini ada 32 perusahaan yang mengajukan permohonan," kata Ahli Madya Muhammad Syafardi, sebagai Pengendali Ekosistem Hutan.
Sementara, Asisten Bidang Perekonomian Pemerintah Jepara Muhammad Fadchurrozi menyebut pengawasan terhadap lalu lintas kayu di Jepara belum maksimal. Hal itu berimbas pada validitas jumlah kebutuhan kayu.
"Kalau jumlahnya untuk kebutuhan industri pengolahan kayu dan furnitur sekitar 2.500 meter kubik per bulan. Namun itu juga belum valid, karena perhitungannya didasarkan pada dokumen ekspor barang dan surat keterangan asal," jelas dia. []
Baca juga:
- Kerajinan Limbah Kayu Jepara Laris di Benua Biru
- Kayu di Hutan Lindung Pessel Terus Dijarah
- 57 Kontainer Kayu Ilegal Senilai Rp 16,5 Miliar Asal Papua, Gagal Beredar di Jawa