Baru saja saya menonton film dokumenter berjudul American Factory. Film ini berkisah tentang nasib para pegawai General Motors yang menganggur karena pabriknya tutup. Puluhan ribu jumlahnya. GM tutup karena merugi.
Pabrik kemudian dibeli perusahaan pembuat kaca mobil dari China, bernama Fuyao inc. Harapan baru muncul karena ada investasi asing masuk dengan nilai 500 juta dollar. Tenaga kerja di Amerika pun kembali terserap.
Tapi di sinilah masalahnya. Ternyata kultur kerja orang Amerika dan China sangat berbeda. China menganggap orang Amerika terlalu santai bekerja, tidak memenuhi standar, banyak libur, penuntut dan pengeluh. Dan satu yang membuat China kesal adalah serikat pekerja yang merecoki perusahaan.
Pekerja Amerika ternyata mirip pekerja Indonesia. Cuti dan liburnya banyak, pengeluh, penuntut, kualitasnya rendah, dan lebih sibuk gabung dengan serikat pekerja yang mempolitisasi mereka.
CEO Fuyao kemudian mengajak beberapa orang eksekutif dari Amerika ke China. Di sana mereka diperlihatkan bagaimana orang China bekerja. Di sana, satu pekerja China bisa meng-handle pekerjaan yang dilakukan dua orang Amerika. Mereka bekerja seperti tentara sedang perang.
Pekerja China sengaja didatangkan dari jauh, tidak dari sekitar pabrik. Itu supaya mereka tidak terganggu masalah keluarga sakit, ada yang menikah, atau orang tua pengen ketemu yang menyebabkan pekerja China harus ambil cuti.
Pekerja China hanya libur seminggu sekali dan pulang kampung setahun sekali. Selebihnya mereka bekerja, menjaga perusahaan tidak rugi karena kalau perusahaan bangkrut, mereka dan keluarga tidak makan.
Pekerja Amerika ternyata mirip pekerja Indonesia. Cuti dan liburnya banyak, pengeluh, penuntut, kualitasnya rendah, dan lebih sibuk gabung dengan serikat pekerja yang mempolitisasi mereka.
Inilah yang membuat China agak malas investasi di Indonesia. Belum UMR yang tinggi, yang tidak sesuai tingginya kinerja. Mau tidak mau China harus jadi rujukan investasi, karena mereka sekarang sedang punya uang. Mau masukin pekerja dari China, entar dituduh Chinaisasi.
Karena itulah, untuk menarik investasi asing - khususnya China - di sini, pemerintah sedang menyiapkan RUU Omnibus Law khusus lapangan kerja. Dalam RUU itu, pemerintah akan menghapuskan "cuti khusus" yang biasanya mengganggu investor.
Cuti khusus ini biasanya dinikmati pekerja Indonesia, mulai dari izin tidak masuk haid hari pertama, menikah, menikahkan anak, membaptis anak, istri keguguran, sampai cuti kalau ada keluarga yang meninggal dunia. Belum kalau ada kegiatan keagamaan.
Kebanyakan cuti khusus, pekerjaan jadi lamban. Dan yang namanya investor tidak mau rugi. Daripada investasi di Indonesia yang sibuk dengan serikat pekerja yang selalu menuntut ini itu, mendingan mereka buka di Vietnam atau Thailand.
Bagaimana seandainya serikat pekerja menolak RUU Omnibus Law khusus pekerja itu?
Film American Factory yang baru saja menang Oscar dan dikerjakan Barrack Obama itu, punya jawaban. China akhirnya mau investasi asal mereka boleh mengganti pekerja dengan robot, yang menurut mereka lebih punya standarisasi lebih jelas dan tidak ribut.
Yang rugi akhirnya para pekerja yang sering menuntut itu. Mereka kembali menganggur dan bertahan hidup dari musim dingin yang ganas. Ya bagaimana bisa kerja, enggak ada perusahaan yang mau rugi karena sibuk memikirkan keinginan pegawainya.
Film American Factory meski lokasinya terjadi di Amerika, bisa jadi adalah wajah Indonesia ke depan kalau kita tidak segera memperbaiki apa yang sudah terjadi.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya telah di-publish di laman Facebook Denny Siregar dengan judul Belajar dari Film American Factory
Baca juga:
- Denny Siregar: Propaganda Reshuffle Nadiem Makarim
- Denny Siregar: Pemilih Jokowi Sedunia, Saat Cinta Jadi Kecewa