Dalam Filsafat Ilmu, 'Agama dan Sains Persoalan Mendasar antara Kedua Bidang Itu'
Oleh: Darwin Steven Siagian*
Istilah sains atau ilmu, dalam pengertian lengkap dan komprehensif, adalah serangkaian kegiatan manusia dengan pikirannya dan menggunakan berbagai tata cara sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang teratur mengenai gejala-gejala alami, kemasyarakatan, dan perorangan untuk tujuan meraih kebenaran, pemahaman, penjelasan, atau penerapan.
Kata sains berasal Latin, scientia (science, bahasa Inggris), yang berarti pengetahuan, sedangkan pada kelanjutannya berasal dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari, mengetahui.
Sains menggunakan metode-metode dan berbagai eksperimen yang validitasnya terus-menerus dikaji ulang dengan ketat dan terukur.
Agama mewajibkan kepercayaan terhadap keluhuran, agama adalah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka makna yang lebih besar.
Agama diyakini sebagai pencipta alam semesta dan kehidupan, menyatakan kehendak-NYA dalam sejarah, dan memberikan norma-norma moral-sosial yang perlu ditaati oleh manusia.
Agama berjalan di tempat karena memang sifatnya yang dogmatis, Agama tidak bisa berubah terlalu banyak karena harus merujuk pada satu sosok yang terikat oleh ruang dan waktu yang statis.
Sains menggunakan metode-metode dan berbagai eksperimen yang validitasnya terus-menerus dikaji ulang dengan ketat dan terukur.
Sains Ilmu pengetahuan dipakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan sistematik dan objektif serta dapat diteliti kebenarannya.
Sains memahami hubungan sebab-akibat di antara fenomena-fenomena alam, tetapi sains selalu tertarik pada kebaruan yang lebih menjanjikan bukti.
Nah, perbedaan sifat tersebut menyulitkan kedua hal ini berjalan beriringan. Apalagi kemajuan sains akhir-akhir ini yang semakin didukung oleh perkembangan teknologi.
Suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukkan.
Alasan utama meraka bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran ajarannya dengan tegas, sementara sains bisa melakukannya.
Agama mencoba bersikap diam diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkret tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain, sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”.
Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral, klaim kaum skeptic; karena itu, mesta ada suatu “pertentangan” antara cara-cara pemahaman ilmiah dan pemahaman keagamaan.
Penyiksaan oleh Gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 dan tersebarnya agama serta teologi yang antiteori evolusi Darwin pada abad ke-19 dan 20.
Lambatnya pemikiran keagamaan (teologi) menerima gagasan ilmiah seperti itu, dan fakta bahwa banyak orang yang beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, memberi kesan bahwa agama tidak pernah bisa akur dengan sains.
*Akademisi