Opini: Saatnya BRIN Dievaluasi

Sudah saatnya, secara kritis, BRIN, dievaluasi, agar kemanfaatannya bagi bangsa dan negara bisa dibanggakan ke depan.
Gedung BRIN atau Badan Riset dan Inovasi Nasional. (Foto: Tagar/ BRIN)

Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi Universitas Gadjah Mada 

Sudah empat tahun berjalan, kinerja institusi BRIN belum menunjukkan hasil nyata bagi bangsa dan negara.

Beberapa hari yang lalu, saya melawati BATAN Jogja yang sekarang menjadi BRIN. I feel sorry. Dahulu ketika saya masih mahasiswa di Departemen Teknik Nuklir, FT-UGM, 1984-1988, hampir setiap hari saya berada di Batan Jogja, kuliah dan praktikum. Sekarang tinggal kenangan.

Saya berulang kali mengingatkan, bahwa BATAN, LAPAN, LIPI, BPPT, dan Litbang Kementerian-kementerian, masing-masing punya karakteristik sendiri-sendiri. Ketika orang-orang itu dicabut dari tempat lama dan dikantongi dalam wadah yang namanya BRIN, maka yang terjadi adalah sebagai berikut:

1. Merusak jaringan yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh seorang peneliti

2. Merusak tradisi keilmuan seorang peniliti

3. Memutus matarantai akses penggunaan peralatan laboratorium.


Sudah saatnya, secara kritis, BRIN, dievaluasi, agar kemanfaatannya bagi bangsa dan negara bisa dibanggakan ke  depan.


Mari kita lihat di luar sana, tidak ada fenomena peleburan lembaga-lembaga penelitian seperti BRIN. Jerman hingga hari ini masih eksis dengan Max-Plank Institut, Deutsche Forschung Gemainschaft, Deutsche Zentrum fuer Raum und Luftfahrt, Forschung Zentrum Juelich, dll. Mereka tidak pernah dilebur, karena Pemerintah Jerman paham betul dengan istilah tradisi keilmuan. Lembaga-lembaga yang saya sebutkan di atas, saling bersinergi, dalam karakteristiknya masing-masing membangun Jerman. *Zukunft ist unsere Aufgabe*.

Saya pernah mendengar dari berbagai sumber soal berdirinya BRIN. Argumen pemerintah lucu dan keliru. Di satu sisi, pemerintah tidak mampu memanfaatkan kepakaran peneliti-peneliti yang ada di dalam negeri, di lain hal, pemerintah menyuruh diaspora untuk kembali ke tanah air. Untuk apa? Jadi pengangguran?

Jangan selalu berpikir pragmatis dan liberal. Konsep investasi keilmuan, juga harus dipahami.

Kalau saya boleh memilih, dengan dalih tetap produktif dalam melakukan penelitian, saya memilih tetap tinggal di Ecole des Mines de Saint-Etienne (EMSE), France, tempat saya postdoc dahulu. Ini bukan persoalan nasionalisme, lebih pada fakta dan realita, pemerintah tidak becus memanfaatkan kepakaran peneliti-peneliti jagoan yang ada di dalam negeri.

Tidak usah jauh-jauh menengok Jerman, lihat saja Tiongkok.

Dikotomi riset terapan dan riset dasar adalah omongan anak kecil yang baru belajar berjalan kemarin sore.

Organisasi Lembaga Penelitian itu harus ramping dan fleksibel secara organisasi. Sedang BRIN terlalu besar, menjadi inersia tinggi (lembam) dan amorphous.

Sudah saatnya, secara kritis, BRIN, dievaluasi, agar kemanfaatannya bagi bangsa dan negara bisa dibanggakan ke  depan. []

Berita terkait
Opini: Peneliti BRIN Ancam Bunuh Warga Muhammadiyah?
Peneliti BRIN ancam akan membunuh warga Muhammadiyah gara-gara dianggap tidak patuh pada Pemerintah soal tanggal Hari Raya Idul Fitri?
Peneliti BRIN: Food Estate Butuh Waktu, Tidak Semudah Membalik Telapak Tangan
Pasalnya, ke depan program tersebut dapat bermanfaat untuk menjaga ketahanan pangan baik tingkat regional, nasional hingga internasional.
Kemenko Marves, BRIN, dan BSN Bagikan Beasiswa Taliasih sebagai Bentuk Perayaan Natal
Menko Luhut menuturkan bahwa sudah seharusnya Natal menjadi momentum untuk mewujudkan kasih bagi sesama, tolong-menolong, peduli.