Opini: Penistaan Agama, Siapa yang Tidak Bisa Bertoleransi

Saya mengingatkan kepada siapa saja, untuk tidak sesekali pun menyentuh simbol-simbol agama apapun ketika berbicara atau beropini di ruang publik.
Ilustrasi Toleransi (Foto: Tagar.id/Freepik.com)

Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi UGM

Kasus penistaan agama muncul lagi di tanah air. Lina Mukherjee menyajikan sebuah content di ruang publik, yang menurut saya sebagai muslim, tidak pantas dan beresiko.

Ini link-nya: https://youtu.be/LLP35FSRJ3o.

Makan daging babi, itu urusan Lina Mukherjee. Namun, jika peristiwa makan daging babi diumbar di ruang publik, sebagai content yang ditonton orang banyak, apalagi dibumbui narasi-narasi atau terminologi keagamaan, pasti akan bermasalah.

Sapa nandur bakal ngundhuh.

Saya tidak membela atau menghujat Lina Mukherjee. Saya hanya mengingatkan kepada siapa saja, untuk tidak sesekali pun menyentuh simbol-simbol agama, agama apapun, ketika berbicara atau beropini di ruang publik.

Saya ingin berbagi pengalaman saya selama hampir 18 tahun hidup di Eropa. Apakah di sana tidak ada penistaan agama? Jelas ada, sangat vulgar dan konyol.

Tahun 1989, orang Jerman, tidak begitu sensitif terhadap sentimen agama. Namun, amat sangat sensitif dengan ras. Sehingga, istilah Auslaender (orang asing) begitu mencolok di ruang-ruang publik. Fenomena rasisme di Jerman naik drastis, pasca Jerman bersatu, September 1990.

Saya pernah menghadiri pameran lukisan di Kota Aachen, dengan beberapa teman, saya masuk gedung pameran lukisan, dan saya melihat ada lukisan Yesus yang digambar hampir telanjang duduk di atas altar, di bawahnya murid-muridnya juga hampir telanjang.

Ditambahi narasi, Yesus adalah homosexual. Saya langsung keluar dari gedung pameran lukisan. Saya sangat menghormati simbol-simbol agama, agama apapun.

Dari sudut pandang apapun, saya tidak peduli, Yesus adalah simbol agama Kristen, tidak selayaknya dinistakan seperti itu.

Dalih kebebasan berekspresi, dengan cara menistakan simbol-simbol agama, tidak pernah bisa saya terima. Selama saya hidup di Jerman, saya belum pernah melihat atau mendengar ada kasus penistaan agama Islam.

Swedia, negara umat Kristen Protestan, 1999-2008, saya melihat orang Swedia tidak sensitif terhadap isu ras, namun mereka menjadi begitu aggressive ketika isu agama itu muncul.

Ketika Nabi Muhammad dilecehkan oleh aktivis Denmark, dengan gambar karikatur, di mana Nabi Muhammad berkalung bom dan membawa senjata api, gegerlah Swedia. Peristiwa itu terjadi tahun 2006.

Pesan yang ingin disampaikan aktivis Denmark adalah terorisme adalah ajaran Islam.

Saya kena imbasnya. Padahal, selama saya hidup di Eropa, gaya saya adalah generalis. Lue jual, gue beli. Selalu menjadi yang terbaik, mengingat saya ke Eropa membawa nama harum Indonesia. Saya mampu bersaing dengan siapapun.

Suatu hari, saya akan makan siang di dapur, bersama teman-teman orang Swedia di Lantai VII, Chemie Building, Chalmers University of Technology.

Saya apes, saat masuk dapur, mereka sudah duduk ramai-ramai di dapur, saya masuk, mereka langsung diam, dan pada cuek ke saya, padahal biasanya sangat ramah.

Saya merasa, ini gara-gara demo besar-besaran di negara-negara muslim, termasuk Indonesia, respons atas perbuatan keji orang Denmark melecehkan Nabi Muhammad.

Saya menahan diri, calm, dan duduk terus makan siang. Tiba-tiba, orang Yahudi, yang namanya Itai Panas, professor theoretical chemistry, sahabat saya, tanya ke saya, “Bagas, kamu marah tidak atas karikatur Muhammad?”

Saya jawab, yang jelas saya tersinggung. Kalau mau marah, saya marah ke siapa? Mau digambar seperti apapun, bagiku Muhammad is a great guy. Pada diam.

Terus Itai tanya lagi, sekarang negara-negara Arab stop impor susu sapi dari Denmark, bagaimana menurut kamu Bagas? Itu hak orang Arab, bebas, seperti orang Denmark bebas menistakan Nabi Muhammad, dengan dalih kebebasan berekspresi.

Saya tidak pernah bisa menerima penistaan simbol-simbol agama, agama apapun, dengan dalih kebebasan berekspresi. Pada diam, dan mulai menyapa saya lagi. Lue jual, gue beli.

Pernah saya diundang ke ulang tahunnya Johanna Almer ke 45 tahun, pendeta wanita, di rumahnya. Saya datang pakai jas dan membawa bunga.

Banyak orang hadir di sana, orang non Swedia hanya saya, pendeta-pendeta laki-laki dari Svenska Kircha (Swedish church).

Saya duduk ngobrol dengan mereka. Begitu mereka tahu, kalau saya muslim, saya langsung dikucilkan. Suasana berubah menjadi sangat tidak nyaman.

Saya mencoba menahan diri, ngambil kopi dan roti, saya duduk di luar sambil merokok. Johanna keluar menemani saya. Beberapa saat kemudian, saya pamit. Paginya, Johanna menemui saya dan minta maaf. Siapa yang tidak bisa bertoleransi? Saya maafkan. Lue jual, gue beli.

Sebagai negara umat Katolik, saya merasa orang Perancis, sebagai komunitas, lebih lebih soft soal ras dan agama, saya tidak bicara personal.

Konflik ras dan agama, yang akhir-akhir ini muncul, karena perilaku pengungsi dari Afrika Utara, yang menurut saya, perilakunya ganjil.

Saya belum pernah melihat langsung peristiwa penistaan agama Islam di Perancis. Namun, saya sudah merasakan adanya sesuatu yang aneh, dan saya yakin, suatu saat nanti akan menjadi masalah yang sangat serius.

Saya post doc di Ecole des Mines de Saint-Etienne (EMSE) atau Saint-Etienne School of Mines, Perancis. Saya ikut membimbing tiga mahasiswa S3: dua orang Perancis dan satu orang India, di laboratorium Surface and Interface, EMSE Saint-Etienne.

Salah satu dari mahasiswa saya, namanya Remee, laki-laki, sangat akrab dengan saya. Saat makan siang bareng saya, Remee bilang ke saya: “Bagas, saya pingin terjadi lagi perang salib,”. Waduh apalagi ini, saya diam saja. Mungkin Remee menganggap saya orang sekuler, jadi dia bebas omong apa saja. Saya maafkan.

Selama hampir 18 tahun saya tinggal di Eropa, sekalipun saya tidak pernah punya masalah kaitannya ras dan agama dengan orang Eropa. Saya bersahabat sangat akrab dengan mereka.

Saya beragama tidak dengan kebencian, murni hanya merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal. Membangun toleransi berdasar penghormatan.

Moderasi beragama adalah cara atau modus, umat lintas agama untuk saling mendekat dan menyapa. Toleransi hanya bisa dibangun jika ada komunikasi dan interaksi antar umat beragama.

Moderasi beragama analog dengan peristiwa nuklir, di mana neutron cepat (2 MeV), hasil reaksi fisi, dimoderasi oleh atom-atom ringan, menjadi 0,25 eV, untuk saling mendekat, agar reaksi fisi berantai U-235 bisa terjadi secara kritis.

Kebenaran obyektif saya junjung dan saya bela, kebenaran agama Islam, saya imanni, sebagai rujukan etika dan moral, bukan sebagai identitas, apalagi sebagai alat propaganda politik.

Kebencianmu, jangan sampai menghilangkan akal sehatmu. []

Berita terkait
Opini: Restorasi Justice
Musibah yang menimpa ananda David adalah upaya pembunuhan terencana, dan saya menolak upaya damai melalui restorasi justice.
Opini: Berikan Insentif, Bukan Malah Memotong Upah
Saya mendorong Menteri Ketenagakerjaan mencabut Permenaker Nomor 5 ini karena akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan pekerja/buruh.
Opini: Ganjar-Prabowo
Jika Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto bisa disandingkan sebagai pasangan Capres-Cawapres, maka biaya politik Pilpres 2024 menjadi murah.
0
Opini: Penistaan Agama, Siapa yang Tidak Bisa Bertoleransi
Saya mengingatkan kepada siapa saja, untuk tidak sesekali pun menyentuh simbol-simbol agama apapun ketika berbicara atau beropini di ruang publik.