Judul Lengkap: Penerapan Hukum Modern di Indonesia Menjadikan Nasib dan Citra Hukum Sebuah Horor Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan
A. Pendahuluan
Pembangunan hukum yang berkarakter modern didasarkan pada dinamika masyarakatnya, yaitu masyarakat yang berada dalam modernisasi. Intinya adalah masyarakat industri yang memungkinkan adanya peningkatan taraf kesejahteraan hidup atau kualitas hidup dengan lebih baik dan secara massal dalam kehidupan masyarakat-masyarakat setempat.
Pokok pemikiran tentang penerapan hukum modern di Indonesia menjadi perhatian serius bagi Penulis, dalam aflikasinya di Indonesia, dengan asumsi dapat memberikan perubahan cara pemikiran dalam pendekatan pada sistem peradilan pidana.
Hukum pada dewasa reformasi diharapkan dapat menjawab tuntutan reformasi akan keadilan yang semakin jarang ditemukan. Tuntutan ini sangat wajar karena justru pada masa reformasi hukum dalam keadaan abjeksi degredasi, demoralitas yang disebabkan oleh ulah penegak hukum yang berlindung dibalik simbol asas-asas hukum yang perlu direkontruksi dan juga dekontruksi.
Ditengah keterpurukan hukum, terdapat secercah harapan untuk mendapatkan jouissance atau yang dalam bahasa anak muda disebut juga orgasm. Dalam tulisan (Satjipto Raharjo) yang berjudul : “hukum hendaknya membikin kebahagiaan”. Seolah-olah memberikan angin sorga, akan tetapi realitas yang terjadi di masyarakat terjadi sebaliknya yaitu hukum tidak diciptakan untuk memberikan kebahagiaan.
Indonesia penerapan hukum modern telah lama berlangsung di masyarakat, perkembangan industri telah mendorong perkembangan masyarakat termasuk di era industri. Hukum telah lama dibentuk oleh kepentingan industri dengan menuntut pada kepastian hukum.
Namun pada sisi yang lain, ternyata di era globalisasi termasuk teknologi informasi hukum selain memastikan jaminan kebebasan individu, hukum modern yang berada dalam perkembangan teknologi informasi juga telah merusak tatanan kehidupan sosial sehingga menimbulkan kekacauan masyarakat.
Hukum modern demikian telah juga mengalami dekonstruksi dengan mengakomodasi kearifan sosial yang jugan mengandung nilai-nilai keadilan sosial. Indonesia yang mengalami era industri dengan perkembangan teknologi informasi juga mengalami kekacauan masyarakat baik pada melemahnya kelembagaan hukumnya, aturan-aturan hukumnya maupun juga melemahnya budaya masyarakat.
Rekonstruksi hukum modern Indonesia suatu kebutuhan sosiologis yang juga dibangun atas dasar landasan filosofis dengan menempatkan cita hukum Pancasila. Rekonstruksi hukum ini juga berdasarkan tuntutan hak asasi manusia yang mewadahi tuntutan keadilan sosial dengan kearifan lokal yang telah lama mendasari masyarakat Indonesia yang bercorak multicultural.
Corak multicultural ini ternyata dibangun atas tatanan kehidupan masyarakat yang bersifat religius transendental. Dengan berlindung dibalik istilah hukum modern, seakan-akan apa yang tercantum sebagai hukum telah dihumanisasikan dengan kata-kata indah pada Pasal-Pasalnya.
Penegak hukum yang bergerak dalam profesi hukum juga tidak lepas dari horor sebagai rangkaian dari jaringan teror hukum. Jarang sekali ditemui hakim-hakim yang mempunyai integritas terhadap tugasnya, (Oliver W. Holmes) mengatakan : “Negara Amerika Serikat akibatnya banyak kasus korupsi yang lepas dari jerat hukum”.
B. Permasalahan
1. Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan tersebut di atas, timbul suatu permasalahan yang mesti dibahas lebih lanjut, yaitu apakah hukum modern di Indonesia yang selama ini dibangun telah sesuai dengan problematika di dunia nyata?
2. Apakah berarti dalam hukum modern yang terwujud dalam kodifikasi dan unifikasi itu dalam pembentukannya memang tidak dijiwai oleh semangat kebahagiaan sehingga yang muncul dan dikedepankan adalah kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum yang menjadi kredo kaum positivis?
3. Konsitusi Negara manapun juga tidak menunjukkan bahwa hukum yang mereka gunakan secara letterlijk akan membahagiakan warganya, bahkan di Negara yang berdasarkan atas hukum sekalipun seperti Indonesia, hal ini terjadi karena sesungguhnya hudup di habitat Negara yang berdasarkan atas hukum memang betul-betul tidak membahagiakan?
C. Pembahasan
Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan.
Konkretnya, secara lebih gradual Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui pendekatan dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen sebagaimana asumsi dan deskripsi Satjipto Rahardjo (1998, hlm. 97) bahwasanya: “Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice sistem-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundang-undangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis.”
Pendapat Felix Guanttari (1984) dalam molecular revolution menggunakan istilah “mesin” untuk menjelaskan tatanan reproduksi (order repetition) tingkah laku yang bersipat relatif. Dalam chaosophy Guanttari menggunakan kata “mesin” dalam pengertian yang paling luas tidak ada perbedaan antara manusia dan “mesin” karena keduanya tak lebih dari sebuah komponen dari sebuah mesin.
Dapat dikatakan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) sebagai sebuah mesin yang terdiri dari : Advokat, Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga pemasyarakatan. Sebuah mesin akan menghasilkan sebuah produk yang secara berulang-ulang memiliki esensi yang sama, yaitu : Putusan peradilan yang sebagian berisi keadilan dan bagian lainnya tidak adil.
Sebagai sebuah mesin tentu ada yang mengontrol agar mesin itu tetap berjalan dan dalam sistem peradilan pidana pengontrol dari mesin itu tidak lain adalah penguasa.
Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Mardjono Reksodiputro (1994 hlm 84-85) maka di Indonesia dikenal ada 5 (lima) institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana.
Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu dan Advokat, Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan.
Neil C. Chamelin (1975, hlm. 1) mengatakan ; Pada Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya “putusan” atau “vonis” hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan acap-kali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga berkorelasi dengan “kebijakan pidana” dimana kebijakan formulatif merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif.
Pada dasarnya, konteks “kebijakan” dalam hukum pidana berasal dari terminologi policy (Inggris) atau politiek (Belanda).
Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum / peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).
Pada asasnya, dapat dikatakan bahwa “kebijakan hukum pidana” dengan istilah “politik hukum pidana”. Lazimnya, istilah “politik hukum pidana”, juga disebut dengan istilah penal policy, criminal law atau strafrechtpolitiek.
Paradigma tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tidak dapat dipisahkan dari Negara modern Satjipto Raharjo (2000. Hal 7). Oleh Roberto M Unger (1976. Hal 203) : Ciri khas dari aliran positivisme pada hukum modern ini bertitik temu pada formalitas.
Objek real yang berlandaskan dan berangkat dari deduksi dengan kekuatan logika telah mendapatkan tempat yang signifikan pada kajian teori hukum. Pandangan pada hukum sebagai suatu institusi yang otonom dan murni sehingga memjadikan murni terlihat dan bertujuan agar berkekuatan sah dan berlaku mampu. W Friedman (1993. Hal169) : Sehingga tidak lepas dari peran dari aspek non hukum baik itu dari politik, ekonomi, sosial, bahkan moralitas.
Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness). Undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.
Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus.
Menurut Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number”
Dewasa ini, kemanfaatan selalu dikaitkan dengan teori utilitarianisme milik Jeremy Bentham. Istilah dari “The greatest happiness of the greatest number” selalu diidentikkan sebagai kebahagiaan yang ditentukan oleh banyaknya orang, sehingga taraf ukur kebahagiaan mayoritas yang menentukan bagaimana hukum tersebut dibentuk.
Namun, istilah tersebut lebih cocok diartikan sebagai jaminan kebahagiaan individu yang harus diberikan oleh negara kepada warga negaranya serta menghilangkan penderitaan bagi masyarakat melalui instrumen hukum, sehingga tolak ukur dari instrumen hukum tersebut adalah “kebahagiaan” dan “penderitaan”.
Pada dasarnya, konsepsi mengenai kebahagiaan yang ditentukan oleh mayoritas, merupakan terobosan paling mutakhir saat Jeremy Bentham menguraikannya pada zamannya.
Sekilas, memberikan kebahagiaan yang besar kepada masyarakat terlihat benar adanya, tetapi penulis beranggapan bahwa penjelasan yang berakhir dengan kesimpulan tersebut, dinilai masih kurang tepat karena istilah “The greatest happiness of the greatest number” diletakkan oleh Jeremy Bentham untuk menyebutkan salah satu batu uji dari teori utilitarianismenya, bukan sebagai poin penting yang menyebutkan bahwa “agar memenuhi kemanfaatan, maka hukum harus memenuhi keinginan mayoritas.
D. Kesimpulan
Negara Indonesia memerlukan suatu sistem hukum modern yaitu seperangkat atau suatu sistem hukum yang mampu mengantisipasi serta mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia ini tidak terlepas dari pengaruh arus globalisasi.
Sebagai akibat dari globalisasi, juga menimbulkan dampak di bidang hukum. Karena itu salah satu dimensi mutlak dalam pembentukan sistem hukum Indonesia yang modern adalah senantiasa mencerminkan rasa keadilan masyarakat Indonesia dan sesuai cita hukum dan cita-cita moral dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945.
Melalui Konsep Three Pillars Sistem Hukum Modern yang Integratif tersebut merupakan konsep hukum yang tepat untuk sistem hukum modern Indonesia saat ini untuk mengintegrasikan keanekaragaman budaya, adat istiadat, dan agama yang ada di Indonesia.
Keberagaman tersebut merupakan suatu potensi yang jika diberdayakan secara berimbang dan integratif dalam satu sistem hukum nasional yang diharapkan dapat membangun hukum modern Indonesia di masa yang akan datang. Apalagi konsep tersebut akan sangat strategis jika digunakan dalam mengahadapi era globalisasi dewasa ini untuk memfilter masuknya nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai di indonesia.
Hukum modern di Indonesia ini bertujuan untuk melihat keberlanjutan dari kepastian hukum suatu produk hukum, tetapi dalam memandang kepastian hukum ini.
Penulis tidak hanya berhenti pada penetapan suatu produk hukum, tetapi juga harus dievaluasi bagaimana kegunaannya dalam masyarakat Indonesia, sehingga hukum modern dapat dijadikan sebagai penyelarasan menuju kebahagiaan keberlanjutan dari suatu produk hukum tersebut.
Hal ini berbeda dengan aliran positivisme hukum yang memandang bahwa kepastian hukum sudah tercapai apabila telah terjadi suatu penetapan dari produk hukum. []