Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi Universitas Gadjah Mada
Tulisan saya ini, murni berdasar kajian akademis, bukan karena dasar like and dislike yang sifatnya personal dan subyektif. Dan tidak saya tujukan melangkahi kewenangan Yth. Ibu Megawati Soekarnoputri.
Secara pribadi, saya menolak Ridwan Kamil menjadi Cawapres Ganjar Pranowo.
Pertimbangan saya adalah sbb:
1. Ridwan Kamil adalah kader Partai Golkar. Tidak etis, jika, sekali lagi jika, Ridwan Kamil menjadi Cawapresnya Ganjar, di saat Partai Golkar secara organisasi parpol mendukung Prabowo.
2. Ketika Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jabar, dari pemikiran saya, Ridwan Kamil, tidak bisa dikatakan sukses membuat Jabar menjadi pelangi Kebhinnekaan Indonesia.
Mengharapkan Ridwan Kamil membawa Gerbong Jabar, jika ybs dicawapreskan, adalah kesalahan fatal buah dari logika politik yang kepuntir.
Jika pertimbangannya elektoral Ridwan Kamil saat Pilgub Jabar, beberapa tahun yang lalu, yang kemudian diikuti pola pikir normatif dan menyimpulkan, bahwa Ridwan Kamil akan membawa Gerbong Jabar, itu kesalahan fatal.
Politik itu sangat dinamis, konsekuensi logis dari sebuah Peta Politik.
Peta Politik Jabar sudah berubah, dan tidak bisa serta merta membandingkan antara Pilgub dan Pilpres. Beda ruang dan waktu, dan tema.
Sekali lagi, mengharapkan Ridwan Kamil membawa Gerbong Jabar, jika ybs dicawapreskan, adalah kesalahan fatal buah dari logika politik yang kepuntir.
Saya lebih memilih Mahfud MD menjadi Cawapres Ganjar Pranowo.
Pertimbangan rasionalnya adalah Mahfud mempunyai integritas atas komitmen kebangsaannya. Furthermore, spektrum politik Mahfud sangat lebar, dari perspektif elektoral.
Membahas elektoral Mahfud MD tidak bisa berfikir dengan satu variabel, Mahfud MD. Namun, elektoral Mahfud MD adalah buah dari sebuah dinamika politik yang berkembang saat ini, yang dengan mudah, bisa disimulasikan secara matematis untuk sebuah prediksi.
Bagaimana mengkuantifikasikan besaran-besaran politik yang sifatnya kualitatif, agar bisa dipakai sebagai variabel dalam operasi matematis, adalah kunci suksesnya sebuah simulasi, menyederhanakan sebuah masalah yang rumit, agar mudah dipahami. Simple is always the best.
Munculnya pasangan Capres-Cawapres Anies-Imin, membuat kecewa dan sakit hati banyak orang.
Besides, Anies dan Imin adalah dua sosok yang saling merugikan, karena ketidaksesuaian ideologi.
Muhaimin Iskandar sebagai Ketum PKB, elektoralnya amat sangat rendah sebagai Cawapres, apalagi sebagai Capres, relatif dibandingkan perolehan suara PKB pada Pileg 2019, yaitu di kisaran 10%.
Artinya? Muhaimin tidak dipilih oleh mayoritas pemilih PKB. Ancaman lebih serius, pemilih PKB bisa berpindah ke lain hati, gara-gara Imin berpasangan dengan Anies. Sekali lagi, karena ketidaksesuaian ideologi.
Mahfud bisa menjadi magnet elektoral, bukan hanya bagi warga NU, namun juga bagi kelompok kanan yang sudah terlanjur terlalu ke kanan.
Mengapa bisa begitu? Sangat simpel, mereka dikecewakan Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019. Prabowo sangat konsisten, yaitu selalu kalah dalam Pilpres.
Moreover, isu Tragedi 1998, kembali akan menghadang Prabowo, siapapun Cawapresnya. Posisi Prabowo sangat sulit, rumit dan pelik saat ini.
Obviously, pragmatisme kelompok kanan di akar rumput sangat nyata. Ini yang saya maksudkan, spektrum politik Mahfud sangat lebar dalam mendulang elektoral.
Akan terjadi perpindahan massa besar-besaran dalam Pileg dan Pilpres 2024. PDI Perjuangan sukses di angka 34% dan Ganjar-Mahfud di angka 57%. Satu putaran, berapapun jumlah pasangan Capres-Cawapres yang muncul dan mendaftar di KPU. []