Oleh: Ir. KPH. Bagas Pujilaksono Widyakanigara, M. Sc., Lic. Eng., Ph.D
Apa yang disampaikan Pangkostrad, Jenderal Dudung Abdurahman sangat tepat dan benar.
Pemahaman agama yang dimengerti manusia adalah hasil penafsiran manusia, yang tentunya sifatnya subyektif. Ketika pemahaman yang subyektif ini, kemudian dikembang biakan menjadi modus politik identitas yang tujuannya mengkafirkan dan merampas hak hidup orang lain, maka sudah memasuki fase namanya fanatisme atau bahkan radikalisme.
Ingat kospirasi politik jahat: teroris lapangan-ormas radikal-parpol kadrun.
Fanatisme atau radikalisme agama apapun, selalu berujung kebodohan. Karena, dia kehilangan obyektifitas melihat kebenaran. Adanya, dia benar terus, sedang orang lain yang berbeda, dianggap musuh dan salah.
Agama itu adalah rujukan moral dan etika. Mana ada ajaran agama yang mengajak orang bermusuhan?
Beda itu indah, dan rahmah dari Tuhan. Menurut Hukum Termodinamika II Solid Materials, yang secara step by steo wujud suatu quasi equilibrium terkorelasi dengan suatu kinetika reaksi kimia karena faktor entropi, perbedaan chemical potensial atau chemical gradient, menjadi driving force untuk sebuah perubahan. Indonesia butuh berhubah kalau ingin maju.
Bhinneka Tunggal Ika adalah konsep berfikir yang sangat rasional dan didukung fakta empirik, dinamika internal dalam wadah yang utuh adalah fenomena yang menakjubkan.
Orang fanatik atau radikal, adalah orang goblog yang gamang melihat perbedaan. Bukan hanya salah mentafsirkan ajaran agamanya, namun lebih didomimasi otak bebal, yang sebenarnya berujung pada ketidak percayaan diri. Sehingga perlu berkedok-kedok agama, agar kelihatan cerdas dan intelek.
- Baca Juga : Opini: Korupsi Bisa Meruntuhkan Bangsa
Tidak ada korelasi logis antara kecerdasan otak manusia dengan perilaku religius. Justru agama menjadi pelarian bagi kaum bloon untuk menaikkan rating-nya agar dikenal genius. Padahal faktanya mbel gedhes.
Saya sependapat dan mendukung dengan pernyataan jenderal Dudung.
Harus bisa membedakan antara kehidupan keagamaan dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural ini. Kehidupan keagamaan sesuai ajaran agamanya, sedang kehidupan berbangsa dan bernegara harus patuh pada Pancasila. Tidak ada ruang mengkafirkan orang lain dan tidak ada ruang merasa paling benar. Kebenaran hakiki yang tahu dan hanya urusan Tuhan, bukan urusan manusia.
- Baca Juga : Opini: Indonesia Harus Tegas Terhadap Taliban
Pancasila, yaitu BerKetuhanan Yang Maha Esa dengan cara yang manusiawi, adil dan beradab, bukan dengan cara biadab dan brutal, dalam konstelasi politik menjaga persatuan Indonesia. INI SIFATNYA INDIVIDUAL. Proses demokrasi dijalankan dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, demi terwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. INI SIFATNYA SOSIAL.
Pancasila adalah ideologi equilibrium antara tuntutan individual dan sosial.
Belajar peristiwa PKI pasca pemilu 1955. PKI menyusup kemana-mana dan hanya membawa Indonesia ke jurang kehancuran.
Ekstrim kanan dan ekstrim kiri itu sama saja, sama-sama anti Pancasila, anti demokrasi, anti NKRI yang berbhinneka dan otoriter. Bedanya, yang ekstrim kanan bergaya sok relijius hasil buah pikir picik dan dungu, sedang yang ektrim kiri dilabeli atheis.
- Baca Juga : Opini: Menghina Suku Baduy, Menghina Indonesia
Pemerintah harus serius membersihkan sekolah, kampus, BUMN, lembaga-lembaga negara, kementerian, TNI dan Polri dari orang-orang yang berpola pikir dan berlerilaku radikal. Jangan selaku pakai istilah deradikaliasi, lakukan tindakan tegas, keras dan repressive.
Indonesia bukan negara agama melainkan negara kebangsaan yang berbhinneka tunggal ika. Terimakasih.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada, Ketua Dewan Pakar Seknas Jokowi