Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 1 Desember 2019. Redaksi.
TAGAR.id - Menghadapi epidemi HIV/AIDS yang tak kunjung reda sejak diidentifikasi tahun 1981 muncullah pernyataan-pernyataan yang bombastis dan sensasional tanpa didukung fakta.
Tak kurang dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS - Badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS) yang sejak beberapa tahun terakhir berkoar-koar bahwa epidemi (baca: penyebaran atau penularan) HIV/AIDS akan dihentikan pada tahun 2030.
Hal itu dilakukan melalui program yang disebut tiga nol (Getting To 3 Zero), yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi.
Celakanya, tidak ada cara yang masuk akal secara medis yang mereka tawarkan untuk menghentikan epidemi HIV/AIDS bukan hanya pada tahun 2030 tapi sampai kiamat pun epidemi akan terus terjadi jika tidak ada langkah konkret untuk menghentikan perilaku berisiko. Insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi karena penyangkalan dan mitos (anggapan yang salah) yang kadung tersebar luas.
Perilaku Berisiko
Sampai akhir tahun 2018 kasus HIV/AIDS secara global dilaporkan oleh UNAIDS tercatat 37,9 juta warga dunia hidup dengan HIV/AIDS dengan 770.000 kematian. Sepanjang tahun 2018 terjadi 1,7 juta infeksi baru HIV. Sedangkan di tingkat nasional seperti dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS adalah 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016 adala 630.000. Yang terdeteksi 466.859 atau 74,1%. Itu artinya ada 163.141 (25,9%) warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Setiap tahun ada 46.000 kasus infeksi HIV baru. Sedangkan Odha (Orang dengan HIV/AIDS yang meminum obat antiretroviral (ARV) rutin disebut baru 17%. Setiap tahun terjadi 38.000 kematian terkait dengan HIV/AIDS (aidsdatahub.org). Kasus yang tidak terdeteksi sudah jadi masalah ditambah lagi dengan kasus infeksi HIV baru.
Yang tidak terdeteksi ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom di dalam atau di luar nikah.
Indonesia sendiri ada di peringkat ketiga di Asia setelah India dan Cina sebagai negara dengan percepatan kasus infeksi HIV baru terbanyak. Ada 10 provinsi dengan kasus kumulatif HIV/AIDS terbesar (Lihat tabel).
Baca juga: Penyebaran HIV/AIDS Tertinggi di 10 Provinsi
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan paling banyak di Papua yaitu 22.554. Maka, ‘musuh’ besar warga Papua adalah HIV/AIDS. Celakanya, yang terjadi di sana justru penyangkalan terkait dengan perilaku seksual sebagian laki-laki dengan menyalahkan, maaf, pelacur (dari) Jawa.
Baca juga: Papua Peringkat Pertama Jumlah Kasus AIDS di Indonesia dan AIDS Justru Musuh Terbesar di Tanah Papua
Setiap tahun sejak tahun 1988 dunia menggelar Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) yang dirayakan setiap tanggal 1 Desember untuk menggerakkan kepedulian masyarakat dunia terhadap penanggulangan HIV/AIDS. Tahun ini temanya adalah “Communities make the difference” (Masyarakat bisa membuat perbedaan).
Ketika AIDS terdeteksi pada laki-laki gay di San Fransisco pada tahun 1981 ada anggapan AIDS hanya ‘menyerang’ laki-laki gay. Tapi, setelah HIV diidentifikasi sebagai penyebab AIDS tahun 1983 dan reagent untuk tes HIV diakui WHO tahun 1986 komunitas kesehatan global memahami bahwa HIV juga dapat menyebar di antara orang heteroseksual, melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya.
Persoalan besar yang dihadapi Indonesia adalah tidak ada langkah konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu. Insiden infeksi HIV di hulu terjadi karena perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Perilaku-perilaku seksual laki-laki yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).
(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor 1 sd. 5 di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Perilaku Seksual
Begitu juga dengan perempuan beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(a). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(b). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(c). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom) dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS.
(d). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (waria tidak memakai kondom) dengan waria. Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor a sd. d di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang harus diperhatikan adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang (laki-laki atau perempuan) yang mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Selain itu status HIV seseorang yang tidak pernah tes HIV bukan negatif tapi tidak diketahui.
Terkait dengan pernyataan UNAIDS dan berbagai kalangan di Indonesia yang sambil membusungkan dada mengatakan pada tahun 2030 tidak ada infeksi HIV baru sangat patut dipertanyakan. Tapi, tidak ada yang mereka lakukan secara konkret untuk mengatasi perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS pada laki-laki dan perempuan seperti yang disebutkan di atas.
Apakah bisa diawasi perilaku seksual orang per orang? Mustahil!
Langkah konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan, insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK yaitu dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini sudah berhasil menekan insiden infeksi HIV baru di Thailand dengan indikator jumlah calon taruna yang terdeteksi HIV terus turun. Cuma, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir.
Dalam matriks di bawah ini terlihat jelas jika PSK tidak dilokalisir tidak bisa dijangkau sehingga program 'wajib kondom 100 persen' tidak bisa dijalankan.
Yang didengung-dengungkan di Indonesia sebagai cara menghentikan infeksi HIV baru adalah deteksi dini tes HIV dan pemberian obat antiretroviral. Ada lagi tes HIV pada ibu hamil dan tes HIV bagi calon pengantin.
Tes HIV dengan deteksi dini dan tes HIV pada ibu hamil adalah kegiatan di hilir karena yang tes HIV sudah tertular HIV. Yang diperlukan secara konkret adalah langkah di hulu yaitu mencegah agar tidak ada lagi yang melakukan perilaku berisiko sehingga insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan dengan harapan bisa berhenti.
Sedangkan tes HIV bari calon pengantin tidak jaminan karena biar pun ketika hendak menikah status HIV pasangan tsb. negatif, tapi dalam perjalanan hidup pernikahan bisa saja salah satu melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Ini bisa terjadi karena tes HIV bukan vaksin.
Dengan kondisi seperti sekarang ketika langkah penanggulangan hanya sebatas orasi moral untuk konsumsi sensasional media hasilnya sudah pasti: Nol besar. Big nothing (Bahan-bahan dari UNAIDS, WHO, CDC dan sumber-sumber lain). []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id