Untuk Indonesia

Najwa, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad Pun Bisa Jadi Dosen

Ilmu pengetahuan adalah produk penerapan metodologi yang mengandung dua elemen epistemik, yakni rasionalisme dan empirisme.
ROADSHOW PERPUSTAKAAN NASIONAL 2017 Duta Baca Najwa Shihab (kanan) disaksikan Vokalis band Letto yang juga budayawan dan penulis Noe (kiri) berbicara pada "Roadshow Perpustakaan Nasional 2017" di Perpustakaan Daerah Kota Magelang, Jateng, Sabtu (26/8). Roadshow yang menghadirkan tokoh nasional tersebut ini mengusung tema “Mewujudkan Indonesia Cerdas Melalui Peningkatan Budaya Baca dan Indeks Literasi Masyarakat”. (Foto: Ant/Anis Efizudin)

Jakarta, (Tagar 28/8/2017) - Artis atau aktor terkemuka yang sudah kaya raya, yang ingin mengisi hari-harinya dengan hanya menjadi pengajar di perguruan tinggi dapat terakomodasi oleh kebijakan baru Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Ilmu pengetahuan adalah produk penerapan metodologi yang mengandung dua elemen epistemik, yakni rasionalisme dan empirisme.

Dialektika teori dan praktik yang tak berkesudahan menghasilkan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan canggih setelah lewat apa yang disebut Karl Popper sebagai proses falsifikasi.

Warga dunia pendidikan tinggi di Tanah Air kini pantas bersyukur karena Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir akan menerapkan kebijakan baru berupa membuka akses para profesional untuk mengajar mahasiswa.

Boleh jadi pada praktiknya selama ini sudah banyak kalangan profesional yang berbagi ilmu mereka kepada mahasiswa. Beberapa perguruan tinggi sudah sanggup mendatangkan para profesional lewat forum-forum diskusi atau ceramah umum di kampus-kampus.

Namun, semua itu akan diintensifkan dalam bentuk peraturan yang melapangkan jalan para profesional, yang selama ini tak bisa menjadi pengajar di perguruan tinggi karena terkendala gelar akademis yang menjadi syarat mengajar.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen antara lain disebutkan, ntuk menjadi dosen, seseorang harus bergelar S-2 atau S3. Dengan aturan seperti itu, seorang eseis terkemuka seperti Goenawan Mohamad atau Emha Ainun Nadjib, yang tak pernah mengambil pendidikan bergelar S-2 atau S-3, bahkan S-1 pun keduanya tak rampung, jelas tak bisa menjadi dosen.

Begitu juga dengan Putu Wijaya, yang beken dalam dunia teater dan penulisan cerita pendek. Gelarnya yang cuma S1 tak memungkinkannya untuk menjadi dosen di perguruan tinggi. Meski begitu, ilmu mereka telah diserap banyak warga kampus lewat berbagai forum diskusi, seminar atau loka karya sesuai dengan keahlian mereka.

Kebijakan yang hendak diambil M Nasir boleh dibilang liberal dan itu menguntungkan bagi pihak perguruan tinggi. Kementerian yang dipimpinnya tak menetapkan keahlian macam apa yang harus dimiliki kalangan profesional yang bisa direkrut menjadi dosen. Semua jenis dan kriteria keahlian itu diserahkan pada masing-masing perguruan tinggi yang akan merekrut profesional yang dibutuhkan.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi akan menyetujui profesional yang sudah dipilih dan dipekerjakan sebagai dosen oleh masing-masing perguruan tinggi.

Para profesional yang meninggalkan profesi mereka untuk beralih menjadi dosen tentu tak banyak. Namun, dengan kebijakan baru itu, peluang untuk menekuni dunia pengajaran di kampus menjadi terbuka bagi sang profesional.

Najwa Shihab, misalnya, profesional yang terkemuka karena mata acara televisinya bertajuk Mata Najwa, tentu akan memberikan perspektif baru bagi mahasiswa yang sedang belajar di jurusan komunikasi massa. Pengalamannya mewawancarai banyak tokoh terkemuka akan menjadi bahan mata kuliah teknik wawancara yang tidak melulu berlandaskan teori tapi lebih banyak aspek praktisnya.

Gaji

Mungkin yang akan menjadi kendala, jika perguruan tinggi itu mempekerjakan Najwa sebagai dosen tetap, berapa gaji yang diminta oleh sang profesional. Hanya perguruan tinggi swasta yang sudah terkenal dan sanggup menangguk biaya kuliah mahal dari mahasiswa yang mungkin sanggup menggaji para profesinal yang bekerja berdasarkan prinsip profesionalisme.

Namun, di antara sekian ribu kalangan profesional yang sudah mapan, tentu masih ada beberapa yang siap mengabdikan diri di dunia pendidikan tinggi tanpa menuntut gaji tinggi karena mereka sudah memperoleh banyak materi itu lewat perofesi mereka.

Sebagai contoh para artis atau aktor terkemuka yang sudah kaya raya, yang ingin mengisi hari-harinya dengan hanya menjadi pengajar di perguruan tinggi dapat terakomodasi oleh kebijakan baru Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi itu.

Tampaknya kebijakan baru itu akan cukup signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi terutama untuk profesi bidang tertentu. Dalam jagat profesionalitas, ada profesi-profesi yang pelakunya semakin surut dari dunia yang ditekuninya seiring dengan semakin bertambahnya usia mereka.

Beberapa profesi di dunia hiburan tentu termasuk jenis ladang pekerjaan yang tak selalu memberikan imbalan finansial menggiurkan seiring dengan semakin seniornya usia sang profesional. Nah, di saat itulah mereka bisa membaktikan pengalaman mereka untuk mengabdi sebagai dosen di perguruan tinggi.

Dunia kewartawanan termasuk jenis profesi yang umumnya tak memberikan imbalan menggiurkan ketika sang wartawan semakin senior dan kegesitannya sebagai pemburu sumber-sumber eksklusif mulai menurun. Namun senioritas dan keilmuannya cukup berharga untuk dibagikan kepada para mahasiswa.

Sebaliknya, profesi penulisan fiksi, penciptaan seni rupa, komik, film, yang memberikan imbalan yang semakin menggiurkan seiring dengan senioritas dan kematangan sang penulis atau seniman akan memperkecil peluang mereka untuk menjadi dosen tetap di perguruan tinggi. Namun tetap saja pastilah ada sebagian di antara mereka yang berniat untuk mengabdikan diri menjadi dosen di sela-sela aktivitas profesionalitas mereka.

Beberapa perguruan tinggi, seperti lembaga pendidikan tinggi seni, yang melahirkan lulusan di dunia penciptaan karya seni, justru diampu oleh banyak seniman profesional. Lembaga pendidikan tinggi seperti itu mempekerjakan kalangan seniman profesional untuk menjadi staf pengajar yang memiliki pengalaman riil sebagai seniman, bukan mengajar karena kepakaran teoritis.

Dengan kebijakan baru itu, ikhtiar Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan sumber daya manusia lewat jalur pendidikan formal agaknya bisa direalisasikan karena salah satu kendala yang menghambat kalanagan profesional menjadi dosen telah teratasi. (yps/ant)

Berita terkait