Bandung, (Tagar 23/2/2018)-Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat, Rachmat Syafe’i mengatakan pedoman berkhotbah itu sebenarnya hanya menghimpun materi soal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemilu. Tapi karena Bawaslu Jabar mengemasnya atau menyampaikannya kurang baik, maka para ulama menafsirkannya berbeda, menjadi merasa heran khotbah saja harus diurus negara.
“Makanya kami (para ulama) sempat tersinggung karena masing-masing pihak salah paham. Dan sebenarnya kami para ulama sudah tahu mengenai patokan-patokan khotbah yang terlalu keluar jalur. Sebetulnya tinggal diingatkan saja, tidak perlu ada aturan. Kalau ada pedoman, mekanismenya akan seperti apa seandainya ada kasus ulama melanggar pedoman tersebut. Lebih baik para ulama diberi tahu saja," ujar Rachmat saat dikonfirmasi Tagar melalui sambungan telepon, Jumat (23/2).
Lebih lanjut Rachmat menjelaskan, salah satu upaya MUI Jabar mencegah politik uang dan SARA pihaknya telah mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut pada pemilu-pemilu sebelumya. Artinya para ulama sudah paham, sudah berkomitmen menolak politisasi agama, uang, dan semua hal yang dilarang.
“Seperti agama mengatur, memilih pemimpin itu yang amanah. Artinya kalau kita memilih pemimpin yang menggunakan politik uang atau SARA, tentu itu berseberangan dengan ajaran Islam,” jelasnya.
Para ulama yang tergabung dalam MUI bersepakat menolak politik uang dan SARA. Rachmat tidak menafikan kemungkinan adanya ulama yang bersebrangan, karena itu ia mengajak masyarakat ikut serta mengawasi.
"Ulama di Jabar ini sangat banyak, tidak mungkin kalau hanya MUI saja yang mengawasinya," kata Rachmat.
Lebih lanjut Rachmat menjelaskan posisi ulama ditengah konstelasi pilkada. “Kita ada norma yang intinya tidak boleh memihak, semua diserahkan pada umat untuk memilih siapa yang paling baik visi dan misinya.” (fit)