Untuk Indonesia

Mereka Ingin Hancurkan Indonesia dengan Merusak NU

Bagaimana cara gerombolan Islam puritan merusak Indonesia? Hancurkan NU. - Ulasan Eko Kuntadhi
Santri tergabung dalam Aliansi Santri Membela Kiai (Asmak) berdoa bersama saat mengikuti aksi bela kiai di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (8/2/2019). Aksi tersebut sebagai bentuk protes santri atas puisi Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang berjudul "Doa yang Ditukar" yang diduga isinya menghina kiai. (Foto: Antara/Yusuf Nugroho)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Bagaimana cara gerombolan Islam puritan merusak Indonesia? Hancurkan NU.

Itu adalah adagium yang kini menjadi pegangan gerombolan ekstrimis. Jika masih ada NU, gerombolan Islam puritan itu gak mungkin bisa menguasai Indonesia.

Organisasi Islam moderat terbesar ini punya dua napas perjuangan. Pertama menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin. Kedua, mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai dasar berbangsa.

Bagi NU, antara keislaman dan keindonesiaan tidak ada jarak. Keduanya berada dalam satu tarikan napas.

Baca juga PBNU: Ahmad Dhani Tidak Paham Sejarah, Tidak Mengerti NU

Untuk menyentuh NU, pertama yang dilakukan adalah merusak kredebilitas kiai dan tokoh-tokohnya. Jangan heran jika tudingan keji sering dilesakkan kepada kiai dan tokoh-tokoh NU.

Kiai Said Aqil sering dituduh Syiah. Kiai Yahya Tsaquf kemarin diundang berbicara soal Palestina di Israel, langsung dihinakan. Yang terakhir Kiai Maimun Zubair, yang dilecehkan melalui puisi Fadli Zon.

Bahkan Ahmad Dhani dengan keji mengumbar cerita NU berkolaborasi dengan PKI dalam Nasakom. Padahal sejarah mencatat, NU merupakan garda terdepan menghancurkan kekuatan PKI di negeri ini.

Baca juga: Ribuan Santri Turun ke Jalan, Tuntut Fadli Zon Berhenti Menghina Kiai

Gerombolan Islam garis keras dan kelompok politisi oportunis sekarang memang sedang bergandengan tangan. Yang satu mau mengubah wajah Islam Indonesia menjadi seperti Saudi, dengan hanya sebuah tafsir tunggal kebenaran. Yang politisi oprtunis hanya ingin menguasai Indonesia untuk kepentingan ekonominya saja.

Mereka kini berhadapan dengan Jokowi yang secara sadar menggandeng tokoh NU untuk mendampinginya. Pilihan Jokowi pada Kiai Maruf Amin bukan hanya langkah untuk memenangkan Pilpres semata.

Yang justru lebih penting adalah untuk menegaskan kembali corak keislaman Indonesia yang toleran dan pluralis. Jokowi ingin membangun sebuah pemerintahan yang bukan hanya efektif sebagai mesin pembangunan, tetapi juga efektif meredam rongrongan ideologi Islam transnasional yang merongrong persatuan Indonesia.

Jika kita menilik sejarah, NU memang lahir sebagai reaksi atas kemunculan ideologi Islam puritan di jazirah Arab. Ketika kekuasaan Mekkah dan Madinah dirampas oleh kekuatan Wahabi, kiai-kiai Indonesia pada masa itu resah. Mereka ingin mengirimkan utusan kepada penguasa Arab yang baru agar tidak memberangus berbagai aliran pemikiran dalam keagamaan. Mereka tidak rela Islam hanya diwakilkan oleh sebuah tafsir tunggal yang puritan dan tekstual. Sebab para kiai yakin nilai Islam jauh lebih luas dibanding satu sudut pandang saja.

Utusan yang hendak dikirimkan itu tentu membutuhkan sebuah wadah. Sebuah organisasi. Untuk tujuan itulah pada mulanya Nahdlatul Ulama didirikan.

Sejak 1926 sampai sekarang, tampaknya kehadiran NU makin menunjukkan relevansinya. Justru saat ini ketika ideologi radikal sebagai anak kandung Wahabi merajelela, NU tetap hadir sebagai benteng yang menghambat kehadiran mereka di Tanah Air.

Jadi bagaimana menghancurkan Indonesia? Cara satu-satunya dengan merusak NU terlebih dahulu.

Itulah yang kini kita saksikan.

Kita bukan saja sedang berhadapan dengan politisi oportunis. Indonesia sesungguhnya sedang berhadapan dengan sebuah kekuatan perusak dengan energi besar. Kekuatan yang hendak memporakporandakan bangsa ini dalam kubangan konflik.

Cara mencegahnya adalah, dengan memperkuat peran NU dalam kehidupan beragama.

Masjid-masjid harus direbut dari tangan para penyebar Wahabi. Majelis-majelis taklim harus dibersihkan dari ideologi puritan dan garis keras. Kita harus menyemai lagi pemahaman keagamaan yang adem. Yang toleran. Yang mengayomi semua anak bangsa.

Tidak ada lagi konfrontasi antara kecintaan pada agama dan kecintaan pada tanah air. Doktrin NU, hubbul wathon minal iman - mencintai negara merupakan sebagian dari iman - merupakan kesimpulan yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia.

Tanpa itu semua, kita akan menyaksikan Indonesia hanya tinggal puing belaka.

Dengan jalan moderat itu, NU merupakan tonggak untuk terus mempertahankan Indonesia dari berbagai serangan ideologi luar. Kelenturan ideologi NU ikut menyelamatkan bangsa ini dari berbagai pertikaian ideologi.

Kini NU berusia hampir satu abad. Harlah NU ke-93 justru membuktikan apa yang menjadi dasar pemikiran berdirinya organisasi ini, makin relevan sampai sekarang. Kiprahnya terus membuktikan bisa menjadi perekat berbagai ideologi yang saling berbenturan.

NU berhasil menciptakan sebuah kearifan yang menyatukan dengan indah antara semangat keislaman dan semangat keindonesiaan.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.