Menteri Agama: Sekolah Minggu dan Katekisasi Tak Perlu Diatur UU

Ia mengatakan Sekolah Minggu dan Katekisasi tidak perlu diatur dalam UU
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin berjalan didampingi petugas dan peserta Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN) V Tahun 2018 usai membuka PPSN V di Bumi Perkemahan Abdurrahman Sayoeti-Musa Sungaigelam, Muarojambi, Jambi, Kamis (25/10/2018). (Foto: Antara/Wahdi Septiawan)

Yogyakarta, (Tagar 3/10/2018) -  Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan akan membuat draf sandingan terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dari versi pemerintah.

Ia berharap draf sandingan ini bisa mengakhiri polemik RUU Pesantren, salah satunya mengenai pasal yang berisi pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi. 

Hal ini disampaikan Menag saat diskusi bersama agamawan dan budayawan di Homestay Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Jumat (2/11) malam, mengutip Kantor Berita Antara

Ia mengatakan Sekolah Minggu dan Katekisasi tidak perlu diatur dalam UU. "Mungkin mereka (DPR RI) terlalu jauh masuk kepada wilayah Sekolah Minggu, misal Katekisasi yang sebenarnya bukan lembaga pendidikan, tapi itu adalah peribadatan tertentu yang tidak perlu diatur terlalu jauh," katanya.

"Kita sudah pelajari dan mendalami sejumlah masukan dari berbagai kalangan seperti PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), bahkan forum Kyai-kyai," tambah Lukman.

Baca Juga: PGI Keberatan RUU Pesantren Atur Syarat Sekolah Minggu dan Katekisasi

Ia menyebut draf itu akan dibahas segera dalam satu atau dua minggu ke depan dan mengundang para pemangku kepentingan untuk mendiskusikan draf sandingan RUU Pesantren yang dibuat pemerintah. 

Dalam acara tersebut Menag juga bicara tentang budaya dan agama yang tidak perlu dipertentangkan.

Hal itu disampaikan Menag Lukman saat membacakan tanggapan atas pernyataan sikap agamawan dan budayawan tentang relasi agama dan budaya di Indonesia di Homestay Tembi, Desa Timbulharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (3/11).

Pernyataan itu merupakan poin pertama dari empat kesepakatan agamawan dan budayawan, setelah sebelumnya digelar Sarasehan Agamawan dan Budayawan dengan mengambil tema, "Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia".

Baca Juga: Sekolah Minggu Sama Seperti Sholat, Apakah Nunggu 15 Orang Baru Terlaksana?

"Pengembangan budaya di Indonesia sudah seharusnya menghargai nilai-nilai prinsip kami dalam agama, dan sebaliknya pengembangan agama juga tidak semestinya mengakibatkan hancurnya keragaman budaya, tradisi dan adat istiadat di Indonesia," katanya. Poin kedua, lanjut dia, agama dan budaya selama ini telah berkembang secara harmonis dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia.

"Keduanya telah bersama-sama mewariskan nilai, norma, dan etika yang terbukti berhasil mempersatukan keragaman masyarakat Indonesia yang sangat beragam," katanya.

Poin ketiga adalah sikap membenturkan nilai dan norma agama dengan keragaman budaya Indonesia dapat merusak modal sosial dan modal kulturalnya yang telah menjadi fondasi bangsa dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa."Keempat adalah pemerintah akan terus berupaya yang mampu menghasilkan 'anak Indonesia' yang memiliki keyakinan bersama bahwa keragaman adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa," katanya.

Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama (Kemenag) RI Mastuki pada kesempatan sebelumnya mengatakan sarasehan tersebut digelar sebagai upaya memperkuat relasi agama dan budaya di tengah makin kuatnya infiltrasi budaya asing dan paham transnasional.

"Baru-baru ini kami mendapati satu dua kasus terjadinya perbedaan cara pandang terkait praktik budaya dan agama. Kami melihat perlu ada ruang untuk melakukan dialog antara agamawan, cendekiawan, dan budayawan," katanya. Sarasehan selama dua hari pada 2-3 November 2018 itu, mengambil tema "Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia". Hal itu agar dialog mengarah pada "frame of reference" terhadap budaya Indonesia yang sejalan dengan nafas religius masyarakat Indonesia. []

Berita terkait