Mensos Juliari Rehabilitasi Cewek Prostitusi Online

Tempat pelacuran ditutup, belakangan muncul prostitusi online yang justru tidak bisa diintervensi sehingga penyebaran penyakit tak terbendung
Ilustrasi prostitusi online (Foto: zula.sg)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Salah satu masalah sosial yang terkait langsung dengan tingkat kesehatan dan kualitas hidup adalah penyebaran penyakit menular, dalam hal ini infeksi menular seksual (IMS), yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll. juga HIV/AIDS.

Salah satu media penyebaran IMS adalah hubungan seksual yang berisiko yaitu hubungan seksual tanpa kondom yang dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam kaitan ini termasuk PSK yang memakai jasa prostitusi online.

Bukan Jalan Keluar

Di era pemerintahan Presiden Soeharto yang disebut Orde Baru (Orba) praktek pelacuran yang melibatkan PSK, dalam hal ini PSK langsung (PSK yang kasat mata), dilokalisir untuk melakukan rehabilitasi dan resosialisasi terhadap PSK. Selain itu bisa pula dilakukan intervensi secara langsung. Intevensi yang dilakukan memberikan pemahaman kepada PSK tentang risiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus sehingga mereka meminta laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan sejak tahun 1987 sampai Juni 2019 sudah dilaporkan 466,859 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 349,882 HIV dan 116,977 AIDS. Sedangkan kasus IMS, dalam hal ini sifilis, pada ibu hamil sejak tahun 1987 sampai Juni 2019 terdeteksi 13.593.

Kasus sifilis dan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga (AIDS pada ibu rumah tangga dilaporkan 16.854 kasus) akan berdampak pada bayi yang kelak akan mereka lahirkan karena bisa cacat (karena sifilis) dan lahir dengan HIV/AIDS.

Yang perlu diingat adalah epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang dilaporkan (466,859) hanya kasus yang terdeteksi yang digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Sejak reformasi di tahun 1998 ada gerakan masif dengan skala nasional yang menutup semua lokalisasi pelacuran. Mensos Khofifah Indar Parawansa di masa Kabinet Kerja Presiden Jokowi/Wapres Jusuf Kalla lebih keras lagi dengan mengatakan akan menutup 99 lokalisasi pelacuran yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara.

PSK yang tergusur diberikan uang sebagai modal usaha Rp 10 juta (Rp 5 juta dari Kemensos dan Rp 5 juta dari pemerintah kota atau kabupaten tempat lokalisasi yang ditutup). Ini tentu saja tidak bisa menghentikan perempuan-perempuan itu bekerja sebagai PSK.

Prof Dr Hotman M Siahaan, yang akrab dipanggil Bang Hotman, sosiolog di Unair Surabaya, mengatakan rehabilitasi dan resosialisasi PSK di masa Orba tidak jalan karena program yang diterapkan adalah top-down. Ketika itu sambil tetap ‘praktek’ PSK dilatih menjahit, tata rias, dll. Ini jelas bukan pilihan perempuan-perempuan yang mimilih kerja sebagai PSK. “Pelatihan itu bukan jalan keluar bagi mereka,” kata Bang Hotman dalam sebuah wawancara tahun 2012.

Lindungi Pelacur

Pemerintah, dalam hal ini Kemensos dulu dan sekarang, menempatkan diri sebagai ‘kalangan moralitas’ dan mengatakan punya solusi untuk mengentaskan PSK. Dulu dengan pelatihan jahit-menjahit dan tata rias, sekarang dengan memberikan modal Rp 10 juta.

Tapi, selalu gagal karena konsep itu bukan dari PSK tapi muncul dari policy researh dengan latar belakang apriori. “Dalam policy researh sudah ada konsep tertentu tanpa mengikutsertakan PSK dalam mengatasi persoalan mereka,” ujar Bang Hotman.

Kelemahan dari policy research, menurut Bang Hotman, adalah selalu ada anggapan bahwa objek bisa diarahkan. Misalnya, PSK diarahkan agar berhenti dan kembali ke ’jalan yang benar’. Untuk itulah Bang Hotman berharap ada riset partisipatoris sehingga hasil datang dari hasil diskusi kedua belah pihak agar ada proses yang berkelanjutan untuk menghasilkan jalan keluar.

Ini kerja keras bagi Menteri Sosial, Juliari Batubara, karena biar pun lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup, seperti yang dilakukan Mensos Khofifah, praktek pelacuran tetap terjadi sehingga penyebaran IMS dan HIV/AIDS pun akan terus pula terjadi.

Langkah yang dijalankan Prof Dr dr DN Wirawan, MPH, Ketua Yayasan Kerti Praja di Sesetan, Denpasar, Bali, adalah ‘jemput bola’. PSK dijemput dari beberapa tempat pelacuran di Denpasar dan sekitarnya untuk diperiksa kesehatannya dan diberikan pemahaman tentang pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Usaha Prof Wirawan ini justru ‘dihajar’ seorang wartawan dengan mengatakan “Prof Wirawan melindungi pelacur”.

Padahal, yang dilakukan Prof Wirawan justru memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari lingkungan pelacuran ke masyarakat atau sebaliknya, terutama dari suami ke istri. PSK yang sudah diperiksa kesehatannya dan diberikan informasi tentang IMS dan HIV/AIDS juga dibekali dengan kondom. “Di awal kita berikan gratis, tapi setelah mereka paham justru mereka beli,” kata Prof Wirawan. Ini terjadi karena PSK sudah paham kalau mereka tertular IMS atau HIV/AIDS mereka tidak akan dapat ‘tamu’ sehingga tidak dapat uang. Langkah Prof Wirawan terhenti sejak ada instruksi menutup semua lokalisasi pelacuran.

Sekarang setelah program Mensos Khofifah dijalankan prostitusi online menjamur yang melibatkan artis, model dan mahasiswi. Polisi sudah membongkar kasus prostitusi online dari Aceh sampai Papua. Cewek-cewek yang terlibat dalam prostitusi online ini sama saja dengan PSK tapi mereka disebut PSK tidak langsung karena tidak kasat mata.

Artinya, cewek-cewek yang terlibat dalam prostitusi online jadi ‘agen’ penyebaran IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Pertama, di antara mereka ada yang tertular dari pelanggan selanjutnya ada pula pelanggan yang tertular dari mereka. 

Kedua, pelanggan yang tertular, bisa saja seorang suami, jadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS ke masyarakat, terutama ke istrinya. Jika istrinya lebih dari satu, maka perempuan yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS pun kian banyak pula. Jika istri-istri itu tertular ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang akan mereka lahirkan kelak terutama saat persalingan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Dengan kondisi pelacuran seperti sekarang, prostitusi online, adalah hal yang mustahil bagi Kemensos untuk melakukan intervensi terhadap cewek-cewek pelaku prostitusi online. Yang bisa dilakukan Kemensos adalah melakukan rehabilitasi terhadap cewek-cewek prostitusi online yang ditangkap polisi atau yang sudah divonis hakim.

Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS melalui prostitusi online di Indonesia akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Kenapa Laki-laki Membeli Seks dari Prostitusi Online
Prostitusi online yang melibatkan artis, model dan mahasiswi sama saja dengan pelacuran yang terkait erat dengan ‘penyakit kelamin’ dan HIV/AIDS
Untuk Apa Laki-laki Mencuri Celana Dalam Perempuan
Fetishisme adalah orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan rangsangan benda-benda yang melekat pada badan atau bagian badan lawan jenis
Cerita Jakarta: Bang Ali Izinkan Perjudian dan Pelacuran
Cerita Jakarta: Bang Ali izinkan perjudian dan pelacuran. Ia Gubernur DKI yang tegas, kontroversial, penuh gebrakan.
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.