Menggenjot Produksi Kedelai di Dalam Negeri

Sudah saatnhya pemerintah mengatur siasat untuk menggenjot dan mendongkrak produksi kacang kedelain dalam negeri
Ilustrasi: Tanaman kacang kedai (Sumber: pertanian.go.id)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Setiap ada gejolak politik, ekonomi dan cuaca dunia harga kedelai langsung melejit yang bikin perajin tempe dan tahu di dalam negeri menjerit. Padahal, tempe dan tahu merupakan menu utama dan makanan favorit sebagian besar warga di Nusantara ini.

Ketika harga kedelai naik perajin tempe dan tahu pun meminta agar pemerintah menurunkan harga. Tentu saja hal ini akan memberatkan neraca keuangan nasional karena diperlukan dana untuk subsidi.

Sudah saatnhya pemerintah mengatur siasat untuk menggenjot dan mendongkrak produksi kacang kedelain dalam negeri agar tidak selalu tergantung kepada impor.

Dilaporkan harga kedelai naik dari awalnya Rp 10.000/kg, sakarang harganya ada di kisaran Rp 11.200/kg. Ini yang mebuat perajin tempe dan tahu kelimpungan karena harga jual tempe dan tahu tidak mudah dinaikkan seperti harga kedelai.

Berdasarkan data yang dilaporkan Kemendag, harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 mencapai 15,77 dollar AS per bushel atau berkisar di Rp 11.240/kg. Jika pemerintah dituntut untuk menurunkan harga tentulah diperlukan subsidi yang tidak sedkit.

Maklum, kebutuhan kacang kedelai sekitar 4,4 juta ton/tahun. Jika subsidi Rp 1.240/kg, tentulah dana yang diperlukan sangat besar sekitar Rp 5,5 triliun.

Maka, tidak ada pilihan selain meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Soalnya, seperti tahun 2019 dengan kebuhan 4,4 juta ton kedelai per tahun produksi petani dengan dukungan Kementan cuma 480.000 ton. Diperkirakan 90% kedelai untuk bahan baku tempe dan tahu diimpor.

Bayangkan, tahun 2020 saja Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2.475.286,7 dengan nilai 1.003.421.600 dolar AS. Sedangkan tahun 2021Kementan memperkirakan impor kedelai mencapai 2,6 juta ton. Impor kedelai 2,67 juta ton (2017), 2,58 juta ton (2018), dan 2,67 juta ton (2019). Kedele diimpor antara lain dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, dan beberapa negara Amerika Latin.

Itulah yang membuat ketergantungan kedelai terhadap impor. Kondisi inilah faktor utama yang selalu menggoyang harga kedelai di dalam negeri.

Tapi, tunggu dulu: Apakah tanah sesubur Negeri Khatulistiwa ini tidak potensial untuk tanaman kedelai?

Secara kasat mata petani tidak tertarik menanam kedelai, karena beberapa faktor, seperti harga jual yang tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan biaya produksi. Harga kedelai pun tidak jauh berbeda dengan harga gabah. Padahal, dengan luas yang sama hasil padi jauh lebih banyak hasilnya daripada ditanam dengan kedelai.

Selain padi petani pun lebih memilih menanam jagung dan kacang tanah. Memang, harganya lebih murah jika dibandingkan dengan harga kedelai, tapi dari aspek biaya produksi menaman jagung dan kacang tanah lebih murah jika bidandingkan dengan kedalai.

Itulah sebabnya petani lebih memilih menanam padi, jagung, dan kacang tanah karena biaya produksi yang lebih murah daripada menanam kedelai.

Selain itu pengolah pasca panen pun belum ada tekonologi yang efektif dan efisien sehingga banyak butiran kedalai yang terbuang. Tandan kedelai dijemur di halaman atau di tepi jalan, sedangkan untuk mengupas dilakukan dengan berbagai cara yang tidak efisien, seperti membanting, dan lain-lain.

Sebagai gambaran di tahun 2000, misalnya, harga kedelai di pasar internasional Rp 1.950/kg, sedangkan biaya produksi di dalam negeri Rp 2.500/kg. Harga kedelai impor Rp 5.654/kg sementara biaya produksi di dalam negeri Rp 7.500/kg.

Untuk merangsang petani pemerintah mencoba membantu dengan menetapkan harga beli pemerintah (HBP) yaitu Rp 7.600/kg. Tapi, HBP ini juga tidak menguntungkan karena biaya produksi Rp 7.500/kg. Apa iya menguntungkan bagi petani dengan margin Rp 100/kg?

Untuk itulah perlu siasat agar impor kedelai bisa ditekan dengan menggenjot produksi kedalai di dalam negeri, juga dengan dukungan teknologi cocok tanam dan pasca panen.

Daripada mengeluarkan devisa melalui impor kedelai, akan jauh lebih arif dan bijaksana jika pemerintah membeli kedelai petani dengan harga yang realistis berdasarkan ongkos produksi. Bukan dengan menetapkan harga beli pemerintah (HBP), tapi membuat kontrak pembelian kedelai petani sebelum musim tanam

Petani melalui kelompok tani membuat kontrak kerja dengan pemerintah berdasarkan perhitungan yang menguntungkan petani sebelum musim tanam. Dalam kontrak disepakati harga saat panen.

Jika harga di pasaran internasional turun pemerintah tetap membayar harga yang sudah disepakati. Sebaliknya, jika harga kedelai dunia naik petani tetap hanya menerima harga sesuai dengan kontrak. Selain itu ketika panen gagal karena bencana alam petani juga tetap menerima harga sesuai dengan kontrak.

Seharusnya KUD (Koperasi Unit Desa) bisa berperan, tapi entah apa yang terjadi selama ini KUD tidak bisa memberantas tengkulak yang mengijon dan menjatuhkan harga komoditas pertanian.

Cara lain yang bisa ditempuh pemerintah adalah menerapkan “kedelai estate” dengan menyewa lahan petani. Pengolahan lahan, mulai dari mengolah tanah, menanam sampai memanen dilakukan secara mekanis. Tidak perlu lagi ada batas fisik karena batas lahan masing-masing petani bisa ditentukan berdarkan GPS (Global Positioning System).

Pemerintah juga bisa menjadikan petani yang lahannya disewa sebagai karyawan dengan upah UMR (umpah minimum regional) untuk mengelola lahan dengan tanaman kedelai. Semuanya keperluan mulai dari pengolahan sampai bibit, pupuk dan pestisida ditanggung penyewa (baca: pemerintah). Itu artinya hasil panen sepenuhnya milih penyewa, dalam hal ini pemerintah.

Memang, di tahap awal tetap harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan. Tapi, secara berangsur-angsur kebuhan kedelai dalam negeri akan dipenuhi dengan meningkatkan luas lahan dan intensifikasi tanaman. (Bahan-bahan: BPS, media dan sumber-sumber lain). []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

90% Kebutuhan Kedelai Nasional Diimpor

Cara Perajin Tempe di Jakarta Hadapi Lonjakan Harga Kedelai

Langkah Cepat Kementan Stabilkan Pasokan dan Harga Kedelai

Kemendag Minta Importir Sesuaikan Harga Kedelai

Berita terkait
90% Kebutuhan Kedelai Nasional Diimpor
Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, mengatakan 90% kebutuhan komoditas kedelai nasional dipenuhi dari impor