Cara Perajin Tempe di Jakarta Hadapi Lonjakan Harga Kedelai

Melonjaknya harga kedelai impor membuat pembuat tempe harus memutar otak untuk mengatasinya. Ini cerita seorang pembuat tempe di Jakarta.
Tarso tengah menata tempe berbungkus daun pisang ke atas batang bambu yang panjangnya 2,5 meter. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Jakarta – Tarso mengatur butir-butir kedelai ke dalam bungkusan daun pisang. Dengan cermat pria paruh baya berkaus cokelat itu mengukur agar jumlah kedelai yang ditata pada daun pisang itu berukuran sama banyak satu dengan lainnya.

Sementara, sang istri, Tursiah duduk tidak jauh dari tempat pria berusia 50 tahun tersebut. Di dekatnya juga terdapat butiran-butiran kedelai yang akan dibungkus. Namun berbeda dengan Tarso, perempuan berusia 42 tahun ini membungkusnya dalam kemasan plastik.

Di depan tursiah menyala sebatang lilin merah. Apinya sesekali meliuk terkena embusan angin yang timbul saat tangan atau tubuhnya bergerak. Dia menggunakan lilin itu untuk membakar ujung plastik berisi kedelai agar merekat.

Cerita Tempe 2Tarso tengah menata tempe berbungkus plastik keatas batang bambu yang panjangnya 2,5 meter.(Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Suami istri ini merupakan salah satu perajin tempe kedelai di Jakarta. Tarso mengaku menjalani pekerjaan sebagai pembuat tempe sejak tahun 1990-an. Kala itu dia masih bujuangan.

“Dari sebelum nikah kalau Pakde sudah bikin tempe. Dulu saya ikut keluarga di belakang sekolah madrasah Al-Ihsan,” ucap pria yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah ini, Sabtu siang, 16 Januari 2021.

Jam Kerja Tidak Menentu

Tarso mengaku setiap hari dia menjual tempe di Pasar Subuh, di Jalan Raya Bogor, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia menjual sejak pukul 01.30 hingga menjelang waktu Subuh. Sementara sang istri, biasanya membantunya berjualan hingga pukul 03.00.

Meski memiliki waktu khusus untuk menjual tempe, Tarso mengaku jam kerjanya untuk memroduksi tempe sangat fleksibel dan bisa diatur sesuai kepentingannya. Kadang dia mulai mengolah kedelai menjadi tempe pada pukul 10.00 WIB, namun tak jarang dia memulai agak lebih siang, setelah dia menyeruput habis kopi hitam kesukaannya.

Kalau Bapak sampai Subuh, kalau Mama Egi kadang jam 3 sudah pulang.

Tempe yang dibuatnya hari itu rencananya dijual tiga hari ke depan, sebab proses fermentasi tempe memerlukan waktu tiga hari.

Dalam sehari, mereka membutuhkan kacang kedelai sebanyak 80 kilogram untuk pembuatan tempe. “Berarti taruhlah sekarung setengah,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa satu karung kacang kedelai seberat 50 kg.

Dalam memroduksi tempe, Tarso memilih menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar untuk merebus kedelai, meski diakuinya biaya produksi jadi membengkak. Dalam dua hari mereka menghabiskan tiga gas elpiji ukuran tiga kilogram.

Menggunakan gas elpiji, lanjutnya, memiliki kelebihan tersendiri, yakni dari sisi kebersihan. Itu dapat dilihat dari tembok di ruang produksi tempe yang bersih tanpa bercak hitam khas sisa pembakaran kayu.

Tursiah menambahkan, proses produksi tempe diawali dengan merebus kedelai dalam air mendidih selama dua jam. Setelah itu, kedelai diangkat dan direndam dalam air bersih selama satu hari satu malam. Setelah direndam, kedelai digiling menggunakan mesin penggiling, untuk memecah kedelai dan memisahkan kulit dengan biji kedelainya.

Cerita Tempe 3Suara bising terdengar dari mesin berwarna hijau ini. Tarso memasukkan kedelai di bagian atas mesin yang kemudian akan digiling lalu kedelai yang telah terpecah menjadi dua bagian akan keluar di bagian bawah mesin. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Untuk membersihkan kulit kedelai yang masih menempel, biji-biji kedelai itu diayak secara manual menggunakan tampah yang terbuat dari bambu. Nantinya biji kedelai akan tenggelam sedangkan kulit atau ampasnya akan mengapung.

“Ampas biasanya dikasih ke peternak hewan ternak, dua hari sekali dia ngambilnya,” ujarnya menambahkan.

Proses pencucian dilakukan beberapa kali hingga benar-benar bersih. Pada pencucian terakhir, kedelai itu disiram dengan air panas. Selanjutnya ditiriskan dan didinginkan, lalu ditaburi ragi.

Proses fermentasi dengan ragi hanya akan berhasil jika kedelai benar-benar bersih. Ragi yang diperlukan untuk 100 kilogram kedelai sebanyak dua potong atau sekitar lima sendok makan. Ragi tempe ini biasanya didapat dari daun jati atau daun pohon waru yang sudah dicampur dengan bahan lain yang terbuat dari singkong.

Jika proses peragian berhasil, nantinya akan muncul lapisan benang-benang halus berwarna putih pada tempe. Jamur miselia kapang tersebutlah yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat.

Tahap akhir adalah pengemasan kedelai dalam plastik berlubang kecil atau daun pisang, agar bakteri dari ragi mendapatkan udara dan dapat melakukan proses fermentasi.

Untuk membungkus tempe, Tarso dan Tursiah membeli daun pisang seharga Rp 8 ribu per lembar. Mereka mempunyai satu karyawan yang membantu membungkus tempe. Biasanya dia membungkus mulai sekitar pukul 13.00 WIB hingga menjelang Asar. Mamak Suci, begitu sapaan akrabnya, diberi upah sebesar Rp 300 per bungkus, yang dibayarkan setiap bulan.

Beragam Kendala

Walaupun sekilas pekerjaan Tarso terlihat simpel dan fleksibel, tetapi mereka juga mengalami sejumlah kendala. Kendala yang rutin dialami dalam proses pembuatan tempe adalah cuaca.

Bila musim hujan datang, tempe yang ia buat akan bertambah lama proses fermentasinya. Karena bakteri probiotik yang hidup di dalam ragi tempe akan sulit hidup. Hal ini bisa diatasi dengan melakukan penambahan jumlah ragi yang diberikan pada kedelai.

Cerita Tempe 4Tarso, 50 tahun sedang memisahkan dan mengayak ampas kedelai menggunakan tampah yang terbuat dari bambu. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

lama dan tidak mengalami kegagalan,” ucapnya menjelaskan.“Kalau musim hujan raginya diperbanyak biar nunggunya nggak lama dan tidak mengalami kegagalan,” ucapnya menjelaskan.

Kendala lain adalah human error, berupa tidak dibuatkannya lubang nafas pada plastik atau daun pisang karena lupa atau terlewat.

“Biasanya suka ada yang kelupaan, ada yang kelewatan untuk ditusuk agar adanya lubang di plastik ataupun daun pisangnya.”

Dia juga menuturkan, kendala terbaru adalah mahalnya harga kedelai impor. Tarso menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku tempe, karena kedelai lokal hasilnya kurang bagus untuk pembuatan tempe.

Namun sejak beberapa waktu lalu harga kedelai impor meroket, menurut informasi yang didapatkan Tarso, kacang kedelai yang berasal dari Amerika sedang ditahan di sejumlah negara.

“Katanya kacang yang dibawa dari Amerika sedang ditahan di Singapura apa di mana gitu, jadi nggak bisa ke Indonesia.”

Penimbunan kacang kedelai, lanjutnya, juga menjadi salah satu faktor mengapa harga kacang kedelai meroket tajam. Menurutnya hal itu biasa terjadi akibat permainan dari orang yang tak bertanggung jawab hingga menyebablan kelangkaan terhadap bahan baku tempe. Saat ini, harga kacang kedelai Rp 9.500 per kilogram, padahal sebelumnya harganya Rp 7.000 per kilogram.

Meski harga bahan baku meroket, Tarso dan istrinya tak berniat menaikkan harga jual tempe. Mereka mengakali kenaikan harga bahan baku dengan mengurangi ukuran tempe yang diproduksi. “Jadi ukurannya saja yang diperkecil,” ucapnya menegaskan.

Dia melanjutkan, sekilo kacang kedelai bisa digunakan untuk membuat tiga tempe berbungkus plastik, yang dijual dengan harga Rp 4.000. “Kurang lebih satu bungkus tempe plastik ini seberat 3 ons.”

Sedangkan tempe yang berbungkus daun pisang beratnya sekitar 5 ons atau setengah kilogram, dan dijual dengan harga Rp 6.000. Tempe mendoan dibandrol dengan harga Rp 3.000 dengan delapan lapisan tempe yang sangat tipis. Sementara tempe berukuran kecil dijual seharga Rp 7.000 per 20 tempe. Dalam sehari dia bisa mengantongi uang sekitar Rp 1,2 juta dari penjualan tempe.

Cerita Tempe 5Tempe berbungkus daun pisang, tempe berbungkus plastik, dan bahan baku berupa kedelai impor. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Kendala lain adalah tempe yang dijual tak selalu habis ia pasarkan. Ia menceritakan dahulu saat tempe yang dijualnya tak habis ia akan berkeliling kampung menawarkan tempe dan menitipkan tempenya kepada tukang sayur. “Kalau dulu Mama Egi pernah kalau lagi nggak habis Mama Egi keliling menjualkan lagi gitu, sekarang nggak.” Ujar Tursiah

Untuk mengatasi kendala berupa tempe yang tidak laku, dia mendaur ulang tempe itu, dengan cara diproses ulang dari awal dan dicampur dengan kedelai baru. Hasilnya, tempe akan kembali fresh.

Saat ditanya mengenai pengaruh pandemi Covid-19, dia mengatakan tidak terlalu berpengaruh terhadap tempe yang ia produksi. Jumlah tempe yang diproduksi tidak berkurang.

“Stabil aja sih, seumpama sekarang bikin sedikit nanti biasa lagi, nggak yang turun banget cuma kendalanya sekarang kenapa harga kedelai melonjak banget gitu,” keluhnya. []

(Sarah Rahmadhani Syifa) 

Berita terkait
Asa Pemuda Kampung Nelayan di Utara Jakarta
Sejumlah pemuda Kampung Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, yang tergabung dalam REMKA mencoba mengubah pola pandang warga terkait pendidikan.
Sarwani dan Cerita Lampu Garam Penerang Lokasi Gempa Mamuju
Hanya dengan mencampur air bersih dan sesendok garam, lampu menyala hingga 12 jam dalam kekuatan sinar LED 1,6 watt setara terang bohlam 25 watt.
Seni Memenjarakan Plastik dalam Botol di Bogor
Sejumlah warga di kawasan RW 16, Perumahan Bojong Depok Baru 2 Kelurahan Sukahati, Cibinong, Bogor memiliki kegiatan berupa memenjarakan plastik.
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.