Mengenang Munir Lewat Museum HAM Munir di Kota Batu

Perjuangan Munir dalam bidang HAM tidak bisa dipungkiri, untuk mengenang perjuangan Munir dalam menegakkan HAM ada Museum HAM Munir di Kota Batu
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Ketua Yayasan Museum HAM Munir, Andi Achdian dan Istri Munir, Suciwati saat melihat desain pembangunan Museum HAM Munir yang akan dibangun di Jalan Sultan Hasan Halim, Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu. (Foto : Tagar/Moh Badar Risqullah)

Jakarta – Peletakan batu pertama Museum HAM (Hak Asasi Manusia) Munir di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, 8 Desember 2019, menandai peringatan "Hari Hak Asasi Manusia" yang diperingati tanggal 10 Desember 2019 yang erat kaitannya dengan Munir.

Peletakan batu pertama museum dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Pemilihan tanggal peletakan batu pertama ini disesuaikan dengan tanggal lahir seorang aktivis asal Malang, Munir Said Thalib, 8 Desember 1965. Selain untuk meningkatkan kunjungan wisatawan, keberadaan Museum HAM Munir ini juga dapat diharapkan jadi sarana edukasi bagi masyarakat terkait HAM.

Aktivis Munir meninggal akibat mengonsumsi racun arsenik, senyawa kimia berbahaya yang tidak menimbulkan bau, warna, atau pun rasa tertentu. Munir diracun ditengah perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda (7 September 2004), untuk melanjutkan pendidikannya. Di tengah perjalanan, di kala pesawat yang ditumpanginya masih mengudara, ia dinyatakan meninggal dunia. Sebelum meninggal, Munir sempat dikabarkan terlihat beberapa kali ke toilet. Munir juga sempat mendapat penanganan seorang dokter yang saat itu sedang berada di pesawat yang sama. Namun, nyawa Munir tidak bisa tertolong. Ini di usianya yang ke-38.

Dari hasil penyelidikan kasus pembunuhan Munir, nama Pollycarpus Budihari Priyanto ramai jadi perbincangan. Pollycarpus adalah seorang Pilot Garuda yang tengah cuti terbang yang berada di satu pesawat yang sama bersama Munir. Pada 20 Desember 2005 ia divonis 14 tahun hukuman penjara dan hanya menjalani 8 tahun masa tahanan. Selain Pollycarpus, ada nama lain yang diduga menjadi otak pembunuhan Munir yaitu, Muchdi Purwoprandjono, seorang Purnawirawan Perwira Tinggi Militer Indonesia dengan pangkat Mayor Jenderal. Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Ada juga nama Indra Setiawan yang divonis satu tahun penjara karena terlibat dalam menempatkan Pollycarpus di penerbangan tersebut.

Semasa muda Munir sudah terlihat pandai berbicara. Munir dikenal menonjol dalam Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Semasa sekolah ia aktif mengikuti ekstra kulikuler pecinta alam.

Setelah lulus SMA Munir melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Sejak jadi mahasiswa, ia mulai dikenal sebagai aktivis kampus yang aktif.

Pada tahun 1988, ia pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Di tahun yang sama ia menjadi Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir. Kemudian ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum, Sekretaris Al-Irsyad Malang, dan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1989, ia menjadi Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia.

Tak berhenti sampai di situ, Munir juga aktif organisasi di luar kampus. Selama masa hidupnya ia pernah menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia "Imparsial". Ia juga pernah menjadi Koordinator Badan Pekerja "KONTRAS" (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) pada tahun 1998-2001, dan pada tahun 2001, ia menjadi Ketua Dewan Pengurus KONTRAS. Munir juga pernah jadi Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) pada tahun 1998, dan menjadi penasihat hukum untuk beberapa kasus HAM yang terjadi di Indonesia.

Ia pernah  jadi penasihat hukum untuk beberapa kasus terkait HAM, seperti kasus penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah, seorang aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur. Penasihat hukum untuk keluarga korban tragedi Tanjung Priok.

Munir, yang menikah dengan Suciwati ini juga pernah berjuang untuk mengungkapkan kasus penculikan tahun 1997-1998. Pada kasus tersebut, sebanyak 13 orang hingga saat ini masih hilang dan tidak ditemukan.

Untuk mengenang perjuangan Munir dalam membela HAM, Ratrikala Bhre Aditya meluncurkan sebuah film dokumenter berjudul Bunga Dibakar. Judul Bunga Dibakar sebenarnya adalah judul dari salah satu lukisan Yayak Yatmaka yang didedikasikan untuk para aktivis yang hilang. Selain itu, ada juga film dokumenter lainnya produksi SBS TV Australia dan Off Stream Production yakni, Garuda’s Deadly Upgrade.

Semasa hidupnya, Munir, yang mempunyai dua anak ini, Soeltan Alif Allende dan Suukyi Larasathi, telah meraih berbagai macam penghargaan, seperti Right Livelihood Award, sebuah penghargaan internasional yang diberikan kepada seseorang atas pengabdiannya pada bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer pada tahun 2000. Munir juga menerima penghargaan Mandajeet Singh Prize dari UNESCO tahun 2000, Suardi Tasif Award, Serdadu Awards, dan lain-lain. []

Berita terkait
Museum HAM di Kota Batu, Sejarah Perjuangan Munir
Munir dianggap sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, sehingga perlu adanya museum HAM Munir.
Lima Fakta Pembunuhan Aktivis HAM Munir
Munir tewas diracun ketika di atas pesawat. Kendati sudah 14 tahun, tapi hingga kini kasusnya belum benar-benar selesai.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.