Mencatat Kekecewaan Cucu Pendiri Boedi Oetomo (Bagian 3)

Mencatat kekecewaan cucu pendiri Boedi Oetomo. Antara prihatin, kecewa, dan kesal bercampur aduk. Sulit baginya membayangkan 20 tahun ke depan, seperti apa bangsa ini jika kondisinya tidak beranjak membaik.
Cucu pendiri Boedi Oetomo, Dri Arbaningsih berpendapat bahwa bangsa ini mulai kehilangan antusiasmenya pada persoalan kebangsaan. (Foto: Ant/Hanni Sofia)

Jakarta, (Tagar 22/5/2018) – Dri Arbaningsih lahir setahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Dia menarik napas panjang saat ditanya tentang masa depan bangsa ini.

Cucu M Soeleiman yang Wakil Ketua Pendiri Boedi Oetomo itu mengaku begitu sulit menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan hatinya yang berkecamuk.

Antara prihatin, kecewa, dan kesal bercampur aduk. Sulit baginya membayangkan 20 tahun ke depan, seperti apa bangsa ini jika kondisinya tidak beranjak membaik.

Doktor lulusan UGM itu sudah lama menekuni studi kebangsaan, termasuk nota Kartini sehingga paham betul bagaimana sebuah bangsa berproses dalam setiap dua dekade.

Dia sendiri dipaksa menyaksikan bagaimana generasi muda di zaman reformasi saat ini mulai kehilangan antusiasmenya pada persoalan kebangsaan. Mereka laksana tercerabut dari akar budaya bangsanya sehingga komitmen kebangsaannya nyaris tak terbangun.

Hal itu mengundang keprihatinan tersendiri mengingat problem kebangsaan ke depan semakin kompleks. Contohnya sudah semakin sedikit generasi muda yang tertarik mendalami sejarah bangsa, termasuk untuk datang ke museum-museum.

Dri Arnaningsih menemukan keruntuhan karakter bangsa ini lebih disebabkan karena intervensi VOC yang demikian lama berkuasa di Tanah Air.

Indonesia, kata dia, selama 350 tahun telah memberikan kesempatan kepada VOC untuk membuat bangsa ini semakin bodoh dan terbelakang.

Menurut dia, Indonesia tidaklah dijajah selama itu sebab secara de jure Indonesia dijajah secara administratif oleh Kerajaan Belanda setelah periode tanam paksa kedua yakni 1870-1945.

Setelah itu, Indonesia tidak dijajah. Namun bangsa ini telah terlanjur mengecilkan dirinya sendiri dalam mental sebagai bangsa yang terus-menerus dijajah.

Padahal ketika masa kerajaan, bangsa ini adalah bangsa maritim dengan kebanggaan besar. Maka dia berpendapat, esensi terpenting untuk membuat bangsa Indonesia kembali memiliki karakter kebangsaannya adalah melalui edukasi.

Dia menegaskan, edukasi penting untuk mengingatkan kembali kepada leluhur dan para pendahulu bangsa yang bahkan telah mampu melampai cita-cita pada zamannya.

110 Tahun

Kekecewaan Dri Arbaningsih bukan tanpa alasan. Sebab sudah 110 tahun berlalu sejak organisasi pergerakan pertama didirikan. Ketika Boedi Oetomo dibentuk pada 1908, nyatanya bangsa ini tidak beranjak membaik.

Pendidikan di satu kondisi tertentu masih menjadi barang mahal yang tak terbeli rakyat Indonesia. Adakalanya pendidikan gratis justru hanya sebagai jargon menjelang pemilu. Setelahnya, pendidikan adalah barang mahal yang terpajang di etalase yang demikian sulit dijangkau.

Hal itulah yang dirasakan langsung oleh dua guru kembar penyelenggara Sekolah Darurat Kartini, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih yang akrab dipanggil Rossy dan Ryan di Jakarta.

Rossy dan Ryan yang belum lama ini dinobatkan sebagai Duta Perdamaian oleh Kementerian Sosial harus merasakan sulitnya ketika hendak meloloskan muridnya untuk mengikuti ujian dan mendapatkan ijazah.

Hanya karena satu sebab, mereka terlahir sebagai masyarakat marjinal yang tidak memiliki akta kelahiran dan kartu keluarga.

Rossy dan Ryan mengajar anak-anak jalanan yang tinggal di kolong-kolong jembatan sehingga sulit bagi mereka untuk bisa memenuhi persyaratan administratif, termasuk kepemilikan akta kelahiran.

Lebih sering keduanya berkorban membayar mahal persyaratan yang diminta, agar anak-anak itu dapat mengakses pendidikan yang semestinya, menjadi hak dan hajat hidup mereka.

Hal terpenting bagi Rossyati dan Irianingsih adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu atau anak jalanan dapat merasakan manisnya duduk di bangku sekolah, mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat bagi masa depan mereka.

Fakta itu sejatinya menjadi ironi tersendiri ketika kebangkitan nasional telah diperingati lebih dari seabad lamanya di bumi pertiwi.

Komitmen Kebangsaan

Masyarakat sebagai bagian penting dari bangsa ini dinilai perlu diingatkan kembali terkait komitmen kebangsaan mereka setelah 110 tahun Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengakui, peringatan Harkitnas setiap 20 Mei lebih banyak masih merupakan seremoni belaka. Padahal semestinya menjadi momentum yang penting di tengah masalah kebhinekaan, disintegrasi bangsa, beragam persoalan kompleks yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.

Menurut Hilmar, penting untuk menegaskan kembali komitmen kebangsaan yang membuat bangsa ini merekat tetap bersatu, bukan karena alasan apa pun melainkan sebuah komitmen.

Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya masyarakat untuk kembali mengingat betapa komitmen kebangsaan telah menyatukan para pemuda dari berbagai pelosok nusantara untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada 1908.

Bagaimana para pemuda di masa lalu dengan segala keterbatasan berhasil mengikatkan diri menjadi satu. Modalnya jiwa kebangsaan yang membimbing mereka.

Tujuan utama mereka yang terbesar yakni menyelenggarakan pendidikan untuk kaum marjinal, sehingga menurut Hilmar esensi dari solusi persoalan bangsa ini tidak terlepas dari pendidikan untuk semua.

Dia mencontohkan, sampai saat ini masih ada orang-orang yang bersukarela menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat tidak mampu seperti yang dilakukan oleh penyelenggara Sekolah Kartini.

Hal itu tidak lain didorong oleh komitmen kebangsaan yang menurut dia menyadarkan orang-orang tertentu untuk merasa terpanggil melayani bangsa ini.

Oleh karena itu, dia mengajak segenap bangsa ini untuk kembali merenung tentang betapa bangsa ini sejatinya sudah demikian lama membangun komitmen untuk bersatu dalam hal berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu dalam bingkai Indonesia. Sebab 110 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk membuat para pendiri bangsa dan keturunannya tetap berbangga pada bangsanya, bukan malah kecewa. (Hanni Sofia/ant/yps)

Berita terkait
0
Mendagri Lantik Tomsi Tohir sebagai Irjen Kemendagri
Mendagri mengucapkan selamat datang, atas bergabungnya Tomsi Tohir menjadi bagian keluarga besar Kemendagri.