Untuk Indonesia

Membongkar Hoaks Berjemaah 'Jokowi Harus Minta Maaf'

Hoaks tentang Pak Jokowi harus minta maaf ini punya implikasi sangat serius. Kasus terkait keputusan PTUN soal blokir internet saat rusuh di Papua.
Presiden Jokowi. (Foto: Facebook/Presiden Joko Widodo)

Oleh: Ade Armando*

Kita baru saja mendengar kejadian yang menurut saya penting bagi kita yang sedang belajar berdemokrasi di Indonesia. Ini terkait keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang pada tanggal 3 Juni mengeluarkan keputusan terkait gugatan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi dan Menkominfo terkait dengan tindakan mereka, menghentikan atau memutuskan hubungan internet, atau memperlambat arus internet ke Papua dan Papua Barat pada Agustus-September 2019.

Yang mengajukan gugatan adalah dua organisasi, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan SAFEnet, semacam aliansi dari kebebasan berekspesi di Asia Tenggara.

PTUN memutuskan tindakan Pak Jokowi dan Kominfo ketika itu, yaitu memperlambat arus internet dan memutus hubungan internet di Papua dan Papua Barat itu melanggar hukum. Jadi, tidak dibenarkan.

Kalau Anda ingat sebetulnya ketika itu keputusan tersebut diambil mengingat pemerintah khawatir dengan kerusuhan yang terjadi di daerah tersebut dan berusaha mencegah agar kerusuhan tidak menjadi memuncak dan tidak meluas dengan cara memutus penyebaran hoaks, penyebaran kebencian melalui internet.

Jadi ketika itu internet diputus di Papua dan Papua Barat. Tapi kemudian ini menurut PTUN tidak dibenarkan. Salah itu. Tidak boleh pemerintah melakukan tindakan tersebut secara sepihak.

Tapi terlepas dari keputusan tersebut, memang pemerintah dinyatakan bersalah, Pak Jokowi dan Pak Rudiantara waktu itu menterinya dinyatakan bersalah. Tapi ya, that's it. Mereka cuma dihukum membayar biaya perkara sekitar Rp 457.000. Tidak ada hukuman pidananya.

Niat pemerintah mungkin saja baik, berusaha mencegah jangan sampai kerusuhan meluas, tapi caranya yang dianggap oleh PTUN seharusnya tidak begitu. Tapi yang menarik dari apa yang kita bicarakan di sini bukan soal keputusan tersebut.

Tapi yang lebih penting adalah bahwa pemberitaannya kemudian di banyak media nasional bukan mengatakan bahwa PTUN menyatakan Pak Jokowi bersalah karena memutuskan hubungan internet tersebut, tapi berita yang muncul sebagai headline di berbagai media massa nasional, termasuk media internasional adalah PTUN memutuskan agar Pak Jokowi meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat Papua dan Papua Barat. Ini menarik karena itu tidak ada dalam amar keputusan PTUN.

Jadi, PTUN tidak pernah memerintahkan Pak Jokowi meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Tapi kok judul beritanya jadi begitu. Dan ini muncul bukan di media abal-abal. Ini munculnya di Kompas, CNN Indonesia, Viva News, Tempo, Merdeka, IDN Times, Kata Data, Tibunnews, Warta Ekonomi, Warta Kota, Antara News, Radio Sonora, Waspada, Fajar, dan seterusnya. Ini yang terlacak oleh saya.

Oh ya saya perlu tekankan, ini yang versi media online. Jadi kalau kita bicara Kompas itu bukan Kompas koran, tapi kompas.com-nya, Tempo-nya tempo.co-nya, bukan Tempo korannya.

PTUN tidak pernah memerintahkan Pak Jokowi meminta maaf kepada masyarakat Indonesia.

Kok bisa mengarang bebas begitu? Ini kan aneh. Jadi begini, AJI dan SAFEnet, dua penggugat tersebut memang di dalam gugatan mereka itu meminta agar Pak Jokowi, pemerintah Indonesia, Pak Jokowi dan Menkominfo meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, dan permintaan maaf itu harus dimuat di tiga media cetak nasional, enam stasiun televisi, sejumlah radio, sejumlah media online. Itu ada dalam gugatannya.

Pihak penggugat menggugat itu, menuntut itu. Tapi, kalau membaca keputusan PTUN, tidak ada keputusan bahwa Pak Jokowi dan Pak Rudiantara atau Menkominfo harus minta maaf. Jadi pertanyaannya, kok bisa salah? Kok bisa salah? Itu kan aneh, dan ini dari media-media besar, bukan media abal-abal.

Satu kemungkinan adalah jangan-jangan para wartawn tersebut secara bersama-sama cuma baca isi gugatan yang diajukan oleh AJI dan SAFE-net. Tapi itu kan tidak masuk di akal.

Wartawan beneran kan tidak mungkin melakukan kesalahan seelementer itu. Jadi gini, kalau dalam menulis berita, kita percaya ada dua bentuk sumber berita. Pertama adalah sumber berita resmi, satu lagi sumber berita tidak resmi. Yang resmi itu seperti Surat Keputusan, Keputusan Pengadilan kalau itu soal putusan pengadilan, atau surat-menyurat, atau sesuatu yang dinyatakan secara resmi.

Atau barangkali wartawannya datang langsung ke pengadilan dan mengutip apa yang disampaikan oleh hakim. Kalau yang tidak resmi adalah kata orang, saya mendengar kata orang begini, maka saya kutip. Itu yang tidak resmi.

Kalau membaca keputusan PTUN, tidak ada keputusan bahwa Pak Jokowi dan Pak Rudiantara atau Menkominfo harus minta maaf.

Jadi kita bicara tentang kerja wartawan dulu. Begitu seorang wartawan mendapat informasi, dia akan tanya, ini sumbernya apa, ya? Dia akan cek, kalau ada Keputusan Pengadilan misalnya, wartawan seharusnya, logisnya itu mengecek. Ada tidak amar keputusannya? Ada tidak suratnya? Kalaupun tidak ada amar keputusannya, ada tidak siaran persnya? Atau ada tidak wartawan yang mendengar langsung ketika keputusan itu dikeluarkan?

Jadi wartawan itu tidak begitu saja menyiarkan sebuah berita. Harusnya begitu. Kalau cuma kata orang, misalnya dia dengar, "Kata si anu, keputusannya adalah Jokowi harus minta maaf." Nah, ada kewajiban si wartawan harus melakukan yang namanya verifikasi. Itu namanya disiplin verifikasi.

Verifikasi itu mengecek. Misalnya apa? Misalnya membuka website-nya PTUN, menelepon, atau cari tahu kepada sumber-sumber yang kredibel tentang benar tidak sih Pak Jokowi diperintahkan untuk minta maaf. Dan kalau dia tidak yakin, dia bisa saja bilang di beritanya bahwa, "Menurut informasi yang kami perolah dari (siapa), dikatakan bahwa Pak Jokowi harus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan masyarakt Papua."

Jadi, harusnya begitu. Nah, sekarang pertanyaannya, kembali ke kasus Papua ini, kok bisa, wartawan ramai-ramai, dan ingat tadi saya katakan bahwa ada media internasional dan kantor berita internasional Reuters, kantor berita terbesar di dunia. Nah, kok bisa mereka sama-sama salah?

Salah satu kemungkinan adalah wartawan-wartawan ini memang dapat informasi dari sebuah sumber dan sumber itu dapat dipercaya. Sumber yang punya kredibilitas. Mungkin ada sebuah siaran pers yang bohong, palsu, tapi sangat meyakinkan sehingga semua orang percaya, dan kemudian menuliskannya tanpa merasa perlu memverifikasinya kembali.

Sebagai catatan, media-media massa besar tersebut memang kemudian mengoreksi berita tersebut. Sebagian besar media misalnya menghapus berita-berita tersebut dari website mereka. Tapi kalau Anda lacak dengan Google misalnya, Anda akan tetap menemukan bahwa berita-berita itu pernah ada, karena itu logika Google. Jadi judulnya tetap ada, tapi begitu Anda klik, Anda buka, isi beritanya sudah berubah. Atau beritanya masih ada dengan judul yang sama, tapi isinya sudah dikoreksi.

Berita bohong tentang Pak Jokowi harus minta maaf ini punya implikasi yang serius, sangat serius.

Tapi celakanya hanya sebagian media yang mengoreksinya. Sampai misalnya satu hari kemudian, yaitu tanggal 4 Juni, masih ada media-media online yang tetap menyiarkan berita bahwa Pak Jokowi harus minta maaf, dan ini sudah disambut pula dengan beberapa kelompok anti-Jokowi yang mengatakan bahwa, "Ya, Pak Jokowi harus minta maaf, wajib minta maaf. Bahkan kalau di Jepang ini bukan cuma minta maaf, tapi juga sudah sampai bunuh diri ini mestinya."

Lapor ke Dewan Pers

Jadi memang berita bohong tentang Pak Jokowi harus minta maaf ini punya implikasi yang serius, sangat serius. Tapi sungguh janggal, buat saya. Ini media besar, Bung, bukan media kecil, bukan media abal-abal, tapi media yang wartawan-wartawannya sudah terlatih dengan yang namanya disiplin verifikasi.

Memang ini media online dan media online itu memang seringkali dikatakan kurang terlatih dalam disiplin verifikasi, kurang pengecekan. Kenapa? Karena itu kan soal kejar-kejaran waktu di media online, lain sama koran yang beritanya hari ini bisa muncul di korannya baru besok atau kalau televisi biar bagaimanapun ada beberapa jam sebelum disiarkan. Tapi kalau media online kan tidak, media online itu cepat-cepatan. Jadi memang wartawan media online dianggap agak kurang dalam hal verifikasi.

Tapi tetap, menurut saya, seceroboh-cerobohnya media, biasanya verifikasi minimal tetap ada, tetap dicek, dan ini bukan satu media, media internasional pun terlibat di dalamnya.

Jadi, apa yang terjadi? Saya duga sih memang ada yang sengaja menyebarkan kabar bohong ini. Jadi, memancing di air keruh. Tujuannya adalah ingin sekali mempermalukan Jokowi dan pemerintahan Jokowi.

Soalnya begini, kalau keputusan PTUN yang sekarang, ya PTUN menyatakan bahwa Jokowi melanggar hukum dengan melakukan tindakan itu. Seharusnya pemerintah tidak bersikap seperti itu. Tapi kan itu tidak seksi, tidak ada hukumannya juga, cuma bayar tidak sampai Rp 500 ribu.

Tapi kalau sampai judulnya adalah, "Jokowi Harus Minta Maaf kepada Publik Indonesia", maka itu, menurut dugaan saya, dianggap jauh lebih seksi. Ada orang-orang yang kemudian dengan sengaja membuat berita yang seolah-olah Pak Jokowi memang harus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Jadi ada yang jahat, ada yang licik, ada yang menipu. Dan ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena pelakunya pasti bukan orang main-main.

Penyebar berita bohong ini pasti pihak yang kredibel sehingga dipercaya begitu saja oleh para media besar itu. Pertanyaannya, siapa orang itu? Siapa orang kredibel yang menyebarkan kabar bohong itu?

Karena ini serius, saya beserta sejumlah kawan sudah melaporkan ini kepada Dewan Pers. Mudah-mudahan saja itu ada gunanya, mudah-mudahan Dewan saja Dewan Pers mau menyelidikinya. Bukan karena mau mencari-cari kesalahan pers, tapi justru untuk mengetahui bagaimana mungkin sebuah kabar bohong bisa menyebar di media-media besar.

Saya tekankan, saya melakukan ini bukan karena saya membenci media massa, bahkan sebaliknya, karena saya sangat percaya pada arti penting pers di Indonesia. Pers buat saya adalah pilar demokrasi, dia adalah watchdog of the government.

Kami masyarakat mengandalkan informasi yang datang dari media massa. Ada soal hoaks, kebencian, ukuran utamanya adalah apa yang ditampilkan media massa resmi nasional, besar, bukan apa yang menyebar melalui media sosial, kan? Jadi karena itu kita membutuhkan media massa. Kita harus mendukung kemerdekaan pers. Tapi, kepercayaan ini harus dijawab dengan tanggung jawab profesional media.

Kita butuh wartawan yang mampu menyediakan informasi, menyebarkan informasi secara benar, secara akurat, objektif, bertanggung jawab. Karena kalau itu tidak ada, media massa justru bisa menjadi kekuatan yang menghancurkan Indonesia. Dan lebih lagi seperti tadi saya katakan, ini menjadi penting untuk kita pelajari, karena ini menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menyebarkan kabar bohong, yang ingin menghancurkan Indonesia. Dan mereka ini terorganisir. Dan mereka ini sangat paham cara kerja wartawan.

Pelajaran ini memaksa kita untuk lebih berhati-hati, masyarakat lebih berhati-hati, media massa lebih berhati-hati. Dan untuk itu kita harus terus mengasah, mempertajam akal sehat kita, dan dengan akal sehat inilah kita bisa menyelamatkan Indonesia. 

*Dosen di Universitas Indonesia

Baca juga:

Berita terkait
Di Papua Sudah Bisa Internet Pasca Kerusuhan
Sebanyak 25 kabupaten di Papua kini sudah bisa menikmati akses internet, sempat sebelumnya diblokir oleh pemerintah akibat kerusuhan di daerah itu
Blokir Internet di Papua Sudah Dibuka
Blokir akses internet di Papua sudah dibuka menyusul situasi yang kian kondusif.
Pemblokiran Internet di Papua, Kominfo Terancam Digugat
Kementerian Komunikasi dan Informatika terancam digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh sejumlah organisasi Masyarakat
0
Natur-E Rayakan 45 Tahun Memberdayakan Wanita dengan Kecantikan Luar Dalam
Sri Annisa Shaliyasih, Brand Manager Natur-E menjelaskan fakta-fakta tersebut muncul dari survei kualitatif yang dilakukan oleh Natur-E.