Memandikan Jenazah Pasien Corona Menurut Para Ulama

Proses pemandian jenazah bagi orang yang meninggal karena terjangkit virus corona agar tidak tertular.
Ilustrasi mayat. (Foto: pixabay)

Jakarta - Pasien positif yang terinfeksi virus corona Covid-19 di Indonesia bertambah 55  menjadi 227 orang pada Rabu, 18 Maret 2020. Dari total 227 kasus positif virus corona, 19 di antaranya meninggal dunia.  

Virus corona merupakan wabah yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China. Virus sangat mudah menular pada setiap orang terutama yang memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Berdasarkan data terbaru, virus ini telah menyebar ke 152 negara. 

Untuk korban meninggal dunia yang muslim tentu proses pemakamannya harus memenuhi syariat Islam.  Banyak orang yang ingin mengetahui bagaimana proses pemandian jenasah bagi orang yang meninggal karena terjangkit virus corona agar tidak tertular.

Jika merujuk pada kajian fikih, ada empat hal dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dalam mengurus jenasah muslim bagi muslim yang masih hidup lainnya, yaitu: memandikan, mengafani, mensalati dan menguburkan. 

Dalam mazhab Hanafi dikatakan wajib kifayah hanya memandikan jenasah saja, sedangkan yang lain merupakan wajib ain atau kewajiban individual.

اعلم بأن غسل الميت واجب، وهو حق المسلم على المسلم، قال عليه الصلاة والسلام : للمسلم على المسلم ستة حقوق، وفي جملته "أن يغسله بعد موته"، ولكن إذا قام به بعض المسلمين سقط عن الباقين لحصول المقصود

“Ketahuilah bahwa memandikan mayit, hukumnya adalah wajib dan ini merupakan hak Muslim atas Muslim lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesama Muslim terdapat 6 hak. Termasuk di dalam 6 hak itu adalah memandikannya setelah kematiannya.’ Akan tetapi, bila memandikan ini sudah dilakukan oleh sebagian Muslim, maka gugur kewajiban Muslim lainnya, karena sudah tercapainya maksud” (Al-Mabsuth, Juz 2, halaman 58).

IlustrasiIlustrasi berjabat tangan yang harus dihindari saat Corona. (Foto: express.co.uk/GETTY)

Sementara itu, dalam mazhab Maliki terdapat khilafiyah dalam urusan memandikan jenasah. Hukum yang terkenal dalam mazhab tersebut adalah wajib.

وفي الكافي لابن عبد البر: إغماض الميت سنة، وغسله واجب مثل مواراته والصلاة عليه والقول الآخر عند المالكية أن غسل الميت سنة مؤكدة، حكاه ابن أبي زيد، وابن يونس، وابن الجلاّب، وشَهَرَه ابن بَزيزَة

“Di dalam al-Kafi karya Abdul Barr, disebutkan bahwa memejamkan mata mayit adalah sunnah. Sementara memandikannya adalah wajib. Demikian halnya dengan kewajiban mengafani dan menshalatinya. Pendapat lain dari mazhab Maliki, adalah memandikan mayyit adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), sebagaimana disampaikan oleh Ibn Abi Zaid, Ibnu Yunus, dan Ibnu al-Jallab yang masyhur dengan Ibnu Bazizah.” (Hasyiyatu al-Dasuqy, Juz 4, halaman 94).

Dari mazhab Syafii memiliki pendapat yang hampir sama dengan imam Hanafi yaitu wajib kifayah. Sehingga jika sudah ada salah satu orang muslim telah mengerjakan itu maka gugur kewajiban bagi muslim yang lain.

حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لايسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى

“Merupakan hak wajib seseorang atas manusia lainnya adalah memandikan mayit, mensalatinya dan menguburkannya, meski kewajiban ini tidak memuat semua orang. Jika sudah ada pihak yang melakukannya, maka hal itu sudah cukup bagi kewajiban sebagian lainnya, insyaallah ta’ala.” (Al-Umm, Juz 1, halaman 312).

Ilustrasi CoronaIlustrasi virus Corona atau Covid-19. (Foto: jdrf.org)

Pendapat lain juga diungkapkan oleh Imam Nawawi, seorang ulama kenamaan yang berhaluan mazhab Syafii bahwa memandikan jenasah merupakan fardhu kifayah.

وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين، ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين، وإن تركوه كلهم أثموا كلهم، واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف

“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah ini adalah bahwa bila sudah ada seseorang yang melakukan dengan niat kifayah, maka gugur tanggungan bagi yang lain. Dan jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya, adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 128).

Bagaimana dengan Jenasah yang Terinfeksi Corona?

Ada sebuah contoh kasus jenasah yang meninggal karena terbakar. Jika jasad tersebut dimandikan justru akan merusaknya. Kemudian juga ada jenasah yang mati karena penyakit menular, misal lepra atau wabah lainnya yang jika dimandikan malah akan menularkan penyakit terhadap yang memandikan.

Dari kasus tersebut, para ahli fiqih berpendapat membolehkan tidak memandikan jenasah tersebut. Namun hanya mengguyur air ke badan mayit tanpa digosok atau dibersihkan. Ulama Hanafiyah berargumen.

والمنتفخ الذي تعذر مسه يصب عليه الماء

“Bagi jenazah yang badannya gosong sehingga uzur untuk disentuh, maka cukup dengan dituangkan air padanya.” (Muraqiy al-Falakh, halaman 224)

Namun, dengan mengalirkan air masih mendapat kesulitan maka terdapat cara lain dari ulama Hanafiyah, yaitu dengan mengupayakan tayamum kepada mayit. Pendapat ini juga dikuatkan oleh kalangan Malikiyah. 

مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ ؛ لِعَدَمِ مَا يُغْسَلُ بِهِ فَيُيَمَّمُ بِالصَّعِيدِ

“Bila suatu saat ada jenasah yang uzur untuk dimandikan, karena ketiadaan hal yang memungkinkan bisanya dibasuh, maka tayamumilah dengan debu.” (Al-Inayah, Juz 16, halaman 261).

Dikisahkan dalam masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi wabah thaun yang menerpa umat muslim. Merupakan sejenis wabah penyakit, demikian disebutkan dalam ash-Shihah. Di kalangan medis, thaun adalah pembengkakan parah yang mematikan, menimbulkan rasa haus dan dahaga yang amat parah dan rasa sakit yang luar biasa. Tubuhnya menjadi hitam, hijau, atau abu-abu. Selanjutnya, akan muncul nanah. 

Biasanya, thaun menyerang tiga lokasi di tubuh, yaitu bagian belakang telinga, dan ujung hidung, serta di bagian daging tubuh yang lunak. Para ulama berbeda pendapat dalam hal memandikan jenasah yang terkena wabah ini.

Dari pengarang kitab Al-Mudawwanah yang bermazhab Maliki, mengatakan:

في غُسْل الميِّت المجرُوح قال : وسُئلَ مالك عن الذي تُصِيبُهُ القُرُوحُ فيَمُوتُ وقد غَمَرَت القُرُوحُ جَسَدَهُ ، وهم يَخافونَ غُسْلَهُ أنْ يَتَزَلَّعَ . قال : يُصَبُّ عليه الماءُ صَبًّا على قَدْرِ طاقتهم. قلت : أليس قول مالك لا يُيَمَّمُ بالصَّعيد مَيِّتٌ إلا رجلٌ مع نساءٍ أو امرأةٌ مع رجلٍ ؟ فأمَّا مجروحٌ أو أَجرَبُ أو مَجْدُورٌ أو غير ذلك ممن بهم الدَّاء ، فلا يُيَمَّمُونَ ويُغَسَّلُونَ ويُحَنَّطُونَ على قَدْرِ ما لا يَتَزَلَّعُون منه ولا يَتَفَسَّخُون ؟ قال : نعم)

“Persoalan memandikan jenasah karena terkena penyakit. Mushannif berkata: Imam Malik ditanya mengenai seseorang yang meninggal akibat terkena wabah penyakit bernanah, sementara di seluruh tubuh jenasah masih menunjukkan bisul bernanah itu. Mereka takut tertular karena memandikannya. Imam Malik menjawab: ‘Cukup siram dengan air menurut kadar kemampuan kalian.’ Komentarku: ‘Bukankah Imam Malik pernah berpendapat bahwa seorang jenasah tidak ditayamumi melainkan oleh seorang laki-laki yang bersama seorang perempuan, atau seorang perempuan bersama seorang laki-laki? Padahal, orang yang meninggal karena wabah atau sebab penyakit jarab (penyakit baru yang asing), majdur (cacar), atau penyakit lainnya yang menular, maka orang tersebut tidak perlu ditayamumi, dimandikan, atau dikafani hingga kadar tidak menyebabkan tertularnya penyakit, dan tidak menyebabkan bahaya?’ Imam Malik menjawab: ‘Iya’.” (Al-Mudawwanah, juz I, halaman 472).

Kemudian, Imam Al-Rafi’i dari kalangan mazhab Syafi’i, pengarang Kitab al-Syarhu al-Kabir, menyampaikan:

وصب على مجروح أمكن الصَّب عليه من غير خشية تقطُّعٍ أو تزلعٍ ماءٌ من غير ذلك ؛ كمجدور ونحوه ، فيُصبُّ الماء عليه إن لم يَخَفْ تزلُّعه أو تقطُّعه فإن لم يُمكن بأن خيف ما ذَكَرَ يُمِّمَ

“Cukup dituangkan air pada jenasah dengan wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan jenasah, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka cukup dituangkan air ke badan jenasah, jika tidak takut rusaknya badan jenasah atau terpotongnya. Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya jenazah, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410).

Pendapat Imam al-Rafii ini nampaknya sama dengan pendapat dari kalangan Malikiyah, bahwa untuk menghadapi jenasah dengan penyakit menular, maka solusinya, pertama disiram dengan air menurut kadar kemampuan tidak membahayakan diri yang memandikan serta tidak merusak jenazah, dan kedua,  ditayamumkan. []

Baca Juga:


Berita terkait
Jumlah Terbaru Pasien Corona, 227 Positif, 19 Meninggal
Pasien positif yang terinfeksi virus corona atau COVID-19 di Indonesia bertambah 55 orang menjadi 227 orang pada Rabu, 18 Maret 2020.
Ditelusuri Rekan PDP Corona yang Meninggal di Medan
PDP corona yang meninggal dunia di Medan, baru pulang dari Israel dan Italia bersama rombongannya.
Satu Pasien di RSUP Adam Malik Medan Meninggal
Seorang Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang diisolasi di RSUP Adam Malik, Medan, dikabarkan meninggal dunia.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.