Untuk Indonesia

Meiliana Korban Berkali-kali

Tulisan Eko Kuntadhi: Meiliana korban berkali-kali, korban palu hakim yang menyerah pada tekanan kelompok garis keras.
Meiliana Korban Berkali kali | Air mata Meiliana jatuh di ruang pengadilan. (Foto: VOA Indonesia)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Meiliana, Ibu Rumah Tangga di Tanjungbalai,  Sumatera Utara awalnya hanya mengeluhkan suara speaker masjid yang belakangan semakin keras. Keluhan itu disampaikan kepada rekannya, ibu pemilik warung dekat rumahnya. Dia tidak bermaksud protes. Hanya mengeluhkan saja. Itupun hanya kepada ibu pemilik warung. "Kak, sekarang suara masjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras," keluh Meiliana pada Karsini, pemilik warung.

Bagi Meiliana, suara speaker dari masjid Al Maksum yang berdekatan dengan rumahnya sudah terbiasa didengar. Delapan tahun tinggal berdekatan dengan masjid, halaman rumahnya sering diikhlaskan digunakan untuk berbagai kegiatan di masjid itu.

Makanya Meiliana santai saja ketika menyampaikan keluhannya itu. Dia berharap Kasini akan menyampaikan keluhannya kepada ayah Kasini, yang merupakan pengurus di masjid Al Maksum. Tapi rupanya Kasini menyampaikan itu ke adiknya, Hermayanti. Lalu Hermayanti menyampaikan informasi tersebut ke bapaknya. Dan tersebarlah informasi dengan berbagai bumbu penyedap. Seperti kelebihan vetsin. Isu yang beredar Meiliana melarang azan di masjid.

Jika kamu seorang penganut Budha, yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim, apakah kamu punya nyali untuk melarang azan berkumandang? Makanya, isu Meiliana melarang azan adalah tambahan bumbu penyedap yang membuat suasana jadi panas.

Dampaknya rumah Meiliana didatangi sekelompok orang. Mereka melempari rumahnya, merusak barang-barang dan membakarnya. Meiliana adalah korban dari kibasan isu yang ditiup-tiupkan untuk memancing kerusuhan. Meiliana adalah korban yang diintimidasi massa yang berdasarkan informasi yang diplintir sedemikian rupa. Meiliana adalah korban kebengisan.

Bukan hanya itu. Tetiba gerombolan lain menyambut isu tersebut untuk melebarkannya ke seantero kota Tanjung Balai. Publik kalap. Mereka membakar beberapa vihara dan meneriakkan kata-kata makian rasis. Suasana mencekam.

Jarak dari obrolan Meiliana dengan tetangganya dan kerusuhan yang terjadi hampir seminggu. Artinya waktu selama itu digunakan oleh pembakar perpecahan untuk memainkan isu di masyarakat. Kelompok-kelompok garis keras memang cukup lama bercokol di sana. Jauh sebelum kasus Meiliana, sebuah patung Budha di sebuah vihara dirobohkan massa. Alasannya karena mengganggu pemandangan.

Tidak berhenti sampai di situ. Meiliana juga diajukan ke pengadilan karena dianggap menista agama. Dia dituntut dengan pasal penistaan agama. Selama persidangan gerombolan dan laskar berjubah terus mendatangi ruang sidang. Tujuannya untuk menekan hakim.

Jaksa sendiri tidak bisa membuktikan ucapan Meiliana yang dituduh melecehkan itu. Kasini, orang yang mendengar langsung ucapan tersebut mengakui, Meiliana hanya bilang, "Kak, sekarang speaker masjid agak keras ya. Dulu tidak begitu keras." Tidak ada kata azan di sana. Tidak ada kata permintaan untuk mengecilkan suara speaker di sana. Yang ada hanya sebuah keluhan.

Tapi kelompok-kelompok garis keras itu tidak peduli. Mereka menuding Meiliana, tetangga yang telah delapan tahun hidup berdampingan dengan masjid, telah melecehkan agama. Dengan keyakinan itulah hakim menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan kepada Meiliana.

Pada kasus kerusuhan, pembakaran rumah Meiliana dan pembumihangusan vihara, pengadilan hanya menjatuhkan vonis 1 bulan hingga 3 bulan kepada tersangka. Mungkin bagi hakim, sebuah keluhan seorang ibu rumah tangga layak dianggap sebagai tindak pidana. Tetapi pembakaran rumah, vihara dan dalang kerusuhan hanya sekelas pelanggaran ringan saja.

Kita tidak bisa bilang bahwa pengadilan itu berjalan dengan adil. Rasa keadilan dan kemanusiaan kita akan terusik bila terus berdiam diri dengan kondisi yang mengenaskan tersebut. Kita tahu, Meiliana adalah korban keberingasan massa yang otaknya telah disuntik ajaran radikal.

Banyak tokoh yang menyayangkan keputusan hakim atas Meiliana. Seorang anggota dewan dari PPP, menyarankan agar kasus itu diselesaikan dengan musyawarah. Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar juga menyayangkan kasus tersebut. Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin bahkan bersedia menjadi saksi yang meringankan jika Meiliana nanti mengajukan banding. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla berkata, bahwa mengeluhkan suara speaker masjid tidak pantas dipenjara.

Hanya anggota dewan dari PKS saja yang meyakinkan Meiliana telah menista agama. Hal tersebut dikatakan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini. Meskipun kita yakin, Jazuli tidak membaca kronologis jalannya persidangan.

Jika kita perhatikan kasus-kasus yang disidangkan dengan menggunakan pasal penistaan agama modelnya sejenis. Tekanan massa dan ormas radikal selalu menghantui persidangan. Sebelum Meiliana ada Otto Rajasa di Kalimantan yang dituding melecehkan agama karena status FB yang ditulisnya. Polanya sama. Otto dituntut oleh Ormas radikal ke pengadilan. Setiap kali sidang, mereka menyatroni dengan membawa massa. Hasilnya Otto divonis 2 tahun penjara.

Ini mirip dengan persidangan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama. Dia dituntut penjara berdasarkan video pidatonya yang diedit lalu disebarkan oleh Buni Yani. Selama persidangan gerombolan berjubah juga rajin menekan pengadilan. Ahok dipenjara 2 tahun. Sementara Buni Yani yang juga sudah dijatuhi hukuman sampai sekarang masih melenggang bebas.

Hukum di negeri ini memang belum bisa dijadikan patokan mencari keadilan. Selama pasal penistaan agama masih berlaku, akan selalu lahir kasus-kasus seperti Meiliana. Orang yang tidak bersalah dan justru menjadi korban, malah yang dihukum. Sementara mereka yang melakukan pengrusakan dan ancaman melenggang bebas.

Masyarakat sendiri sudah beberapa kali menuntut agar pasal-pasal dalam KUHP yang berisi penodaan agama dihapuskan. Tapi tuntutan itu tidak dikabulkan MK. Alasannya karena secara prinsip pasal itu tidak bertentangan dengan UU di atasnya.

Sepertinya ini adalah PR besar bagi pemerintah dan DPR untuk bersidang memperbaiki pasal-pasal seperti itu. Jika tidak, gerombolan massa yang beringas akan terus menggunakannya sebagai alasan untuk menekan siapa saja yang tidak mereka sukai. Apalagi kita tahu, mental penegak hukum kita, masih amburadul.

Mereka lebih memilih jalur aman ketimbang harus berhadapan dengan massa yang telah dikompori untuk beringas.

Tapi bukankah pengadilan adalah jalan pencarian keadilan? Bukan. Di Indonesia, pengadilan bisa saja jadi jalan mewujudkan ketidakadilan.

Meiliana adalah korban berkali-kali. Dia korban amukan massa. Korban kebodohan publik yang mudah ditipu oleh isu hoaks. Dia juga korban palu hakim yang menyerah pada tekanan kelompok garis keras.

Meiliana adalah korban berkali-kali. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi