Jokowi, SBY, dan Pensiunan Jenderal yang Ngambek

Indonesia bukan hanya hari ini. Indonesia juga punya masa depan, hasil yang kita usahakan hari ini. Beda antara Jokowi, SBY, dan Gatot Nurmantyo.
Jokowi, SBY, dan Gatot Nurmantyo. (Foto: Tagar/FB Jokowi/Merdeka/Kompas)

Kadang saya berpikir, kenapa Jokowi mau capek-capek menempuh jalan yang ribet kayak gini. Jika saja dia santai, enggak perlu ngotot memikirkan masa depan Indonesia, mungkin langkahnya tidak akan banyak mengundang protes. Di periode kedua kepemimpinannya, bisa saja dia menjalankan kekuasaannya dengan cara yang santai.

Setidaknya dia berusaha menyenangkan semua orang. Orang di sini maksudnya adalah orang-orang yang punya pengaruh politik. Kalau soal rakyat biasa mah ya dinomor-duakan saja. Toh, pilpres yang akan datang, Jokowi enggak perlu intensif elektoral lagi. Dia enggak perlu mencari dukungan rakyat buat dipilih kembali karena UU memang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode.

Coba Anda bayangkan, seandainya Jokowi meniru cara SBY. Misalnya sekarang ia sibuk membakar uang untuk subsidi BBM sebanyak 1.300 triliun. Dia kasih kue ke ormas keagamaan sampai ormas itu gemuk, untuk operasionalnya. Yang penting kan dia main aman sampai jabatan berakhir. Tapi kayaknya bukan jalan santai itu yang ditempuh Jokowi. Yang dia pikirkan adalah masa depan Indonesia. 

Begini ya, kita tahu jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Komposisi penduduknya sebagian besar terdiri dari anak-anak muda usia produktif. Dalam bahasa ilmiahnya, Indonesia memasuki bonus demografi pada tahun 2030. Anak-anak muda yang banyak itu, nanti butuh kegiatan produktif. Mereka butuh lapangan pekerjaan. Juga mereka butuh dipermudah kalau mereka pengin bikin usaha sendiri. 

Tapi kan sebelum sampai kayak begitu, Jokowi sekarang harus membereskan sekian banyak UU yang bakal menghambat anak muda masuk ke lingkungan usaha. Ia harus menyisir daftar panjang kepentingan pejabat, organisasi buruh, para politisi, sampai para preman berjubah. Dia juga harus menjegal sekian tumpuk peluang korupsi yang dulu tercipta karena labirin gelap perizinan usaha di Indonesia. Meski jika ia melakukan itu, ia tahu, ia akan dilawan dengan keras oleh mereka yang punya kepentingan.

Sudah jadi rahasia umum, orang malas bikin usaha di Indonesia karena izinnya ruwet. Punglinya banyak. Tukang palaknya ada di setiap pengkolan. Belum juga mulai usaha kita sudah buntung. Tapi kalau soal perizinan ini enggak dibereskan sekarang, Indonesia akan menyimpan bom waktu. 

Bayangkan ya, anak-anak muda yang menganggur dan jumlahnya banyak itu, karena tidak punya aktivitas ekonomi, akan jauh lebih berbahaya ketimbang pensiunan jenderal yang ngambek. Kalau pensiunan jenderal ngambek karena kebelet jadi presiden, paling ya cuma bikin organisasi kayak KAMI. 

Kalau jutaan anak muda menganggur enggak ada kerjaan, apa yang akan terjadi? Chaos sosial. Itu bahaya banget bagi masa depan negeri ini. Karena itu Indonesia butuh banyak pengusaha baru agar bisa menampung sekian puluh juta anak muda Indonesia di dunia kerja.

Indonesia bukan hanya hari ini. Indonesia juga punya masa depan. Dan kita tahu masa depan adalah hasil yang kita usahakan hari ini.

Kita tahu sekarang, jumlah pengusaha kita enggak lebih dari 3 %. Bandingkan dengan Thailand yang lapisan pengusahanya sampai 14 % atau Singapura bahkan yang mencapai 30 % lebih. Jadi itulah kenapa UU Cipta Kerja diperjuangkan Jokowi. Langkah ini menjadi salah satu legacy Jokowi di peridoe kedua masa jabatannya.

Risiko dair jalan yang ditempuh itu, siapa pun yang selama ini hidup nikmat dari gelapnya jalur perizinan pasti akan menolak kebijakan ini. Serikat pekerja menolak, karena ada kewenangan yang dipangkas. Mereka tidak dibiarkan lagi ikut menentukan besaran upah yang sering kali jadi alat politik itu. Iya, mereka masih boleh memberi masukan, tapi enggak harus menjadi penentu. 

Setiap tahun, pasti berita-berita di koran dihiasi demo serikat pekerja yang menuntut kenaikan UMR, yang kadang-kadang enggak rasional angkanya. Serikat di kabupaten kota mendesak bupati, serikat sektoral mendesak kantornya, dan mereka butuh eksistensi untuk menakut-nakuti perusahaan. Jadi setiap tahun jalanan kita dipenuhi buruh yang demo. Nah itu kondisi serikat pekerja yang protes terhadap undang-undang ini. Walaupun kita tahu sebelumnya hampir semua serikat pekerja setuju. 

Pertanyaannya, jika UU Cipta Kerja ini diterapkan, terus apa untungnya bagi seorang Jokowi? Kalau saya melihatnya, kayaknya enggak ada. Padahal dalam proses penyelesaian UU Cipta Kerja itu, Jokowi harus melewati jalan yang enggak gampang. Ia didemo kanan kiri. Dihujat atas bawah. Diserang depan belakang. Jika saja Jokowi berpikir santai, yang penting kekuasannya enggak terganggu. Barangkali bukan UU yang seperti ini yang dia sorong. 

Mungkin lebih enak jika Jokowi memilih kebijakan kayak presiden sebelumnya. Misalnya, berikan saja subsidi BBM kepada masyarakat kayak kebijakan SBY. Jadi meski duit dari APBN menguap jadi asap knalpot dan pembangunan enggak kelihatan hasilnya, tapi posisi politiknya kan tetap aman. Enggak ada yang mengganggu. Semua mingkem kekenyangan. Tapi ya dengan begitu masa depan Indonesia jadi suram, karena duit negara cuma habis buat asap knalpot.

Padahal kalau uang negara habis untuk hal yang sia-sia kan enggak ada pembangunan. Dan masa depan bangsa ini jadi taruhannya. Ya, politisi biasa mah berpikirnya simpel, toh kalau nanti saat itu terjadi, kondisi masa depan terjadi, ia sudah enggak jadi presiden lagi. Tidak peduli.

Pertanyaannya, jika UU Cipta Kerja ini diterapkan, terus apa untungnya bagi seorang Jokowi?

Pernah enggak Anda berpikir, buat apa Jokowi harus capek mendengar hujatan, ketika ia memangkas subsidi BBM dan duitnya dialihkan untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dan segala infrastruktur itu? Itu dilakukan supaya rakyat di seluruh Indonesia menikmati pembangunan.

Terus sekarang buat apa juga Jokowi ngotot melakukan debirokratisasi dengan UU Cipta Kerja? Padahal risikonya dia dihujat sana-sini, padahal yang akan menikmati hasil dari undang-undang ini adalah generasi mendatang, ketika dia sudah tidak menjadi presiden lagi. Mungkin saat hasil kerja yang sekarang dipanen, ia sudah renta. Namanya mungkin sudah enggak banyak disebut orang kayak sekarang. Tapi saya rasa Jokowi memang memikirkan nasib masa depan bangsa ini.

Jika hari ini kita tidak memangkas izin usaha yang ribet, enggak menyederhanakan proses berusaha di Indonesia, tidak menggairahkan ekonomi, tidak memupuk pengusaha-pengusaha baru, maka jutaan anak muda masa depan akan jadi pengangguran. Mereka tidak tertampung dalam pertumbuhan ekonomi yang terbatas.

Jika Jokowi yang sekarang tidak segera merombak sistem birokasi, rakyat Indonesia masa depan cuma bisa gigit jari. Kita cuma jadi penonton di tengah sengitnya persaingan ekonomi dunia. Kita ingat omongan Jokowi. Ini adalah periode kedua kepemimpinannya. Ia tidak punya beban. Nah makna tidak punya beban itu adalah ketika saat ini ia mencoba meletakkan pondasi buat masa depan Indonesia. Salah satu jalannya dengan memangkas aturan yang membelit seperti tentakel gurita. Dia mencoba menerangkan gelapnya labirin perizinan. Sebab di sana korupsi banyak bercokol.

Dan apa yang dirasakan sekarang, apa dampaknya buat dia? Ia kini dihujat. Dicaci maki. Apa salahnya? Hanya karena ia memikirkan, bahwa Indonesia bukan cuma hari ini dan sekarang. Bahwa Indonesia juga punya masa depan.

Saya berpikir, seandainya gaya Jokowi seperti SBY di periode kedua, mungkin kini ia bisa duduk manis. Menyelesaikan periode kedua kepemimpinannya dengan mulus. Tanpa gejolak. Tanpa ribut. Paling hanya meninggalkan candi yang mangkrak itu. Tapi sekali lagi di mata Jokowi, Indonesia bukan hanya hari ini. Indonesia juga punya masa depan. Dan kita tahu masa depan adalah hasil yang kita usahakan hari ini.

Jika hari ini kita tidak berani berbuat untuk mengubah keruwetan birokrasi dan hukum, anak-anak dan adik-adik kita akan kehilangan peluang di masa depan. Padahal mereka punya hak hidup lebih baik dbanding kita sekarang. Mereka berhak menepuk dada dan berjalan bangga sebagai anak-anak Indonesia. Mereka berhak menikmati kehidupan. Mereka berhak menikmati keruahan ekonomi Indonesia.

Kita jadi ingat istilah, ada orang yang disebut bekas presiden, ada juga presiden bekas. Yang membedakan keduanya adalah legacy. Kemauan untuk mendobrak atau candi yang mangkrak.

*Pegiat Media Sosial

Berita terkait
Fadli Zon Sebut Ada Agen Provokator Saat Demo Omnibus Law
Fadli Zon mengungkap kejadian dibalik kisruhnya demo penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) beberapa waktu lalu.
Fadli Zon: Banyak Anggota DPR Belum Pahami Omnibus Law Ciptaker
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai anggota dewan banyak belum paham Omnibus Law UU Cipta Kerja karena tidak dibagikan saat pengesahan.
Fadli Zon Cetak Sendiri 812 Halaman Omnibus Law Cipta Kerja
Anggota Komisi I DPR dari Partai Gerindra Fadli Zon mengaku mencetak sendiri naskah Omnibus Law RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.