Bekasi - Ketua Fraksi Partai NasDem DPR Ahmad M Ali mengatakan fraksinya setuju melakukan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP, untuk menghindari kegaduhan di masyarakat lebih luas lagi.
Menurutnya, RUU HIP dibuat untuk memperbaiki, mengatur, dan menyempurnakan aturan yang sudah ada. Namun, kalau menimbulkan kegaduhan dan penafsiran yang berbeda-beda, maka lebih baik pembahasannya ditunda saja.
Fraksi NasDem akan mengkomunikasikan pada parpol lain untuk menyatukan pandangan agar tidak meluaskan kegaduhan terkait RUU HIP.
"Kalau UU ini membuat kegaduhan maka kami setuju untuk tidak dilanjutkan pembahasannya. Kita yang rugi (gaduh), sehingga kalau itu terjadi maka lebih baik ditunda," kata Ahmad M Ali di Jakarta, Selasa, 16 Juni 2020.
Baca juga: PA 212 Ancam Kepung DPR Jika Ngotot Bahas RUU HIP
Hal itu dikatakannya untuk menanggapi sikap pemerintah yang sebelumnya disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md yang menegaskan bahwa pemerintah menunda pembahasan RUU HIP.
Ahmad M Ali menilai beberapa pekan terakhir kegaduhan menyoal RUU HIP sangat luar biasa, misalnya organisasi masyarakat (ormas) berbasis agama menilai RUU tersebut berbahaya, dengan desakan meminta penundaan pembahasan.
Menurutnya, kalau dibaca lebih dalam dari RUU HIP, berpotensi memecah belah bangsa misalnya terkait frasa "ketuhanan yang berkedaulatan" yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Karena RUU ini mengatur kepentingan publik maka DPR tidak boleh pongah, harus membuka diri, membuka komunikasi, dan mendengarkan aspirasi, karena yang diatur adalah kepentingan rakyat maka harus dengar suara rakyat," ujarnya.
Baca juga: PDI Perjuangan Inisiator Pembahasan RUU HIP
Dia mengatakan DPR dan partai politik (parpol) jangan menjelma sebagai pihak yang paling tahu keinginan rakyat, namun harus mendengarkan suara masyarakat.
Kemudian, dia jadi teringat, DPR dan parpol harus mendengarkan aspirasi masyarakat, dengan membangun dialog dan menjelaskan maksud RUU HIP sebelum menyusun RUU tersebut.
"Setelah itu narasikan dalam suatu ketentuan peraturan, sehingga ketika dibuat tingkat kepatuhan masyarakat lebih tinggi, karena ini bagian dari kepentingan mereka dan menerimanya," katanya.
Dia menjelaskan RUU HIP bukan menjadi hak eksklusif DPR namun kewenangan bersama antara pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, menurut dia, ketika pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU tersebut maka DPR otomatis tidak bisa melakukan apapun.
"Fraksi NasDem akan mengkomunikasikan pada parpol lain untuk menyatukan pandangan agar tidak meluaskan kegaduhan terkait RUU HIP," ujarnya.
Dia mengatakan F-NasDem berpandangan RUU HIP tidak urgen untuk dibahas, dan kalau mau tetap dibahas maka TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme, harus menjadi konsideran RUU tersebut.
Dia memahami ada trauma yang dialami tokoh agama atas tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965, sehingga ketakutan-ketakutan itu membuat masyarakat lebih berhati-hati, dan ketika ada isu kebangkitan PKI maka kondisi menjadi gaduh.
"Saya percaya yang inisiasi RUU HIP tidak ada niat untuk bangkitkan ideologi marxisme dan leninisme, namun karena tidak dinarasikan dengan baik pada masyarakat maka muncul kegaduhan," kata politisi NasDem itu. []