Masukkan Pasal Mutilasi dan Perkosaan Mayat ke RKUHP

Kasus-kasus mutilasi dan perkosaan mayat terus terjadi tidak bisa dijerat dengan pasal yang eksplisit sehingga perlu dipikirkan agar masuk RKUHP
Penyidik Sub Direktorat Reserse Mobile Ditreskrimum Polda Metro Jaya menghadirkan dua tersangka pembunuhan dan mutilasi di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (17/9/2020). (foto: ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat).

Dua pekan ini jagat media massa, media online dan media sosial diramaikan dengan berita tentang mutilasi [KBBI: proses atau tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan]. Berita tentang korban mutilasi, yang kemudian dikenal sebagai kasus mutilasi Kalibata City (apartemen di Kalibata, Jakarta Selatan) meninggalkan persoalan karena tidak ada hukum yang bisa menjerat pelaku mutilasi juga terhadap pelaku seks atau perkosaan mayat.

Jauh sebelum kasus ini di Indonesia korban mutilasi sudah pernah terjadi tahun 1981. Ketika itu ditemukan potongan-potongan tubuh manusia dalam kardus yang kemudian dikenal sebagai “Kasus Setiabudi 13”. Potongan tubuh itu ditemukan di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Setiabudi, Jakarta Selatan pada 23 November 1981. Ahli forensik, alm. Mun'im Idris, yang menangani autopsi potongan tubuh korban. Sampai sekarang kasus ini tidak teridentifikasi.

Beberapa kasus mutilasi yang ditangani polisi selalu menimbulkan kehebohan. Berbagai tanggapan dari banyak kalangan dengan pijakan berbagai aspek, seperti moral, agama dan hukum seakan tidak bisa menyurutkan rencana pelaku mutilasi. Salah satu aspek yang erat terkait dengan mutilasi adalah psikologi, tapi ini pun tentu saja sebatas teori karena alasan dan latar belakang pelaku mutilasi juga bervariasi.

Seperti pengakuan tersangka mutilasi Kalibata City, DAD dan LAS, mereka justru mempelajari cara mutilasi terhadap RHW dari media sosial yang diungkap polisi 18 September 2020. Ini menunjukkan bisa jadi mereka tidak ada rencana mutilasi ketika mereka akan menghabisi RHW. Rencana mutilasi bisa saja muncul karena kesulitan menyembunyikan atau mengubur mayat korban, sedangkan pada kasus lain bisa juga untuk menghilangkan identitas korban sehingga tidak bisa dilacak polisi.

Ada dua tipe terkait mutilasi yaitu mutilasi terhadap mayat yaitu mayat dijadikan objek mutilasi. Ada juga mutilasi yang menyebabkan kematian yaitu orang hidup dimutilasi.

Dalam KHUP tidak ada pasal-pasal yang eksplisit untuk menjerat pelaku mutilasi, baik mutilasi terhadap mayat atau pun mutilasi terhadap seseorang sehingga menyebabkan kematian. Pada kasus-kasus mutilasi yang ditangani polisi selama ini pasal yang dituduhkan adalah pembunuhan karena yang dimutilasi adalah mayat.

Ulasan Tri Jata Ayu Pramesti, SH, di laman hukumonline.com, 5 Januari 2016, menyebutkan bahwa karena dalam praktiknya kejahatan mutilasi didahului dengan pembunuhan, maka pelaku pun dijerat dengan pasal-pasal pembunuhan di KUHP. Pasal-pasal itu adalah pembunuhan biasa (pasal 338), pembunuhan yang disertai perbuatan pidana (pasal 339), dan pembunuhan berencana (pasal 340).

Ketiadaan jerat hukum pidana terhadap pelaku mutilasi bisa disimak dari dua putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus mutilasi di Jakarta dan Sumatera Selatan.

Robot, yang disebut juga Robot Gedeg, melakukan pembunuhan dan penyayatan mayat anak-anak yang jadi korbannya pada kurun waktu tahu 1994-1996. Polisi menemukan delapan anak jalan di Jakarta yang jadi korban. Mayat anak-anak itu ditemukan di Kemayoran, Jakarta Pusat, sisanya di Pondok Kopi, Jakarta Timur.

Putusan MA pada perkara No. 24 PK/Pid/2003 yang merupakan kasus Robot ternyata majelis hakim MA tidak menyebut kasus mutilasi karena vonis hanya menyebutkan terdakwa Siswanto alias Robot bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

Begitu juga dengan kasus mutilasi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, terhadap korban Soleh bin Zaidan dengan terdakwa Ibrahim bin Ujang majelis hakim MA melalui putusan No. 108 PK/Pid/2007 juga tidak menyebutkan mutilasi. Terdakwa dihukum dengan pidana pembunuhan berencana.

Karena kasus mutilasi dan hubungan seksual serta perkosaan terhadap mayat tetap saja terjadi, sudah saatnya pemerintah dan DPR memikirkan pasal yang eksplisit yang bisa menjerat pelaku mutilasi dan pemerkosa mayat agar dimasukkan ke Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) (Bahan-bahan dari: hukumonline.com dan sumber-sumber lain). []

Berita terkait
Deretan Kasus Mutilasi di Indonesia yang Menggemparkan
Kasus mutilasi terhadap Rinaldi Harley Wismanu di Apartemen Kalibata ramai diperbincangkan.Berikut kasus serupa di Indonesia.
Bersetubuh dengan Mayat Lolos dari Jerat Hukum
Salah satu bentuk deviasi (pergeseran) seksual sebagai parafilia adalah nekrofilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan mayat
Menyetubuhi Mayat Sebagai Deviasi Seksual
Ternyata kasus-kasus menyetubuhi mayat di Indonesia termasuk homicidal necrophiles yaitu membunuh dulu agar dapat mayat baru untuk disetubuhi
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.