Jakarta - PDI Perjuangan sebagai pengusung utama Jokowi sebagai Presiden RI, menilai masa jabatan presiden maksimal dua periode sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sudah ideal, tidak ada alasan untuk mengubahnya, tidak perlu diubah. Hal ini disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah dalam siaran pers, Minggu, 14 Maret 2021
Ahmad Basarah mengatakan pernyataan PDI Perjuangan ini merespons mencuatnya wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. "Bagi PDIP, masa jabatan presiden dua periode seperti saat ini berlaku sudah cukup ideal dan tidak perlu diubah lagi."
Hingga saat ini tidak ada langkah-langkah politik yang diambil pihaknya untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, kata Ahmad Basarah yang juga Wakil Ketua MPR RI.
Sejauh ini, kata Basarah, "Kami belum pernah memikirkan apalagi mengambil langkah-langkah politik untuk mengubah konstitusi hanya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut dan mengubahnya menjadi tiga periode."
Bagi PDIP, masa jabatan presiden dua periode seperti saat ini berlaku sudah cukup ideal dan tidak perlu diubah lagi.
Yang diperlukan saat ini, kata Basarah, adalah kepastian kesinambungan pembangunan nasional dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional, sehingga visi misi dan program pembangunan tidak berubah setiap adanya pergantian Presiden.
Atas dasar itu, lanjut Basarah, "Yang dibutuhkan bangsa kita saat ini adalah perubahan terbatas UUD 1945 untuk memberikan kembali wewenang MPR menetapkan GBHN dan bukan menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode karena hal tersebut bukan kebutuhan bangsa kita saat ini."
Sebelumnya, politikus mantan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais melontarkan kecurigaannya, seperti ada upaya rezim sekarang ingin meloloskan pasal dalam aturan hukum agar masa jabatan presiden dua periode bisa menjadi tiga periode.
Wacana penambahan masa jabatan presiden dua periode menjadi tiga periode pernah muncul tahun 2019, dilontarkan politikus NasDem. Kala itu Presiden Joko Widodo menyebut pihak yang melontarkan wacana itu ingin menjerumuskannya.