Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Provokasi G-30-S/PKI

“Gatot itu, dia memprovokasi Panglima TNI, dan KSAD untuk mewajibkan atau menerbitkan perintah untuk nonton bareng film tersebut.” – Usman Hamid.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Jakarta, (Tagar 30/9/2018) - Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) yang juga merupakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, isu kebangkitan PKI tiap peringatan G-30-S/PKI muncul dari elit-elit politik.

"Baik itu yang berlatar belakang sipil maupun itu militer. Bahkan kalau kita lihat di tahun-tahun awal reformasi, usaha-usaha itu juga mulai kelihatan," ujar Usman Hamid.

Dijelaskan Usman, usaha mereka, para elite politik, tak lain memanfaatkan isu kebangkitan PKI dengan tujuan untuk mendongkrak popularitas dirinya, seperti yang dilakukan Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

"Karena dinamika politik pasca Orde Baru itu juga sangat dinamis di dalam kontestasi Pemilu, banyak juga yang memanfaatkan isu anti PKI isu anti komunisme untuk mendongkrak popularitas, termasuk orang seperti Gatot Nurmantyo," terang Usman.

Gatot, menurut Usman, bisa jadi menggunakan isu kebangkitan PKI sebagai alat provokasi. "Bisa saja. Gatot itu, dia memprovokasi Panglima TNI, dan KSAD untuk mewajibkan atau menerbitkan perintah untuk nonton bareng film tersebut," ujarnya.

Bahkan, bukan hanya provokasi, pernyataan Gatot yang dikenal sebagai orang militer ini, termasuk polititasi TNI. Padahal, TNI tak seharusnya berada di ranah politik praktis.

"Nah, pernyataan itu bukan hanya provokasi tapi juga politisasi TNI. TNI itu kan alat negara dalam bidang pertahanan, tugasnya adalah menjaga kedaulatan negara. Menjaga integritas teritorial negara, menjaga keselamatan segenap bangsa Indonesia," jelas Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.

Penggunaan isu kebangkitan PKI ini, sebut Usman, tak dapat dipungkiri bisa menyudutkan lawan politik dalam sebuah kontestasi demokrasi. Semisal menyebut-nyebut seorang tokoh, pada pemilihan presiden (Pilpres) sebagai orang PKI, eks PKI, atau orang berpaham komunis.

"Dan juga menyudutkan lawan-lawan politik. Dalam Pemilu 2014, itu kelihatan sekali Jokowi terus menerus dipropagandakan sebagai orang PKI, Singapura, Cina, Kristen," terang Usman.

"Jadi usaha-usaha untuk memenangkan satu kontetasi politik juga dilakukan dengan membangun retorika-retorika yang membelah, yang mengadu domba. Anti komunisme, itu hanya satu saja dari retorika yang membelah itu. Selebihnya anti Cina anti Non Muslim atau anti kelompok minoritas lain," terang Usman.

Mungkinkah isu kebangkitan PKI hilang?

Isu kebangkitan PKI ini, menurut Usman masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia, untuk kemudian diredam. Meskipun, hampir mustahil menghilangkan segala prasangka sosial, prasangka negatif karena karena latar belakang suku, agama, maupun ras yang berbeda.

"Tapi, usaha-usaha untuk mencarinya jangan dihentikan. Dengan keterbukaan informasi, media massa, dan juga beredarnya buku-buku baru termasuk film-film baru, saya kira mereka punya kebijaksanaan sendiri di dalam menerima memahami sejarah masa lalu dari bangsa dari negara ini," tutur Usman.

Usman menyarankan pemerintah untuk melakukan usaha mengungkap sejumlah orang yang pernah diperlakukan secara sewenang-wenang untuk berbicara.

"Bukan hanya PKI itu sendiri. Orang-orang yang nasionalis yang pro Soekarno, atau yang menteri-menteri Soekarno atau kabinet Dwi Kora dibubarkan ditangkap oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Sarwo Edhie, atau bahkan perwira-perwira tinggi TNI baik TNI AD/AL/AU yang dituduh PKI dipenjarakan bertahun-tahun," urai dia.

Yang jelas, Usman tidak menyarankan untuk TNI melakukan politisasi. "Politisasi TNI tidak boleh. Jangan juga kemudian TNI dipaksa untuk menerima satu versi sejarah," imbuhnya.

Tapi, Usman meyakini, generasi prajurit TNI kini dan dulu berbeda. Pun masyarakat, yang berusaha untuk menelusuri kebenaran di dalam peristiwa 65-66 itu, terkait apa yang sebenarnya terjadi, sejarah seperti apa yang benar, yang utuh, yang lengkap.

"Prajurit-prajurit TNI di mana pun saya percaya, apalagi generasi yang baru termasuk juga masyarakat, itu sudah mengetahui versi sejarah yang berbeda," bebernya.

Dengan demikian, kata Usman, generasi kini seharusnya bisa memahami, isu kebangkitan peristiwa pembunuhan para jenderal dalam G-30-S/PKI adalah cara orang-orang maupun elite politik menutupi apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu.

"Jadi mereka-mereka yang selama ini menghembuskan kebangkitan PKI, anti Komunisme, itu orang-orang yang memiliki kepentingan untuk menutupi apa yang sesungguhnya terjadi di dalam peristiwa 1965 itu ya," pungkas Usman Hamid. []

Berita terkait