Makna 64 Beringin di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta

Ada filosofi dari 64 pohon beringin di sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, termasuk sepasang beringin yang terletak tepat di tengah alun-alun.
Sepasang pohon beringin di tengah-tengah Alun-alun Utara Yogyakarta yang dinamai Kiai Dewadaru dan Kiai Jaladaru. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Dua pohon beringin berdiri kokoh di tengah Alun-alun Utara Yogyakarta. Masing-masing pohon dikelilingi oleh pagar tembok berwarna putih. Suasana Alun-alun Utara siang itu, Kamis, 18 Februari 2021 tampak sunyi. Pagar besi mengelilingi area alun-alun.

Di seberang jalan sekeliling alun-alun, sejumlah warga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Beberapa sepeda motor dan mobil terparkir di sisi timur alun-alun. Sementara, puluhan meter ke barat, tepat di bawah salah satu pohon, seorang tukang cukur duduk menunggu pelanggannya.

Angin siang yang berembus lembut menggoyangkan dedaunan di pucuk kedua pohon beringin itu. Seperti gelengan kepala yang bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, masyarakat Jawa memandang pohon beringin sebagai pohon yang memberikan hayat atau kehidupan pada manusia. Pohon itu juga memberi pengayoman dan perlindungan. Pohon yang besar dan rimbun seperti pohon beringin juga dianggap menimbulkan rasa gentar dan hormat.

“Penghormatan terhadap beringin sudah ada sejak masa Mataram Islam, kerajaan yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta.”

Pohon beringin bahkan termasuk dalam barang yang diangkut sat proses perpindahan keraton Mataram dari Kartasura menuju Surakarta.

Pada masyarakat Jawa masa lalu juga dikenal frasa "neres ringin kurung". Frasa yang secara harfiah berarti "menguliti kulit pohon beringin kurung" tersebut dimaknai sebagai "memberontak terhadap kekuasaan raja".

Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru

Dua pohon beringin yang ada di tengah Alun-alun Utara itu juga disebut sebagai ringin kurung, sebab keduanya seperti dikurung oleh pagar tembok. Kedua pohon ini bukan tanpa sengaja tumbuh tepat di tengah alun-alun. Pohon itu sengaja ditanam dan diberi nama.

Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, sepasang ringin kurung ini mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta.

Beringin di sisi barat dinamakan Kiai Dewadaru, sedang sisi timur dinamakan sebagai Kiai Janadaru. Keduanya merupakan salah satu pusaka keraton. Sebagai pusaka keraton, keduanya turut menjalani upacara Jamasan tiap bulan Sura atau Muharam.

“Jamasan adalah upacara di keraton untuk membersihkan dan merawat benda-benda pusaka,” demikian tertulis dalam laman kratonjogja.id.

Kedua pohon beringin itu dipangkas saat jamasan. Bentuknya dibuat bundar seperti payung, yang melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daru. Dewa memiliki arti bersifat ketuhanan, sedangkan daru berarti cahaya. Sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan. Sementara, Kiai Janadaru berasal dari kata jana dan daru. Jana berarti manusia, sehingga Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.

Letak Kiai Dewadaru berada di sebelah barat sumbu filosofi, berada pada sisi yang sama dengan Masjid Gedhe yang berfungsi sebagai pusat keagamaan.

Sedang Kiai Janadaru ditempatkan di sebelah timur sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi.

Penempatan itu karena agama dipandang berhubungan dengan sifat-sifat ketuhanan, sedangkan ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Keseimbangan dan keserasian hubungan diantara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Cerita Beringin 2Sepasang beringin yang terletak tepat di tengah Alun-alun Utara Yogyakarta dilihat dari Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bibit kedua pohon beringin tersebut berasal dari tempat yang berbeda. Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit, dan bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran. Garis keturunan kedua pohon ini terus dijaga hingga saat ini.

Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Sedangkan Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961. Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.

“Peristiwa rubuh dan digantinya Kiai Janadaru pada tahun 1926 tersebut dikisahkan cukup rinci pada Serat Salokapatra. Kiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh. Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.”

Kiai Janadaru kemudian digantikan dengan pohon lain yang berasal dari cangkokannya sendiri.

Saat ini, Kiai Janadaru lebih dikenal dengan nama Kiai Jayadaru. Ada juga yang menyebutnya Kiai Wijayadaru. Begitu pun Kiai Dewadaru, ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Kiai Dewatadaru.

62 Beringin Kelilingi Alun-Alun

Beringin di sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta bukan hanya Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru saja. Sedikitnya ada 62 batang pohon beringin lain di kawasan itu. Pohon-pohon tersebut ditanam berkeliling sebagai batas luar alun-alun. Jumlahnya sebanyak 62 buah. Total pohon beringin yang ada jika kedua ringin kurung ditambahkan adalah 64, yang melambangkan usia Nabi Muhammad SAW jika dihitung berdasar penanggalan Jawa.

Dari 62 beringin yang mengelilingi Alun-alun, empat di antaranya juga diberi nama, yakni dua pohon di utara yang mengapit Jalan Pangurakan, dua pohon di selatan tepat di depan Bangsal Pagelaran. Ada beberapa versi nama keempat pohon beringin tersebut.

Dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan dikenal dengan nama Kiai Wok di sisi barat dan Kiai Jenggot di sebelah timur.

Nama Kyai Wok berasal dari kata brewok, sedangkan Kiai Jenggot berarti rambut yang tumbuh di janggut.

Dalam Serat Salokapatra yang ditulis sekitar awal abad ke-20, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan disebut Kiai Godheg dan Kiai Simbarjaja. Kiai Godheg adalah Kiai Wok, dan Kiai Simbarjaja Kiai Jenggot.

Cerita Beringin 3Sepasang pohon beringin yang terletak tepat di tengah-tengah Alun-alun Selatan Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Kemudian, dua pohon di depan Bangsal Pagelaran dikenal dengan Agung di sisi timur (kadang hanya disebut Gung) dan Binatur di sisi barat. Agung melambangkan priyayi atau penguasa, sementara Binatur melambangkan kawula atau rakyat.

Dalam Serat Salokapatra, keduanya disebut Kiai Jebres dan Kiai Wok. Kiai Jebres berada di sisi barat dan Kiai Wok berada di sisi timur.

Jika ditilik dari arti namanya, maka keempat pohon ini mewakili rambut-rambut yang tumbuh di tubuh.

“Godheg atau cambang adalah rambut yang tumbuh di pipi dekat telinga, simbarjaja adalah rambut yang tumbuh di dada, jebres atau kumis adalah rambut yang tumbuh di atas mulut, dan wok atau brewok adalah rambut yang tumbuh di dagu dan pipi belakang.”

Sedang pada sebuah peta yang bertahun 1929, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan bernama Kiai Brewok di sisi barat dan Kiai Godheg di sisi timur. Sedangkan dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran disebut Kiai Sepuh di sisi barat dan Kiai Jebres di sisi timur.

Selain di Alun-alun Utara, pohon beringin juga ada di Alun-Alun Selatan. Ada sepasang beringin yang penempatannya sama seperti Kiai Jaladaru dan Dewadaru. Bedanya, kedua pohon di Alun-alun Selatan disebut dengan supit urang.

Pohon beringin lain yang ada di sekitar Alun-alun Selatan terletak mengapit jalan menuju Plengkung Nirbaya (Plengkung Gadhing). Sepasang beringin ini disebut Kiai Wok. Ada satu lagi pohon beringin di area Alun-Alun Selatan, tumbuh di depan kandang gajah.

Sejumlah beringin lain juga bisa didapati di area keraton, seperti yang ada di Plataran Kemagangan, Plataran Kamandhungan Lor, dan Plataran Sitihinggil Lor.

“Di Plataran Kemagangan, terdapat sebuah pohon beringin yang ditanam di antara regol dan bangsal. Pohon ini ditanam saat Sultan Hamengku Buwono VIII bertakhta. Ada yang menyebutnya dengan nama Sri Makutha Raja.” []

Berita terkait
Keris Sabuk Inten dan Koleksi Museum Purbakala di Bantul
Sebilah keris dengan 11 lekuk menjadi masterpiece Museum Sejarah Purbakala Pleret, Bantul. Sejumlah koleksi lain juga ada di tempat ini.
30 Tahun Setelah Bom Operasi Badai Gurun di Amiriyah Irak
Selama 30 tahun sejumlah warga Irak merasa hidup dalam ketidakadilan, yakni mereka yang keluarganya menjadi korban serangan bom di Amiriyah.
Museum dengan Masterpiece 100 Wayang Kurawa di Yogyakarta
Museum Wayang Kekayon di Yogyakarta memiliki masterpiece berupa 100 wayang bala Kurawa lengkap. Selain wayang kulit, di sini juga ada wayang lain.
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.