30 Tahun Setelah Bom Operasi Badai Gurun di Amiriyah Irak

Selama 30 tahun sejumlah warga Irak merasa hidup dalam ketidakadilan, yakni mereka yang keluarganya menjadi korban serangan bom di Amiriyah.
Kondisi di dalam bangunan di distrik Amiriyah Baghdad setelah pemboman Sekutu oleh pembom AS pada tanggal 14 Februari 1991. Lebih dari 500 wanita dan anak-anak tewas setelah dua bom presisi dari pesawat Stealth Amerika menghantam situs (Foto: Tagar/Aljazeera/Kaveh Kazemi/Getty Images)

Jakarta - Tiga puluh tahun berlalu sejak Walid William Esho harus mengidentifikasi sisa-sisa tubuh ibunya yang hangus di bagian belakang truk pick-up. Bayangan itu masih membekas di benaknya.

Pada 12 Februari 1991, Esho yang saat itu berusia 18 tahun mengantar sang ibu yang berusia 45 tahun, Shonee Shamoan Eshaq, ke tempat penampungan umum nomor 25, sebuah bunker di lingkungan Amiriyah Baghdad barat. Lokasi itu menjadi tempat keluarga Esho berlindung dari serangan udara Operasi Badai Gurun yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun.

Seperti kebanyakan pria lajang saat itu, Esho meninggalkan ibunya di tempat penampungan yang banyak digunakan oleh warga. Saat itulah terakhir kali dia melihat ibunya hidup.

Pada dini hari tanggal 13 Februari, suara gemuruh merobek suasana sunyi, tepat ketika dua bom berpemandu laser menghantam beton dan struktur baja, menembus atap bunker dan membakar ratusan warga sipil di dalamnya hingga tak dapat dikenali, termasuk sang ibu, Eshaq.

“Kami mengenalinya karena gelang, mantel merah dan cincinnya,” kata Esho, seperti dilansir Aljazeera, Sabtu, 13 Februari 2021.

"Saya tidak percaya itu. Saya berkata, 'Itu bukan dia, itu bukan dia', " kenangnya dari rumahnya di Prancis.

Eshaq adalah satu dari lebih dari 400 warga sipil Irak yang tewas malam itu. Peristiwa itu menjadi insiden paling mematikan dari korban sipil yang disebabkan oleh Amerika Serikat di Irak.

Tiga puluh tahun kemudian, tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas kematian tersebut, dan para korban serta anggota keluarga mengatakan bahwa mereka telah dilupakan oleh orang-orang yang mereka anggap bertanggung jawab.

Pusat Komando Militer

Setelah serangan itu, AS bertahan dengan menargetkan Amiriyah, mengklaim bahwa tempat penampungan itu adalah pusat komando militer.

Pada saat itu, AS mengandalkan satelit pengumpul intelijen, kata Jenderal Merrill McPeak bintang empat kepada Al Jazeera.

“Dengan itu, agak sulit memisahkan warga sipil dari seseorang yang berseragam,” katanya.

Menurut AS, bunker itu dibangun sebagai tempat perlindungan serangan udara selama perang Iran-Irak dan kemudian diubah menjadi pusat komando dan kendali militer.

"Tidak pernah terpikir oleh kami bahwa itu adalah tempat di mana warga sipil berlindung, kami menganggapnya sebagai bunker militer tempat fasilitas komando dan kontrol berada," kata McPeak, yang merupakan kepala staf Angkatan Udara selama Perang Teluk.

“Korban sipil terjadi, ini adalah target militer yang sah, sasarannya tepat, dihancurkan dan gulung tikar - dan hanya ada sedikit kerusakan tambahan,” tambah McPeak, yang menyebutkan jumlah warga sipil yang terbunuh sekitar 250 orang.

Cerita Bom Amiriyah 2Atap gedung di distrik Amiriyah, daerah pemukiman di pinggiran barat Baghdad, setelah Sekutu membom tempat penampungan serangan udara selama Perang Teluk pada 14 Februari 1991 (Foto: Tagar/Aljazeera/Kaveh Kazemi / Getty Images)

McPeak menyatakan AS mengambil "tindakan luar biasa" untuk meminimalkan jumlah korban sipil selama Perang Teluk. “Kita harus mendapatkan penghargaan untuk ini, bukan meminta maaf,” katanya.

Tetapi dalam sebuah laporannya, Human Rights Watch menyimpulkan bahwa hanya beberapa bulan setelah serangan, pasukan sekutu gagal menggunakan cara dan metode serangan yang meminimalkan kemungkinan korban sipil.

Ketika saya sampai di tempat penampungan, saya mendengar teriakan orang-orang yang ingin keluar.

Sementara penduduk Amiriyah mengatakan beberapa anggota intelijen Irak terlihat sering mengunjungi gedung tersebut, keluarga dengan anak-anak juga keluar masuk bunker selama berminggu-minggu sebelum serangan itu, dan memberi cukup waktu untuk koalisi pimpinan AS mengidentifikasi mereka sebagai warga sipil. 

Sementara, seorang saksi hidup lain dalam kejadian itu, Fikra Shaker, 65 tahun, menyatakan bahwa orang tua, saudara perempuan, dan dua keponakannya bersembunyi di tempat penampungan setiap malam selama setidaknya dua minggu sebelum pemboman.

Keenamnya tewas pada malam serangan itu, tetapi hanya tubuh ayah dan saudara perempuan Shaker yang ditemukan.

“Tidak ada yang diharapkan menjadi target,” kata Shaker yang duduk di ruang tamu rumah keluarganya di Amiriyah.

Shaker, yang saat itu berusia 35 tahun, jatuh ke lantai ketika putranya, Hussam, memberi tahu dia tentang kematian anggota keluarganya. “Saya tahu mereka telah pergi [ke tempat penampungan] tetapi saya terus berharap mereka akan selamat.”

Sekitar pukul 07.30 pada hari penyerangan, Shaker, bersama putra dan suaminya, bergegas ke tempat penampungan hanya untuk menemukan api dan kekacauan. “Ketika saya sampai di tempat penampungan saya mendengar teriakan orang-orang yang ingin keluar,” katanya. “Pada jam 10 pagi, suara-suara itu telah berhenti - tidak ada yang berteriak.”

Bagi para penyintas dan keluarga korban penyerangan Amiriyah, mereka merasa menjalani 30 tahun tanpa keadilan.

"Pertama, kami membutuhkan permintaan maaf dari semua pasukan koalisi yang melakukan serangan, kemudian pengakuan atas kejahatan tersebut dan kemudian kompensasi," kata Shaker, yang kehilangan enam anggota keluarga.

Operasi dengan Impunitas

Bertahun-tahun setelah serangan tersebut, Presiden Irak saat itu, yakni Saddam Hussein menyimpan ingatan tentang pemboman tersebut sebagai upayanya menjelekkan negara yang akan terus berperang dengannya selama lebih dari 10 tahun.

"Pemandangan mengerikan dari tubuh hangus itu ditayangkan di TV keesokan harinya dan selama bertahun-tahun," kata Rasha al Aqeedi dari The Center for Global Policy.

"Pada hari jadinya, sekolah menghentikan kelas reguler dan memperingati 'hari penampungan al Amiriyah' dengan pidato dan lagu kebangsaan anti-Amerika yang berapi-api."

Cerita Bom Amiriyah 3Sejumlah warga Irak mengunjungi Penampungan Amiriyah pada hari peringatan 30 tahun pengeboman bunker perlindungan tersebut, untuk mengenang mereka yang tewas dalam pemboman pada tahun 1991 (Foto: Tagar/Aljazeera/ Carolyn Cole / Los Angeles Times via Getty Images)

Tapi peringatan itu berhenti setelah invasi AS ke Irak tahun 2003. Di negara itu pasukan asing sering terlihat beroperasi tanpa hukuman, Amiriyah menjadi salah satu dari daftar panjang serangan Amerika terhadap warga sipil yang tidak dihukum.

Pada Desember 2020, pengampunan mantan Presiden Donald Trump terhadap empat kontraktor Amerika yang dihukum karena membunuh warga sipil Irak pada tahun 2007 disambut dengan kemarahan oleh penduduk setempat, meski mereka tidak terkejut dengan kebijakan itu.

Tareq Mandalawi dari Martyrs Foundation, sebuah badan pemerintah Irak, mengatakan langkah-langkah telah diambil untuk mengeluarkan paket kompensasi bagi keluarga warga sipil yang terbunuh pada tahun 1990-an, tetapi tidak merinci apakah korban serangan Amiriyah akan dimasukkan.

Di luar seruan untuk remunerasi dan pengakuan, para penyintas pengeboman mengatakan bahwa mereka tidak diberi ruang untuk berduka atas orang yang mereka cintai.

Dulu, lokasi ledakan sempat dijadikan museum peringatan yang berisi foto-foto para korban, tapi lokasi ledakan itu ditutup setelah invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Saat ini, halaman penampungan menjadi klinik dan kantor pemerintah, tetapi bunker tetap tertutup untuk umum.

Tidak jauh dari tempat penampungan yang kosong, sebuah patung karya seniman Ala Basheer berupa wajah manusia yang meringis terbungkus batu dan api adalah satu-satunya peringatan yang terlihat dari peristiwa tragis tersebut.

Untuk pertama kalinya sejak 2003, Amiriyah akan mengadakan upacara peringatan di dalam penampungan untuk menandai 30 tahun pembunuhan itu. Tetapi bagi sebagian orang, itu terlalu terlambat bagi pria, wanita dan anak-anak yang, menurut warga Irak, telah diabaikan oleh negara.

"Saya merasa [para korban] telah dilupakan, tidak ada yang mengingat mereka," kata warga Amiriyah, 36 tahun, Omar Mahmoud, yang rumahnya rusak dalam serangan itu. Tidak ada yang tahu siapa mereka. []

Berita terkait
Museum dengan Masterpiece 100 Wayang Kurawa di Yogyakarta
Museum Wayang Kekayon di Yogyakarta memiliki masterpiece berupa 100 wayang bala Kurawa lengkap. Selain wayang kulit, di sini juga ada wayang lain.
Laporan Khusus: Aktivis di Toba Masuk Penjara Karena Kritis
Awal tahun 2021 di Restoran Pizza Andaliman, pinggir jalan besar Balige, Kabupaten Toba, Sebastian Hutabarat dijemput aparat kejaksaan.
Kisruh Ketua BPD dan Kepala Desa di Wonosobo
Seorang Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten Wonosobo melaporkan kepala desanya dengan tuduhan pemalsuan tanda tangan.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.