Laporan Tunjukkan Kebencian dan Ekstremisme Meningkat Jelang Pemilu AS

Retorika sarat kebencian dan teori konspirasi antipemerintah berdampak negatif pada imigran, kulit berwarna, dan komunitas agama minoritas
Ilustrasi - Para anggota kelompok supremasi kulit putih "Patriot Front" melakukan parade di Constitution Avenue dekat Arsip Nasional di Washington DC, AS, 21/1/2022 (Foto: voaindonesia.com/AP)

TAGAR.id – Dalam laporan yang dirilis Selasa (4/6/2024) disebutkan bahwa kasus kebencian dan ekstremisme di AS meningkat pada 2023. Jumlah kasus kelompok nasionalis kulit putih dan antiLGBTQ+ yang berusaha melemahkan demokrasi inklusif di negara ini, mencatat rekor. Wartawati VOA, Veronica Balderas Iglesias, merinci isi laporan tersebut dan implikasinya terhadap pemilihan presiden pada November nanti.

Komunitas LGBTQ+ adalah salah satu target utama kebencian dan ekstremisme di AS pada 2023, menurut laporan yang dirilis Selasa oleh Southern Poverty Law Center.

Menurut peneliti, retorika sarat kebencian dan teori konspirasi antipemerintah juga berdampak negatif pada imigran, orang kulit berwarna, dan komunitas agama minoritas.

R.G. Cravens adalah analis riset senior di pusat tersebut. Dia berbicara kepada VOA melalui Skype.

unjurk rasa anti kebencian di nySejumlah warga turut serta dalam aksi unjuk rasa untuk meningkatkan kesadaran mengenai peningkatan jumlah kejahatan berbasis kebencian terhadap warga keturunan Asia di AS. Aksi digelar di Times Square, New York City, 16 Maret 2022. (Foto: voaindonesia.com/AFP/Timothy A. Clary)

“Dalam setahun ini, ekstremis, yang menolak demokrasi inklusif, melegitimasi pemberontakan, menggambarkan kebencian sebagai hal yang baik, dan mengubah teori konspirasi menjadi narasi arus utama. Dan mereka semua sedang bersiap, menurut saya, menuju salah satu pemilu paling signifikan dalam sejarah kita,” tukasnya.

Total, 835 kelompok antipemerintah, aktif tahun lalu. Jumlah itu naik dari 702 pada tahun sebelumnya.

Laporan itu menyebutkan bahwa jumlah kelompok kebencian yang aktif di AS meningkat menjadi 595 pada tahun lalu, naik dari 523 pada tahun sebelumnya.

Cravens mengatakan kelompok-kelompok tersebut bergerak ke ranah politik dengan tujuan tertentu.

“Membatasi pluralisme berarti membatasi partisipasi. Itu adalah pembatasan demokrasi.”

Presiden AS Joe Biden menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pilihan yang layak dalam pemilihan presiden November nanti untuk menghentikan peningkatan retorika yang penuh kebencian.

“Saya tidak akan membiarkan Donald Trump mengubah Amerika menjadi negara yang tidak percaya pada kejujuran, kesopanan, dan memperlakukan orang dengan hormat. Dan tidak mungkin saya akan membiarkan Donald Trump mengubah Amerika menjadi negara yang penuh dengan kemarahan, kekesalan, dan kebencian," tandasnya.

Sewaktu menjabat presiden, Donald Trump, yang dipastikan menjadi calon presiden dari Partai Republik, memicu kontroversi karena menyalahkan kedua pihak atas bentrokan kekerasan pada rapat umum nasionalis kulit putih pada 2017 di Charlottesville, Virginia. Bentrokan terjadi antara pengunjuk rasa dan kontra-pengunjuk rasa.

Seorang penganut supremasi kulit putih menabrakkan mobilnya dengan sengaja ke arah massa demonstran, menewaskan seorang perempuan dan melukai lebih dari 30 orang.

Presiden AS ketika itu, Trump, menanggapi kekerasan itu dengan menyebutnya sebagai "bentuk kebencian, kefanatikan, dan kekerasan yang mengerikan pada banyak pihak."

Trump memihak kelompok-kelompok yang berada di garis depan pelarangan buku seperti Moms for Liberty. Pada 2023, Southern Poverty Law Center kembali memasukkan kelompok itu dalam daftar “kelompok ekstremis antipemerintah” yang menentang pendidikan inklusif. Reaksi Trump?

"Kaum kiri radikal bahkan memfitnah Moms for Liberty sebagai kelompok pembenci. Kalianlah kelompok pembenci! Bisakah kalian bayangkan Moms for Liberty, kelompok pembenci?,” ujar Trump.

demo di NYIlustrasi - Anggota masyarakat AS, beberapa di antaranya Muslim, ikut serta dalam aksi protes menuntut penghentian kejahatan bermotif kebencian (hate crimes) di New York, AS. (Foto: Dok/Reuters/voaindonesia.com)

Moms for Liberty menolak permintaan wawancara VOA.

Para pakar berpendapat bahwa para kandidat harus berhati-hati dalam menyampaikan retorika untuk meredam potensi kekerasan menjelang pemilihan umum November nanti.

Teal Rothschild, profesor sosiologi di Roger Williams University mengatakan, “Untuk Biden, ia perlu terus bicara tentang perdamaian, tetapi juga penting membicarakan pemilu secara umum. Untuk mantan

Presiden Trump, ia berada dalam posisi yang sulit, karena ia tentu saja mendapat lebih banyak dukungan kalau menggunakan bahasa ekstremis. Tetapi akibatnya, ia juga menjauhkan orang-orang yang masih berkemungkinan bersedia memilihnya.”

Rothschild juga menyarankan para pemilih agar mewaspadai teori konspirasi di media arus utama dan media sosial yang dapat semakin memicu kebencian dan ekstremisme. (ka/jm)/voaindonesia.com. [] 

Berita terkait
Kasus Kejahatan Bermotif Kebencian di AS Meningkat Terjadi di Sekolah
10% kejahatan bermotif kebencian di AS pada tahun 2022 terjadi di sekolah, menempatkannya pada peringkat ketiga