Jakarta – Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebutkan permintaan kenaikan upah minimum kabupaten/kota merupakan hal yang sulit untuk dipenuhi mengingat ada banyak perusahaan yang sedang mencoba bertahan dan memulihkan usahanya akibat pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia.
“Jadi memang kalau ada serikat pekerja meminta 7-10 persen, menurut saya sih sebenarnya agak sangat susah untuk dipenuhi karena banyak perusahaan sedang recovery yang juga bagaimana untuk tidak tutup supaya angka pengangguran bisa tetap ditekan. Saya sudah melakukan simulasi seperti di Jakarta, paling kenaikannya antara 1-2,5 persen. Ini juga kami berharap bisa untuk paling tidak diatas inflasi,” ujar Timboel saat diwawancara di kanal YouTube Tagar TV, Selasa, 5 Oktober 2021.
Upah minimum merupakan persoalan umum yang rutin terjadi setiap tahunnya. Polemik ini kembali terangkat setelah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut kenaikan upah minimum pekerja kabupaten/kota (UMK) di tahun 2022 naik sebesar 7-10 persen.
Pemerintah harus pro aktif dan tidak bisa hanya sebagai regulator, supaya hubungan industrial ini lebih harmonis sehingga UU Ciptaker ini bisa berjalan dengan kepatuhan seluruh pihak.
Timboel mengungkapkan terjadi perubahan sistem penentuan upah minimum di provinsi maupun kabupaten/kota pada kali ini. Perbuahan ini membuat proses negosiasi dihapuskan dan ketentuan upah minimum yang berlaku jauh lebih ketat.
Sebelumnya, upah minimum ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan melakukan survei 60 item kebutuhan hidup layak (KHL) di pasar. Lalu setelah muncul PP 78 Tahun 2015, kenaikan upah diatur dengan rumus pasal 44 yakni pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi nasional dikali upah minimum yang existing.
- Baca Juga: Cara Mendapatkan Bantuan UMKM Rp 1,2 Juta Tahun 2021
- Baca Juga: Syarat Mendapat BLT UMKM Rp 1,2 Juta Periode September 2021
Saat ini dengan adanya PP 36 Tahun 2021, penentuan upah kembali diubah dengan menggunakan rumus yang menurut Timboel relatif agak kompleks.
“Di PP 36 sangat jelas dimasukkan ke dalam rumus dengan variabel, seperti rata-rata konsumsi masyarakat, jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja," ucapnya.
"Itu semuanya dimasukkan dalam rumus-rumus sehingga otomatis muncul berapa angka kenaikan dan data-data ini semuanya ditentukan oleh instansi pemerintah yang membidangi statistik yakni badan pusat statisik. Oleh karena itu, saya memang mendorong BPS ini mengeluarkan segera data-data tersebut,” ujar Timboel.
Diperlukan titik keseimbangan dalam menyikapi hal ini. Mengingat masih banyak perusahaan yang sedang memulihkan usahanya, ia mengungkapkan kenaikan upah antara 7-10 persen seharusnya tidak dipaksakan agar tidak terjadi penutupan usaha yang berakibat pada meningkatnya jumlah pengangguran.
Begitu pula dengan daya beli pekerja, ia berharap upah minimum dapat dinaikan dengan menggunakan rumus yang ditetapkan pada Undang-Undang Cipta Kerja PP 36 Tahun 2021.
“Sehingga ini yang bisa nanti memastikan daya beli tidak menurun, tetapi pengusaha juga bisa tetap eksis untuk berproduksi. Ini memang harus ada titik keseimbangan. Persoalan upah minimum ini sebenarnya harus juga dilihat sebagai persoalan yang harus di kreasikan untuk mendapatkan terobosan,” ujarnya.
Disisi lain, Timboel juga berharap pemerintah bisa berperan dalam mendorong upah minimum pekerja agar tidak semua tanggung jawab terkait pengupahan diserahkan kepada perusahaan saja.
- Baca Juga: KemenKopUKM Susun 6 Indikator Adaptasi & Transformasi KUMKM
- Baca Juga: Sandiaga Uno: UMKM Kreatif Penyelamat Ekonomi Bangsa
“Upah minimum jangan lagi menjadi persoalan ke depan menurut saya. Jangan juga diserahkan tanggung jawab pengusaha, bahwa pemerintah juga harus terlibat. Karena biar bagaimanapun juga pekerja ini merupakan sokoguru pembangunan yang memang juga harus didukung daya belinya," ucap Timboel.
"Pemerintah harus pro aktif dan tidak bisa hanya sebagai regulator, supaya hubungan industrial ini lebih harmonis sehingga UU Ciptaker ini bisa berjalan dengan kepatuhan seluruh pihak,” ujarnya.
(Eka Cahyani)