KPU Dipuja, Bawaslu dan MA Dikecam

KPU Dipuja, Bawaslu dan MA Dikecam. Ini daftar partai politik yang telah mencoret mantan napi koruptor yang dibenci masyarakat.
Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay menunjukkan sebaran caleg mantan napi korupsi yang diloloskan Bawaslu dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Diskusi tersebut mengambil tema Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di Mahkamah Agung. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Jakarta, (Tagar 17/9/2018) - KPU dipuja karena niat baiknya melarang mantan narapidana koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tapi, niat baik KPU itu dimentahkan Bawaslu dan MA, sehingga Bawaslu dan MA mendapat kecaman dari mana-mana. 

Koalisi Masyarakat Sipil tetap mendesak agar partai politik mencoret calon anggota legislatif (caleg) bekas narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba menyusul putusan Mahkamah Agung (MA).

"Meminta agar partai politik sebagai peserta pemilu DPR/DPRD untuk tetap mencoret mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba dari daftar caleg yang mereka calonkan demi menjawab tuntutan publik, perwujudan pemilu berintegritas dari sisi peserta dan komitmen terhadap pakta integritas yang telah mereka sepakati," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam pernyataan tertulis diterima di Jakarta, Minggu (16/9) dilansir Antara.

Mahkamah Agung (MA) melalui putusan uji materi Peraturan KPU No 20 Tahun 2018, Kamis (13/9) menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa ketentuan yang digugat oleh para pemohon bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU No 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).

"Apabila partai tidak mencoret, KPU mesti mengadopsi gagasan menandai atau memberi keterangan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan," ujar Donal.

Selanjutnya, KPU juga diminta untuk membuka curriculum vitae seluruh caleg Pemilu 2019 tanpa terkecuali, termasuk apabila calon pejabat publik tersebut keberatan. 

Publik juga diharapkan untuk mengambil peran dengan mengenali rekam jejak caleg dalam Pemilu 2019, dan tidak memilih nama-nama yang sudah pernah terbukti melakukan korupsi demi perbaikan legislatif ke depan.

Koalisi masyarakat sipil berharap agar Bawaslu dan seluruh pihak yang selama ini mengaku mempunyai semangat yang sama untuk melarang mantan napi korupsi, namun tidak sepakat larangan diatur dalam peraturan KPU berdiri paling depan untuk mendorong larangan ini masuk dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Meski semua pihak harus menghormati putusan tersebut, kritik juga penting disuarakan, terdapat dua catatan kritis terhadap uji materi yang telah dilakukan oleh MA ini," kata Donal lagi.

Catatan pertama, proses pengujian materi ini diduga tidak sesuai prosedur karena dilakukan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan uji materi atas UU No 7 Tahun 2017. Padahal, menurut pasal 55 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa proses uji materi peraturan perundang-undangan di MA dilakukan setelah proses uji materi di MK selesai.

Kedua, proses pengujian terkesan tidak terbuka. Padahal, larangan ini merupakan polemik panjang dimana pendapat pihak pendukung dan penolak juga penting didengar dan dipertimbangkan. Hingga saat ini, putusan juga belum dipublikasikan atau diakses publik.

"MA telah menyusul Bawaslu dalam hal melewatkan peluang untuk berperan dalam mewujudkan pemilu yang menghadirkan calon lebih berintegritas," ujar Donal.

Masyarakat sipil juga mengapresiasi KPU RI dan KPU di daerah yang telah sangat berani, tegas, dan konsisten melarang mantan napi korupsi menjadi caleg ditengah kepungan penolakan stakeholders kunci pemilu, seperti partai politik dan Bawaslu.

Apresiasi juga diberikan kepada tiga partai politik, yaitu PPP, PKB, dan PSI yang telah berkomitmen untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi dalam Pemilu 2019.

Putusan MA untuk menolak larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak dalam Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan membuat mantan napi tiga tindak pidana kejahatan serius di atas dapat berkontestasi pada Pemilu 2019.

Putusan MA tersebut juga mengacu pada putusan MK terkait uji UU Pemilu yang menyebutkan bahwa mantan terpidana diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota asalkan yang bersangkutan mengakui kesalahannya di depan publik.

Perkara uji materi yang dimohonkan oleh Wa Ode Nurhayati dan KPU ini diperiksa dan diputus oleh tiga hakim agung, yaitu Irfan Fachrudin, Yodi Martono, dan Supandi dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018.

PDIP Tidak Calonkan Mantan Napi Koruptor

Sementara itu pada hari yang sama, PDI Perjuangan memilih bersikap tegas tidak mengusulkan calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana kasus korupsi, meskipun Mahkamah Agung (MA) memutuskan mantan terpidana kasus korupsi dapat diusulkan menjadi caleg.

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Minggu (16/9) mengatakan dalam konstruksi hukum nasional, PDI Perjuangan menghormati putusan MA yang membolehkan bakal caleg mantan terpidana korupsi melanjutkan proses pencalegan.

"Namun, bagi PDI Perjuangan tetap pada sikapnya, tidak mengusulkan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg," katanya lagi.

Pada sisi lain, PDI Perjuangan juga menghormati sikap KPU tidak serta-merta mencabut Peraturan KPU yang isinya melarang mantan terpidana kasus korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual menjadi caleg.

Menurut Hasto, KPU meminta partai politik agar mematuhi pakta integritas yang pernah diteken, dengan menarik bakal caleg mantan terpidana kasus korupsi.

Hasto menegaskan bahwa bagi PDI Perjuangan menjadi pemimpin nasional, termasuk anggota legislatif, terlebih menjadi presiden dan wakil presiden, harus memiliki rekam jejak yang baik dan jelas, memiliki landasan moral yang kuat serta menjunjung tinggi watak dan karakter sebagai pemimpin untuk rakyat.

"Semua pemimpin harus bersih dari rekam jejak pelanggaran hukum, termasuk bebas dari mahar politik," katanya pula.

Ketika untuk menjadi capres dan cawapres harus menyerahkan mahar politik hingga Rp 1 triliun, dan kemudian membiarkan pendukungnya mengedepankan cara-cara kampanye yang kurang etis, seperti dengan isu SARA yang memecah belah bangsa, gerakan ganti presiden yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal, menurut Hasto, hal-hal negatif tersebut sebenarnya juga masuk dalam substansi hukum yang menjadi syarat pantas tidaknya pemimpin dengan seluruh tanggung jawab etisnya di hadapan publik.

Menurut dia, pemimpin nasional itu harus bersih, dimulai dari keluarga, rekam jejak kepemimpinannya, serta cara mencari uang dari sumber yang jelas.

"Seorang yang memiliki keterampilan di dalam poles-memoles perusahaan, pandai mencari peluang di tengah kesulitan, punya keterampilan rekayasa finansial, tentu hasilnya berbeda dengan pemimpin yang berasal dari rakyat, berkeluarga baik, dan punya rekam jejak yang transparan di dalam cara mencari uang. Di situlah rekam jejak positif yang seharusnya dilihat di dalam mencari pemimpin," kata Hasto.

Hasto menegaskan lagi, hal itu menjadi prinsip bagi PDI Perjuangan, sehingga sejak awal sudah memastikan tidak mengusulkan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg.

"Prinsip itu juga kami pegang saat memilih dan mengusulkan pasangan capres-cawapres. PDI Perjuangan percaya bahwa dengan mencalonkan pemimpin berpengalaman dan merakyat seperti Pak Jokowi, dipadukan dengan sosok ulama sebagai pengayom seperti Kiai Ma'ruf Amin, maka Indonesia akan semakin jauh lebih baik," katanya lagi. []

Berita terkait
0
Pemimpin G7 Janjikan Dana Infrastruktur Ketahanan Iklim
Para pemimpin dunia menjanjikan 600 miliar dolar untuk membangun "infrastruktur ketahanan iklim" perang Ukraina juga menjadi agenda utama