Kota Medan Butuh Sosok Pemimpin Berani dan "Gila"

Sebagai ibu kota Sumatera Utara, Kota Medan membutuhkan sosok pemimpin berani dan gila.
Edy Iksan, Rurita Ningrum dan Sutrisno Pangaribuan terima penghargaan dari panitia pelaksana diskusi publik yang diadakan GMKI Medan di Aula PKM GMKI Jalan Iskandar, Medan, Rabu 3 Juli 2019. (Foto: Tagar/Wesly Simanjuntak)

Medan - Sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan membutuhkan sosok pemimpin berani dan "gila" dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Hal itu dibahas dalam diskusi publik Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) bertema "Refleksi Hari Jadi Kota Medan ke-429 Tahun: Medan Rumah Kita?" di Aula PKM GMKI Jalan Iskandar Muda, Kota Medan, Rabu 3 Juli 2019.

Dari forum diskusi mengemuka, Kota Medan seharusnya sudah memiliki sarana dan prasarana memadai sebagai pusat perdagangan dan industri bagi kota yang dihuni banyak etnis itu.

Kerap dilanda banjir ketika hujan lebat, pengelolaan sampah yang tidak baik, kejahatan di jalanan seperti begal menjadikan Kota Medan sebagai kota yang tidak nyaman bagi sebagian penduduknya, terutama bagi pengendara sepeda motor saat malam hari, merupakan persoalan paling sering diperbincangkan warga kota sebagai kegagalan kepemimpinan saat ini.

Selain itu, Kota Medan sebagai wajah Sumatera Utara, sering mengalami kemacetan lalu lintas akibat jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan volume jalan, kondisi jalan yang rusak dan penataan pasar tradisional yang banyak berada di persimpangan jalan.

Hadir sebagai narasumber dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Edy Iksan, Ketua Komisi D DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan dan Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Rurita Ningrum.

Edy menceritakan sejarah Kota Medan sejak zaman penjajahan Belanda sebenarnya sudah memiliki desain perencanaan kota yang banyak dilintasi sungai seperti Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Belawan, Sei Badra dan Sei Kera.

"Sebenarnya persoalan seperti banjir bisa diselesaikan, sudah ada perencanaannya sejak dulu. Tapi pengambil keputusan kita tidak berani dan malas. Yang jelas kita harus punya pemimpin gila," kata Edy.

Edy yang banyak diperbincangkan bakal maju menjadi Wali Kota Medan 2020-2025 dan berterus terang ingin hijrah masuk ke pertarungan yang menurutnya lebih ganas menyebut, Kota Medan saat ini sebagai kota tanpa identitas dan kota tanpa kenangan.

"Ada banyak peruntukan yang tidak sesuai, Kota Medan a city without memory and identity. Coba kenangan apa yang anda peroleh ketika berada di Medan. Kota begal? Kota sampah? Kota Bika Ambon? Kalau begitu kota para ketualah," ujar pria lulusan program doktoral dari Negeri Belanda itu.

Alhasil, lanjut Edy, Kota Medan menjadi seperti saat ini. Pelayanan kepada masyarakat juga tidak mengalami kemajuan. Seperti halnya pengurusan kartu identitas, kesehatan dan pendidikan.

"Seharusnya pelayanan seperti KTP itu jangan lama-lama. Sampai saat banyak yang sulit mengurusnya, bahkan bolak balik ke Disdukcapil. Coba dimanfaatkan kantor pos bagi yang sudah mengurus, hasilnya dikirim melalui jasa pelayanan pos. Itu semua kan ide yang gila, gila kerja," kata Edy sembari memuji Sutrisno Pangaribuan sebagai sosok yang berani dan banyak menerima pengaduan masyarakat.

Kalau masyarakat berani menolak politik uang dan calon pemimpin yang berkomitmen menolak politik uang. Yang dimaksud pemimpin gila dan berani tersebut pasti akan terwujud

Mendapat pujian dari Edy, Sutrisno Pangaribuan ketika gilirannya, menyampaikan persoalan Kota Medan tak sampai hanya pada sosok wali kota sebagai pemimpin. Namun, dibutuhkan proses mencari dan memilih calon pemimpin yang baik, dimulai dari masyarakat yang menolak politik uang dan politik identitas.

"Kalau masyarakat berani menolak politik uang dan calon pemimpin yang berkomitmen menolak politik uang. Yang dimaksud pemimpin gila dan berani tersebut pasti akan terwujud. Contohnya Bang Edy," ujar Sutrisno kembali memuji Edy Iksan.

Sutrisno meyakini calon pemimpin baik di birokrat maupun di legislatif harus berani untuk tidak populer. Ia mencontohkan dirinya yang tidak terpilih untuk kembali duduk di DPRD Sumut periode 2019-2024 akibat tak menjalankan politik uang.

"Sebelumnya saya terpilih tanpa politik uang. Kalau saya menjalankan itu, kemungkinan besar kembali terpilih. Sebagai aktivis, saya menolak itu lebih baik tidak terpilih. Karena menjadi seperti apa saya sekarang, karena berani menolak itu. Saya harap nanti para calon kepala daerah punya komitmen itu. Saya yakini Bang Edy Iksan salah seorangnya," katanya.

Pembicara lainnya, Rurita Ningrum mengatakan Kota Medan dengan besarnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sekitar Rp 6 triliun lebih, harusnya mampu menyelesaikan banyak persoalan.

Sebagai contoh, pendapatan dari sektor pajak dan retribusi belum dikelola dengan baik.

"Kita lihat saja banyak baliho atau reklame yang gentayangan di Kota Medan yang menakutkan itu karena besar-besarnya kalau jatuh bisa mengancam nyawa orang. Ternyata tidak ada pendapatan dari sana. Padahal kalau di Jakarta itu menjadi sektor favorit pendapatan," katanya.

Rurita menyebut pendapatan daerah lainnya seperti dari retribusi parkir seharusnya dikelola dengan baik. Namun, selama ini peranan Organisasi Kepemudaan (OKP) di sektor tersebut lebih menonjol.

"Yah, itulah banyak ketua, kembali kepada pemimpinnya baik di birokrat dan legislatif yang berani mengambil kebijakan. Selama ini dalam pembahasan kita tak pernah dilibatkan," paparnya.

Dalam diskusi publik tersebut juga dihadiri sejumlah kelompok seperti kaum buruh, pedagang pasar dan kelompok pemulung sampah di Kota Medan.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Dia 10 Parpol Pendatang Baru yang Terdaftar di Sipol KPU
Sebanyak 22 partai politik (parpol) telah mengajukan permohonan pembukaan akun atau akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).