Kontroversi UU Imigrasi Prancis dan Dampaknya Terhadap Migran

Di barisan terdepan berdiri Ahmada Siby, pria berusia 33 tahun asal Mali yang tiba di Prancis lima tahun lalu
Ahmada Siby ketika memimpin aksi protes di Prancis (Foto: dw.com/id/Lisa Louis /DW)

TAGAR.id - Ambisi Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mereformasi UU Imigrasi diyakini sebagai upaya untuk merangkul pemilih konservatif. Pegiat HAM memperingatkan legislasi yang baru malah akan memperburuk masalah keimigrasian. Lisa Louis melaporkannya untuk DW.

Ribuan demonstran memenuhi jalan di dekat Stasiun Montparnasse di selatan Paris pada hari Minggu (10/12/2023) sore. Mereka membawa spanduk bertuliskan penolakan terhadap "UU Darmanin," merujuk pada nama menteri dalam negeri Prancis, dan "imigrasi bukan masalahnya, tapi rasisme."

Di barisan terdepan berdiri Ahmada Siby, pria berusia 33 tahun asal Mali yang tiba di Prancis lima tahun lalu. Dengan memanfaatkan celah hukum, dia menggunakan identitas orang lain untuk bekerja sebagai petugas kebersihan, asisten rumah tangga atau petugas cuci piring.

"Sebagian besar imigran ilegal menggunakan metode ini. Tapi ini berarti bahwa kami membayar pajak dan asuransi sosial, tapi tidak bisa menikmati layanan publik seperti asuransi kesehatan nasional seperti warga Prancis," kata dia kepada DW.

"Presiden Emmanuel Macron memperlakukan kami seperti kutu, meski kami lah yang melakukan semua pekerjaan kotor, seperti di sektor konstruksi, termasuk gelanggang untuk Olympiade Paris musim panas tahun depan."

Bersama ribuan yang lain, Siby memrotes amandemen UU Keimgrasian yang oleh pemerintah di Paris diklaim merupakan kompromi antara ideologi kiri dan konservatif.

imigran di selat inggrisPara imigran yang menyeberangi selat dari antara Prancis dan Inggris tampak di kapal penjaga pantai Inggris di Dover, Inggris (Foto: Dok/voaindonesia.com/AFP)

Permudah deportasi, persulit reuni keluarga

Rancangan undang-undang Keimigrasian akan dibahas di Majelis Nasional, majelis rendah parlemen Prancis, mulai Senin, 11 Desember 2023, dan bisa mulai berlaku awal tahun depan. Versi final dari RUU imigrasi masih belum dirilis untuk umum, meski sejumlah informasi rinci sudah terlebih dulu bocor ke publik.

RUU baru ini kemungkinan akan mempercepat proses penentuan suaka dan mempersingkat pengajuan banding. Selain itu, pemerintah juga berniat mempersulit reunifikasi keluarga dan membatasi kedatangan anggota keluarga di luar negeri untuk mendapatkan perawatan medis di Prancis.

Perubahan juga mencakup pilihan untuk mendeportasi anak berusia di bawah 13 tahun dan mendeportasi orang tua berkewarganegaraan asing yang anaknya berhak atas kewarganegaraan Prancis.

Prancis berencana untuk membuat kartu greencard selama satu tahun untuk sektor-sektor yang mengalami kekurangan tenaga kerja. Namun keputusan akhir diserahkan kepada pemerintah daerah.

Adalah Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin yang mengajukan amandemen UU Keimigrasian. Naskah yang sudah beredar dikhawatirkan oleh para migran karena berpotensi memperkuat diskriminasi dan stigmatisasi oleh warga lokal.

Legislasi lampaui batas

Menurut Lise Faron dari Cimade yang berbasis di Paris, sebuah LSM bagi pengungsi dan migran, RUU Keimigrasian yang baru diyakini justru akan menciptakan ketidakjelasan hukum yang lebih besar.

"Pemerintah telah berjanji akan membuat rancangan undang-undang yang berimbang. Tapi bunyi naskahnya hampir secara eksklusif akan membatasi hak-hak imigran dan mempersulit mereka untuk mendapatkan legalisasi. Hal ini akan mengakibatkan lebih banyak migran tidak berdokumen,” katanya kepada DW.

"Rasanya seperti kita melampaui batas dengan RUU ini, misalnya dengan mempermudah pengusiran orang tua asing yang memiliki anak-anak berstatus warga Prancis. Sebelumnya, deportasi hanya berlaku bagi mereka melakukan kejahatan serius," tambah Faron.

Bagi Vincent Tiberj, profesor sosiologi politik di Universitas Sciences Po, Bordeaux, rancangan undang-undang tersebut mencerminkan pergeseran umum ke haluan kanan.

"Sebagian besar politisi Perancis menggambarkan imigran sebagai beban dan ancaman. Mereka benar-benar lupa bahwa banyak migran, juga generasi selanjutnya, yang memberikan kontribusi besar bagi masyarakat kita,” katanya kepada DW.

Tiberj meyakini, politisi arus utama menggunakan isu imigrasi demi meraih suara dari kaum konservatif. Saat ini, partai sayap kanan Prancis, Persatuan Nasional, diperkirakan akan menjadi yang terkuat dalam pemilihan Parlemen Eropa bulan Juni mendatang, menurut berbagai jajak pendapat.

"Namun, partai-partai seperti Renaissance (LREM) harus menyadari bahwa strategi ini tidak akan berhasil. Karena strategi ini hanya akan melegitimasi gerakan sayap kanan dan membantu mereka mendapatkan lebih banyak dukungan,” kata Tiberj.

Apakah UU imigrasi baru akan ampuh?

Alexis Izard, anggota parlemen dari Partai Renaissance, mengatakan rancangan undang-undang akhir akan tetap seimbang. "Setiap tahun, kita perlu mengusir sekitar 4.000 imigran ilegal yang melakukan tindak kriminal, dan hal itu akan mungkin terjadi dengan undang-undang baru ini,” katanya kepada DW, seraya menambahkan bahwa prosedur deportasi akan memakan waktu satu tahun, bukan dua tahun setelah perubahan tersebut.

"Pada saat yang sama, kami ingin menarik mereka yang ingin datang ke sini dan bekerja secara legal. Undang-undang ini akan menjadi aturan yang sangat efisien,” katanya lagi.

Herve Le Bras, sejarawan dan ahli demografi di School for Advanced Studies in the Social Sciences EHESS yang berbasis di Paris, berpendapat lainn. Menurutnya, dari sekitar 100 undang-undang imigrasi yang disahkan sejak tahun 1945, tidak satupun yang efektif.

"RUU ini sama sekali tidak berguna dan praktis tidak berdampak pada jumlah migran yang datang setiap tahunnya. RUU ini hanya memberi para politisi, dari sayap kanan hingga sayap kiri, sebuah platform untuk mengekspresikan pendirian mereka,” katanya dalam sebuah pernyataan. wawancara dengan DW.

"Jika Anda melihat angka imigrasi pada pemerintahan masa lalu, Anda akan melihat bahwa angka tersebut tidak berkorelasi dengan politik,” katanya. (rzn/hp)/dw.com/id. []

Berita terkait
Prancis dan Inggris Teken Perjanjian untuk Kekang Penyeberangan Migran
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, dan Menteri Dalam Negeri Inggris, Suella Braverman, menandatangani perjanjian itu di Paris.