Kontroversi RUU Pesantren Atur Sekolah Minggu, Apa Tanggapan Pimpinan HKBP?

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terus menuai kontroversi, terutama di kalangan umat Kristen.
Ephorus HKBP Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 26/10/2018) - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terus menuai kontroversi, terutama di kalangan umat Kristen.

Kontroversi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan inipun menjadi pembahasan dan viral di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp Grup (WAG).

Kontroversi ini dipicu pasal 69 dan 70 dalam RUU tersebut yang mengatur syarat adanya sekolah minggu dan katekisasi.  Sekolah minggu dan katekisasi di setiap gereja dalam RUU tersebut memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota.

Tak kurang dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sudah mengajukan keberatan dengan dua pasal tersebut. 

Lalu bagaimana sikap dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) melihat RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini? Sebagaimana diketahui, HKBP merupakan lembaga gereja terbesar di Indonesia. 

Baca Juga: Polemik RUU Pesantren Atur Sekolah Minggu, Ini Kata Anggota DPR Anton Sihombing

Tagar News berusaha menghubungi Pimpinan Pusat HKBP yakni Ephorus Pdt. Dr. Darwin Lumban Tobing dan Sekjen Pdt. David F. Sibuea. Sayangnya, Ephorus HKBP tak menanggapi pertanyaan yang diajukan Tagar News melalui pesan WhatsApp. Kabarnya, Ephorus saat ini berada di Amerika Serikat.

Sementara itu Sekjen HKBP Pdt. David F Sibuea saat dihubungi melalui pesan yang sama, hanya berkomentar singkat. "Maaf,  kalau suara HKBP mengenai RUU tersebut adalah dari Ephorus HKBP, terimakasih," ujar Pdt. Sibuea kepada Tagar News.

Saat Tagar News mencoba meminta pendapatnya sebagai pribadi, bukan mewakili institusi HKBP, Pdt. David Sibuea sama sekali tak memberikan jawaban.

Sementara itu, anggota DPR dari Partai Hanura Rufinus Hotmaulana Hutauruk mengatakan DPR akan mengundang PGI dan organisasi keumatan lainnya dan siap membahas polemik ini.  

Ia sepakat UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan harus ada untuk memberikan payung hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia agar tidak serampangan. 

"Akan tetapi, beberapa hal yang harus menjadi perhatian jangan sampai membuat penyeragaman dan harus sesuai dengan teologi masing-masing agama," ujar Rufinus yang saat ini sudah pindah menjadi calon legislatif Partai Nasdem.

Baca Juga: Pdt. Albertus Patty: RUU Pesantren Ingin Mengintervensi Peribadahan Gereja

Menurutnya tidak pas bila membuat aturan yang sifatnya seragam dan berhubungan dengan jumlah populasi. Ia mencurigai RUU ini nantinya akan seperti SKB 2 Menteri mengenai pendirian rumah ibadah yang kemudian mempersulit pendirian gereja. 

"Ujung-ujungnya (akan) berakhir seperti SKB 2 Menteri, dimana saat mayoritas warga setempat adalah Islam, dan jumlah minimum yang disyaratkan dalam UU tidak terpenuhi, maka penyelenggaraan (sekolah minggu dan katekisasi) tidak bisa dapat ijin dan ilegal," ungkap Rufinus kepada Tagar News.

Ia meminta DPR yang akan membahas RUU ini harus bijak menyikapi polemik ini agar jangan menjadi keresahan baru terutama di kalangan umat Kristiani.

Berikut 2 pasal yang menjadi kontroversi:

Pasal 69

(1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.

(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.

(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Pasal 70

(1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/ Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/ Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan.

(2) Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.


Berita terkait