Polemik RUU Pesantren Atur Sekolah Minggu, Ini Kata Anggota DPR Anton Sihombing

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terus menuai polemik terutama di kalangan umat Kristen.
Anton Sihombing (Foto: partaigolkar.or.id)

Jakarta, (Tagar 25/10/2018) - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terus menuai polemik terutama di kalangan umat Kristen.

Polemik tersebut terutama pada dua pasal, pasal 69 dan 70, dalam RUU tersebut yang mengatur sekolah minggu dan katekisasi dan dianggap sebagai pendidikan non formal yang terpisah dari peribadahan. Akibatnya, sekolah minggu dan katekisasi di setiap gereja dalam RUU tersebut memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota.

Persoalan inipun menjadi trending di berbagai media sosial, terutama di kelompok umat Kristen. Hampir semuanya menyatakan keresahannya apabila RUU ini disetujui menjadi undang-undang. Banyak juga yang mempertanyakan kenapa anggota DPR beragama Kristen tidak bersuara dengan RUU ini.

"Kemana anggota DPR beragama Kristen saat RUU ini disusun? Apakah mereka tidak pernah sekolah minggu?" tanya seorang netizen, Nova Dameria Sinaga di salah satu grup Facebook.

Baca Juga: PGI Keberatan RUU Pesantren Atur Syarat Sekolah Minggu dan Katekisasi

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Anton Sihombing pun akhirnya buka suara. Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini terutama pasal 69 dan 70.

Menurut anggota DPR dari Dapil Sumatera Utara 3 ini, negara tidak perlu mengatur sekolah minggu karena sekolah minggu merupakan bagian dari peribadahan dan tidak mempunyai kurikulum. 

"Jangan ditarik karena ada kata 'sekolah' dalam sekolah minggu. Itu (sekolah minggu) tidak ada standar pengajarannya dan tidak ada sertifikat atau ijazahnya," kata Anton kepada Tagar News, Kamis (25/10).

Ia pun akan mengusulkan melalui Fraksi Partai Golkar agar dua pasal yang mengatur sekolah minggu dan katekisasi tersebut untuk dihapus dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Seperti diketahui, DPR melalui hak inisiatifnya, memunculkan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi salah satu program legislasi nasional yang akan segera dibahas.

RUU kemudian memunculkan keresahan di kalangan umat Kristen karena ada dua pasal, pasal 69 dan 70, yang justru mengatur tentang sekolah minggu dan katekisasi dengan syarat harus 15 orang dan harus mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama setempat.

Baca Juga: Jeirry Sumampow: Pembuat RUU Pesantren Tak Paham Sekolah Minggu dan Katekisasi

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pun melayangkan protes keras terhadap RUU ini. 

Dalam siaran pers yang dikeluarkan PGI yang dapat dibaca di website pgi.or.id, PGI menyebut DPR melalui RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen dimana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja.

"Pendidikan sekolah minggu dan katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," demikian salah satu poin dalam pernyataan resmi PGI. 

PGI juga menyorot soal syarat pendirian pendidikan keagamaan yaitu memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota.

Aturan ini dinilai tak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja di Indonesia. PGI menyatakan model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tak bisa disetarakan dengan pesantren.

"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan ijin karena merupakan bentuk peribadahan," kata PGI.

Berikut 2 pasal yang dikritik PGI:

Pasal 69

(1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program.
(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.
(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).


Pasal 70

(1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/ Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/ Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan.
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang. []


Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi