KontraS Sebut Dasar Hukum Pembubaran Massa Belum Jelas

Staf Advokasi KontraS Andi Muhammad Rezaldy menilai pembubaran massa oleh kepolisian di saat corona belum memiliki dasar hukum.
Petugas kepolisian bersama tim gabungan terdiri dari TNI dan polisi syariah, berusaha membubarkan sebuah resepsi pesta pernikahan di kawasan Desa Cot Peuradi, Kecamatan Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, untuk mencegah paparan virus corona (COVID-19), Senin (30/3/2020) sore. (Foto: Tagar/Istimewa)

Jakarta - Staf Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy menilai pembubaran massa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam rangka mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

"Dasar hukumnya belum jelas. Apa yang mau dipakai? Maklumat Kapolri? Maklumat itu bahasa sederhananya pengumuman atau pemberitahuan. Tidak bisa hal itu dijadikan dasar pembubaran. Mau ada seribu maklumat Kapolri pun tetap tidak bisa karena Maklumat itu bukan Undang-Undang (UU)," kata Andi kepada Tagar, Selasa, 31 Maret 2020.

Tidak dibenarkan atas alasan apapun untuk melakukan tindakan penyiksaan.

Baca juga: Darurat Sipil, Bukti Jokowi Tegas Tangani Corona?

Kebijakan melakukan pembatasaan kebebasan berkumpul, kata dia, harus dibatasi dengan hukum nasional jika merujuk pada konvenan hak sipil politik serta prinsip-psinsip siracusa. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 28J ayat 2 UUD yang berbunyi:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sementara itu, UU yang memberikan kewenangan untuk melakukan pembatasan berkumpul tertuang dalam UU Kekarantinaan Kesehatan melalui kegiatan pembatasan sosial skala besar.

"Masalahnya UU kekarantinaan belum ada peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana. Jadi presiden harus segera buat PP-nya," kata Andi.

Baca juga: Jokowi Tetapkan Status Kedaruratan Kesehatan Covid-19

Saat karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar dijalankan, aparat keamanan tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan represif seperti penyiksaan atau perlakuan keji lainnya, meskipun negara sudah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat. 

Hal di atas dapat dilihat pada Pasal 4 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005.

Andi berharap segala macam tindakan represif aparat kepolisian seperti yang terjadi di India, tidak akan pernah terjadi di Indonesia selama masa darurat pandemi virus corona.

"Tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam konteks lockdown itu terjadi di India. Jangan sampai pemerintah melakukan tindakan serupa oleh karena tidak dibenarkan atas alasan apapun untuk melakukan tindakan penyiksaan," ujarnya. []

Berita terkait
KontraS Idealis Tolak Bahas Omnibus Law di Istana
Pengamat Politik menilai KontraS idealis karena menolak duduk bersama pihak Istana membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
KontraS Tolak Undangan Istana Bahas Omnibus Law
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak memenuhi undangan dari Istana, ihwal pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.
Kontras Pesimistis KPK Berani Geledah Kantor PDIP
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanesia mengaku pesimis KPK tidak berani geledah kantor PDIP.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.