TAGAR.id, Poso, Sulteng – Aparat penegak hukum dan masyarakat bisa lebih peka untuk mencegah femisida dengan melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak berwenang agar korban mendapat perlindungan. Pantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ada 159 kasus femisida pada 2023. Yoanes Litha melaporkannya untuk VOA.
Siti Aminah Tardi, Ketua Sub Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan sepanjang 2023 ditemukan 159 kasus femisida (KBBI: pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan) di seluruh Indonesia.
Angka tersebut didapat Komnas Perempuan dari hasil pemantauan pemberitaan media pada 2023. Kasus femisida ditemukan di seluruh 34 provinsi, dengan kasus terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu 28 kasus. Jawa Barat dan Jawa Tengah menyusul dengan masing-masing 24 dan 18 kasus. Selanjutnya, di Sumatera Utara ditemukan 10 kasus dan di Riau terpantau ada delapan kasus.
“Ada di 34 provinsi, dengan 5 provinsi tertinggi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara dan Riau. Namun harus dicatat sebaran ini bukan berarti di wilayah lain itu lebih kecil atau lebih besar,” kata Siti Aminah Tardi dalam diskusi publik tentang femisida yang digelar pada Selasa (5/12) sebagai rangkaian 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Kejahatan femisida didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini atau kebencian terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.
Menurut Komnas Perempuan, ada sembilan jenis femisida, dan salah satunya adalah femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami atau pacar dan mantan pacar.
Jenis femisida lainnya adalah femisida non-intim yaitu pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban. Ada juga femisida budaya, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas.
Siti Aminah Tardi mengatakan femisida budaya tercatat pernah terjadi pada 2020 di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus itu terjadi pada seorang anak perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan sepupunya.
“Kemudian, ayahnya memerintahkan anak laki-lakinya atau saudara dari anak perempuan ini untuk melakukan penganiayaan sampai dia meninggal. Tentu ini didasarkan nama baik keluarga,” jelas Siti Aminah Tardi.
Sepanjang 2023, kasus femisida di Indonesia terbanyak adalah femisida intim, yaitu sebanyak 109 kasus; disusul oleh femisida non-intim sebanyak 15 kasus dan bunuh diri akibat kekerasan berbasis gender sebanyak 12 kasus. Jumlah korban terbesar adalah istri, yaitu 72 orang, diikuti oleh pacar (33 orang) dan mantan pacar (9 orang).
Motif tertinggi pelaku adalah cemburu, ketersinggungan maskulinitas, kekerasan seksual, dan menolak perceraian atau pemutusan hubungan.
Komnas Perempuan tidak menjelaskan apakah tren femisida cenderung meningkat atau menurun. Namun, dalam pemantauan media daring sebelumnya, Komnas Perempuan menemukan ada 307 kasus pembunuhan perempuan yang diduga femisida dari Juni 2021 hingga Juni 2022. Sebanyak 84 kasus atau 27,36 persen dari total kasus femisida adalah femisida intim.
Butuh Kepekaan Masyarakat
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Ema Rahmawati mengungkapkan dibutuhkan kepekaan aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya femisida sejak diterimanya laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan sementara kepada korban kekerasan.
Ema mencontohkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Pelakunya adalah suami. Kemudian tidak memungkinkan korban kembali lagi ke rumah karena ada suaminya. Kemudian untuk TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual-red) adalah orang-orang terdekat, maka wajib pihak Kepolisian memberikan perlindungan sementara kepada korban,” jelas AKBP Ema Rahmawati.
Pencegahan femisida, menurut AKBP Ema Rahmawati, juga membutuhkan peran serta masyarakat. Kasus KDRT bukan lagi ranah domestik, tetapi sudah menjadi ranah publik. Dengan demikian, masyarakat yang mengetahui adanya peristiwa tersebut dapat melaporkan kepada kepolisian.
Pemulihan Bagi Keluarga Korban
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menilai proses penegakan hukum terhadap pelaku dalam kasus pembunuhan yang dikategorikan sebagai femisida diberikan pasal tambahan. Selain itu proses pemulihan bagi keluarga korban juga menjadi sangat penting.
“Dalam kasus femisida pasangan intim, misalnya, ketika suami membunuh istri, ketika mereka punya anak, sesungguhnya situasi ini menghancurkan kehidupan anak itu, dan juga kehidupan banyak anggota keluarga lainnya yang ditinggalkan,” tegas Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan sejak 2021 mendorong agar Polri dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk membuat pemilahan data berbasis gender. Data pilah dapat memberikan informasi yang lebih utuh mengenai fenomena femisida untuk disikapi lebih komprehensif. Pencegahan dapat dimulai dengan pengusutan pada laporan-laporan KDRT atau pelecehan seksual yang bisa kemudian berujung pada femisida tersebut. (yl/ft)/voaindonesia.com. []