Untuk Indonesia

Kisah Si Parlindoengan, Orang Batak yang Lolos dari Kamp Nazi

Parlindoengan, mengatakan bahwa ia selama empat tahun berada dalam kamp penyiksaan tersebut. Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang.
Parlindoengan Loebis

Banyak tawanan sengaja melanggar batas garis larangan untuk bunuh diri. Mereka melewati garis itu supaya ditembak mati pasukan SS dari belakang.

Siapa tak pernah mendengar kebuasan penguasa Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler? Tapi, pernahkah mendengar kabar orang Batak pernah lolos dari penyiksaan rezim fasis anti-Yahudi itu?

Namanya Parlindoengan Loebis. Boleh jadi pria kelahiran Batang Toru, Tapanuli Selatan 30 Juni 1910 ini adalah orang Indonesia pertama yang masuk kamp konsentrasi Nazi.

Parlindoengan, sebagaimana dirilis otobiografi “Orang Indonesia dalam Kamp Konsentrasi NAZI” (2007) mengatakan, selama empat tahun ia berada dalam kamp penyiksaan tersebut, sejak ia diciduk dua polisi rahasia Belanda binaan Gestapo di sebuah rumah yang sekaligus menjadi tempat prakteknya sebagai dokter di Amsterdam. Peristiwa penangkapannya terjadi pada Juni 1941, suatu siang setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jerman.

Di Belanda, Parlindoengan bertugas sebagai dokter. Dia ditangkap atas tuduhan sebagai pemberontak. Maklum, meski akrab dengan ideologi kiri, Parlindoengan sangat anti-fasis.

"Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur. Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk,” kisahnya.

Itu adalah penggalan kalimat Parlindoengan saat hari pertama ia dalam kamp konsentrasi Nazi. Inilah awal dari babak mengerikan dalam hidupnya.

Parlindoengan adalah seorang tokoh nasional Indonesia. Pada masa remaja, ia merantau ke Batavia dan sempat bergabung dengan organisasi Jong Islamieten Bond dan Jong Batak, yang kemudian bersama perhimpunan mahasiswa lain seperti Jong Java bersatu membentuk Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (PPPI) dan Indonesia Moeda.

Parlindungan berangkat ke Belanda setelah lulus Kandidat I di Betawi, demikian ia menuliskannya. Di Belanda, ia belajar ilmu kedokteran di Universitas Leiden pada tahun 1930-an.

Selama di Leiden, ia aktif sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) periode 1936-1940 dan dianggap sebagai pelopor PI Angkatan II sesudah Angkatan I Mohammad Hatta, Soetaan Sjahrir, Sartono, Iwa Kpesoemasumantri, Ali Sastroamodjojo, dan Sukiman. Bersama PI, ia berjuang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia, hingga kemudian ia ditangkap.

Parlindoengan mengakui, selama empat tahun dalam penyiksaan, selama empat kali pula ia pindah kamp. Di Belanda, ia mendekam di Kamp Schoorl dan Amersfoort, serta di Jerman berada di Kamp Buchenwald dan Sachsenhausen.

Di Kamp Schoorl, ia belum disuruh bekerja, hanya melakukan apel pagi dan olahraga. Ketika seluruh isi kamp digabung dengan Kamp Amersfoort, ia diperintahkan untuk mengerjakan konstruksi, termasuk memasang kawat berduri. Ia pun mulai disiksa secara kejam oleh petugas di sana.

"Untuk dapat survive dalam kamp, aku pertama-tama harus mempunyai hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimental dan cengeng harus dibuang jauh-jauh… Masa lampau sekali-kali jangan dikenang. Masa yang akan datang jangan diharapkan. Hiduplah untuk hari ini saja,” kenangnya.

Parlindoengan lalu dipindahkan ke Kamp Amersfoort, lalu ke Kamp Buchenwald, bersama 100 tawanan lain menggunakan kereta api kelas tiga. Di sini ia bersama 1400 tawanan lainnya mendapat tugas untuk membuka hutan di suatu pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air, listrik, bengkel, dan lain-lain, selama tujuh hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan sering dipukuli, bahkan hingga mati.Tawanan yang ketahuan mengobrol akan ditembak tanpa ampun.

“Setelah dipindahkan ke Buchenwald, aku memperkirakan bahwa tidak mempunyai harapan lagi untuk dibebaskan, kecuali Jerman dikalahkan Sekutu dalam perang. Namun, menurut perkiraanku itu tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat…. Aku harus siap untuk ditawan beberapa tahun. Itu pun kalau aku tidak terbunuh….,” tulisnya.

Perasaan itu ia lukiskan pada awal April 1942 kala tiba di Kamp Buchenwald. Kegelisahan Parlindoengan yang dituangkan dalam otobiografinya itu tak mengada-ada. Setidaknya, hampir setiap pekan puluhan tawanan mati akibat sakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Buchenwald. Sejak menampung tawanan pada 1837 hingga 1945, tak kurang dari 56 ribu korban menemui ajalnya di kamp konsentrasi yang terletak di pinggiran Kota Weimar itu.

Selama dalam kamp tahanan dengan pekerjaan yang begitu berat, para tawanan hanya mendapat jatah makanan sangat minim.

“Pagi-pagi dapat roti kurang-lebih 400 gram, bubur dan kopi pakai gula kurang-lebih 400 cc. Kopi yang diberikan itu sebenarnya bukan kopi, melainkan dibuat dari sejenis padi,” tulisnya.

”Makanan itu kalau dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan dan cuaca yang dingin sangatlah tidak mencukupi,” imbuhnya.

Lebih mengenaskan lagi, bila para tawanan dipaksa untuk bekerja jauh di luar kamp, mereka dilarang melewati garis yang telah ditentukan. Bila melanggar, akan ditembak pasukan SS yang bertugas mengawasi.

“Banyak juga tawanan yang memanfaatkan itu untuk bunuh diri. Mereka dengan sengaja melewati garis itu supaya ditembak mati dari belakang,” kata Parlindoengan.

Tahun 1944, ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara, sebagian Kamp Buchenwald hancur. Sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu rata dengan tanah, kini yang masih tersisa hanya beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan.

Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah, yang dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.

Saat Kamp Buchenwald dibombardir pasukan Sekutu, Parlindoengan tak lagi di sana, ia telah dipindahkan lagi pada Oktober 1942 ke Kamp Sachsenhausen, ke instalasi pabrik pesawat perang Heinkel. Di sini situasinya lebih mendingan, sekalipun kekejaman masih terjadi. Kegiatan kamp lebih difokuskan pada pekerjaan teknis. Parlindoengan ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan.

Saat pasukan Sekutu berhasil masuk ke Jerman, terjadi kekacauan dalam kamp. Para tawanan dan penjaga membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak juga penjaga yang lari memisahkan diri.

Mereka akhirnya berhenti di Grabouw disusul barisan dari kamp lain ikut bergabung. Tentara Rusia akhirnya masuk juga ke sana. Parlindoengan resmi lepas dari tawanan, tetapi perlu waktu untuk memulihkan diri dan mencari cara untuk lepas dari kawasan Rusia, menyeberangi Sungai Elbe, masuk ke kawasan Sekutu bagian Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda dengan kereta ke Maartricht, lalu naik mobil ke keluarganya di Amsterdam.

Usai Perang Dunia II, Parlindoengan kembali ke Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Di Indonesia, Parlindoengan hidup berpindah-pindah tempat. Sepanjang 1947-1950, ia menetap di Yogyakarta dan berkerja sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan.

Setelah itu, Parlindoengan bekerja sebagai dokter perusahaan Borneo Sumatra Handel Maatschappij di Jakarta, sembari sorenya membuka praktik dokter di rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru.

Tahun 1959, Parlindoengan hijrah ke Tanjungpandan, Pulau Belitung. Ia bekerja sebagai dokter di PN Tambang Timah.

Parlindoengan meninggal di Jakarta pada 31 Desember 1994, nyaris tanpa perhatian dari bangsa Indonesia. (yps/dbs)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.