Untuk Indonesia

Satukan Sunda-Jawa, Lupakan Perang Bubat!

Satukan Sunda-Jawa, lupakan Perang Bubat! Simbolisasi rekonsiliasi pun digulirkan dengan menghadirkan Jalan Sunda dan Jalan Padjadjaran di Kota Surabaya.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (6/3/2018). (Foto: Ist)

Bandung, (Tagar 16/3/2018) – Sewaktu pemerintahan Raja Majapahit Hayam Wuruk, Perang Bubat berlangsung pada abad ke-14 yang berdampak besar bagi kehidupan orang Sunda dan Jawa. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 Masehi.

Terjadi perselisihan antara Patih Gajahmada dari Majapahit dan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda.

Konon, akibat peristiwa ini, disebutkan orang Sunda dan Jawa tidak bisa disatukan, khususnya dalam hal perkawinan.

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan atau Aher menyebutkan, ada semacam emosi kolektif antara orang Sunda dan orang Jawa akibat Perang Bubat.

Orang nomor satu di Provinsi Jabar itu mencoba untuk mengakhiri perselisihan yang terjadi selama 661 tahun antara orang Sunda dan orang Jawa melalui sebuah rekonsiliasi budaya, yakni melalui jalan.

Bertempat di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (6-3-2018), tiga kepala daerah berkumpul. Mereka adalah Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo.

Penyatuan dua etnis ini melalui sebuah rekonsiliasi budaya bukan sekadar acara seremonial semata.

Gubernur Aher mengatakan, budaya damai atau rekonsiliasi dapat dibangun melalui kejujuran, hidup berbagi, saling menghormati, dan merawat perbedaan.

Ia menilai, sudah bukan saatnya lagi mempertahankan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasunda Bubat.

Walaupun demikian, peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam sebuah karya sastra berjudul Kidung Sunda (Kidung Sundayana).

Pasundan Bubat adalah sejarah, kata dia, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan bangsa Indonesia, sehingga peristiwa Pasunda Bubat tidak boleh dilupakan namun maafkanlah pihak yang dianggap bersalah.

"Hilangkan dendam sejarah, berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk pada masa lalu tidak terulang pada masa depan," kata Aher pada kegiatan Harmoni Budaya Sunda-Jawa.

Ia melanjutkan, "Marilah kita jalin harmoni budaya Sunda Jawa menjadi sebagai pemersatu dan penguat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Salah satu bentuk atau simbolisasi rekonsiliasi sekaligus keakraban budaya tersebut adalah dengan menghadirkan Jalan Sunda dan Jalan Padjadjaran di Kota Surabaya.

Sebuah jalan setiap harinya akan dilalui masyarakat untuk beraktivitas. Dengan rekonsiliasi budaya lewat cara ini, diharapkan dapat menghadirkan kesatupaduan etnis Sunda-Jawa yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam bingkai kesatuan persatuan dan kebinekaan di lingkup NKRI.

"Ini adalah rekonsiliasi budaya, rekonsiliasi sejarah, rekonsiliasi antaretnis besar Jawa dan Sunda, dan tentu rekonsiliasi ini pengaruhnya sangat besar untuk persatuan dan kesatuan bangsa," ujar Aher.

Dengan adanya rekonsiliasi budaya ini maka dilakukan pergantian nama dua jalan arteri di Kota Surabaya dengan menggunakan nama kesundaan yakni Jalan Sunda dan Jalan Diponegoro.

Jalan Gununsari Kota Surabaya diubah menjadi Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Dinoyo Kota Surabaya menjadi Jalan Sunda.

Selain itu, di Jawa Barat, rencananya akan hadir pula Jalan Majapahit, dan Jalan Hayam Wuruk yang akan ada di Kota Bandung.

Jauh sebelum ada rekonsiliasi antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah terlebih dahulu memiliki nama jalan bernuansa Jawa Barat, yaitu Jalan Padjadjaran dan Jalan Siliwangi.

Lewat harmoni budaya tersebut, Aher berharap akan hadir keakraban diantara masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang makin erat.

"Uniknya, pada tahun politik ini yang ramai dengan isu perpecahan, kita malah bersatu," ujar Aher.

Sementara itu, Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan merupakan langkah berani yang juga layak ditempuh oleh semua elemen bangsa. Keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.

"Semoga inisiatif yang kami lakukan kemarin di Yogyakarta, sekarang di Jawa Timur, Surabaya, kemudian akan dilakukan di Jawa Barat, membawa prospek masa depan sosial yang baik dalam 'nation character building' atau pembangunan jiwa bangsa," kata Pakde Karwo, sapaan Gubernur Jawa Timur Soekarwno.

Menurut Pakde Karwo, penting bagi pemuda mengetahui peristiwa sejarah Pasunda Bubat sebagai peristiwa budaya. Di samping menjaga keakraban budaya yang berkesinambungan, sebagai inspirasi untuk daerah lain.

"Kami masyarakat Jawa Timur berterima kasih atas kebesaran jiwa Kang Aher, juga Sri Sultan Hamengku Buwono dalam memfasilitasi pertemuan ini. Semoga jadi bagian penting, jadi hadiah penting bagi Kang Aher sebelum masa jabatannya habis," ujarnya.

Kang Aher, sebut Pakde Karwo, telah menempuh jalan yang luar biasa setelah 661 tahun sejarah Perang Bubat, kini sejarah tersebut diselesaikan dengan hati yang tulus. Sultan Hamengku Buwono sebagai 'pengadem' atau penenteram keadaan adalah sosok pemimpin yang juga pelindung budaya Jawa.

"Semoga semua selesai, dengan menghadirkan jalan, ini bagian simbolik, terpenting hati kita kini bebas menerima, lelaki Jawa cinta perempuan Sunda atau sebaliknya, silakan persunting," ujarnya.

Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X memandang pentingnya mengetahui sejarah sekaligus menghilangkan sekat-sekat kesalahpahaman yang telah terjadi di masa lalu.

"Karena setiap etnis yang ada, menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri," kata Sultan.

Rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antarmanusia yang sebelumnya mengalami "kecelakaan sejarah". Maka, harmoni budaya yang dilakukan Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur menjadi wahana solusi jangka panjang untuk manangkis permasalahan tersebut.

Sri Sultan mengimbau, bangsa Indonesia supaya menafsir sejarah secara kritis. Kidung Sundayana dibuat pada abad ke-16, sementara Perang Bubat terjadi pada abad ke-14.

Adapun seorang penulis Belanda pada abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 yang mengurai Peristiwa Bubat yang bisa saja hal tersebut memiliki sangkut paut politik di dalamnya.

Disambut Baik

Adanya trekonsiliasi budaya Sunda dan Jawa melalui nama Jalan Diponegoro dan Sunda di Provinsi Jawa Timur dan rencana ada nama Jalan Hawam Wuruk serta Jalan Majapahit di Kota Bandung, disambut baik oleh budayawan Sunda Yayat Hendayana.

Yayat hal tersebut merupakan langkah yang baik untuk memperbaiki sejarah kelam antara dua suku terbesar di Indonesia.

"Kalau menurut saya ini sebuah langkah pertama yang baik dan harus kita lanjutkan. Seperti di Jawa sudah mulai menempatkan nama Sunda di sana, seperti Siliwangi dan Padjajaran," ujar Yayat.

Namun, dia mengimbau kepada Pemprov Jawa Barat agar jangan terlalu tergesa-gesa dalam melakukan langkah rekonsiliasi ini, termasuk mengubah nama jalan di Jawa Barat.

Menurut dia, masih diperlukan lagi pendekatan-pendekatan terlebih dahulu kepada masyarakat, khususnya tokoh dan budayawan Sunda.

"Memang sejauh ini memang belum ada konsultasi atau pendekatan yang dilakukan pemerintah terkait dengan rekonsiliasi dan rencana perubahan nama jalan," tuturnya.

Ia menyebutkan, masih ada sebagian kelompok masyarakat, khususnya tokoh-tokoh Sunda, masih merasakan luka yang dalam akibat peristiwa Bubat tersebut.

Hal tersebut bisa dilihat dengan adanya penolakan yang pernah dilakukan tokoh-tokoh Sunda saat mendengar perang Bubat akan dibuatkan film.

Hal serupa juga diutarakan oleh Ketua DPRD Provinsi Jabar Ineu Purwadewi.

Politikus PDIP itu menyambut baik rekonsiliasi budaya Sunda dan Jawa yang digagas Pemprov Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

"Saya melihatnya rekonsiliasi budaya ini bukan hanya sebatas pergantian sebuah nama jalan semata, melainkan ini wujud dari kesatuan dan persatuan. Kita tahu Indonesia itu etnisnya sangat beragam atau banyak," kata Ineu.

Selain penggantian nama jalan di dua provinsi, kata Ineu, ada satu hal yang jauh lebih penting dalam upaya rekonsiliasi ini, yakni kebersamaan dan persatuan di lingkungan warga masyarakat.

"Sekali lagi, saya melihatnya ini bukan untuk melupakan sejarah melainkan ini adanya apresiasi dalam rangka menguatkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia," ujarnya. (ant/yps)

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.