Kisah Pengepul Lobster Bantul yang Enggan Jual Benur

Sugiyarto alias Tulus, seorang pengepul lobster di Kabupaten Bantul yang enggan menjual benur meski ramai dicari pembeli.
Bawor, 30 tahun, pekerja Tulus, mengangkat seekor lobster dari kolam penampungan milik Tulus, di kawasan Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Rabu, 15 Juli 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bantul - Gemericik suara air mengalir dari pipa-pipa 3/4 inci di dalam gudang berukuran 8x10 meter. Ujungnya menghasilkan gelembung-gelembung udara yang jatuh ke dalam kolam berisi belasan ekor lobster.

Dengung suara mesin pompa air tak kalah menggema di sekitar 10 kolam kecil yang berjejer di dalam gudang. Paling tidak, tinggi kolam mencapai 60 sentimeter. Tiap kolam dapat menampung 50 kilogram lobster berukuran kecil atau sekitar 30 kilogram lobster ukuran besar.

Tapi siang itu, Rabu, 15 Juli 2020, hanya beberapa kolam saja yang berisi lobster. Itu pun tidak terlalu banyak, cuma belasan ekor. Katanya, sebagian lobster sudah dikirim ke pembeli.

Sementara, beberapa penyuplai lobster masih dalam perjalanan menuju ke tempat itu, di kawasan Pantai Depok, Kabupaten Bantul.

Kalau dulu pembudidaya ada, tapi kurang. Kalau sekarang sama sekali nggak ada. Kendalanya kalau setahu saya dari pakannya.

Lobster-lobster terlihat berkumpul di sudut kolam. Tidak jauh dari selang berwarna hijau yang menjuntai di dalam kolam. Di luar gudang, puluhan drum plastik berwarna biru tertata rapi di dalam lorong kecil, tepat sebelum pintu masuk.

Drum-drum itu digunakan untuk mengirim lobster pada para pembeli. Beberapa boks styrofoam juga terlihat di depan gudang. Gudang dan lobster itu milik seorang pengepul lobster bernama Sugiyarto, 32 tahun.

LobsterSejumlah lobster di dalam kolam penampungan milik Sugiyarto alias Tulus, 32 tahun, di kawasan Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Rabu, 15 Juli 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Lelaki yang akrab disapa Tulus itu warga kawasan Pantai Depok, Kabupaten Bantul. Rumahnya tidak terlalu jauh dari gudang penyimpanan lobster, hanya sekitar 500 meter.

Saat ditemui Tagar, Tulus sedang beristirahat di sebuah tempat mirip gazebo kecil di bagian belakang rumahnya. Pria berjenggot itu ditemani istrinya.

Tulus mengaku sudah menjadi pengepul lobster sejak tahun 2013. Namun, dia hanya mengepul dan tidak membudidayakannya. Menurutnya saat ini, tidak ada satu pun pembudidaya lobster air laut di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab, mereka semua terkendala soal pemberian pakan.

"Kalau dulu pembudidaya ada, tapi kurang. Kalau sekarang sama sekali nggak ada. Kendalanya kalau setahu saya dari pakannya. Pakannya kan Indonesia belum nemu pakannya, jadinya mau besar susah," katanya membuka cerita.

Beberapa tahun lalu, kata Tulus, memang pernah ada pembudidaya lobster di kawasan Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunungkidul. Namun, saat ini budidaya itu sudah tidak lagi berjalan.

Benur Lebih Dicari

Sejak beberapa tahun terakhir, sebagai pengepul, Tulus menerima suplai lobster bukan hanya dari nelayan di Bantul, tetapi juga dari beberapa daerah di luar Yogyakarta. Seperti dari Gombong, Cilacap, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Timur; Pacitan dan Trenggalek.

Sebagian besar penyuplai lobster pada Tulus justru bukan nelayan, tetapi para pedagang kecil yang membeli dari nelayan di daerahnya masing-masing.

"Bakul (penjual) ngumpulin dari nelayan. Kalau cocok harga mereka bawa ke sini. Biasanya lewat telepon dulu," katanya.

Soal harga lobster, untuk saat ini, menurutnya cukup stabil. Akan tetapi, stabil pada harga rendah atau murah, yakni kisaran Rp 250 ribu per kilogram untuk lobster berukuran besar, berisi tiga hingga empat ekor.

Sedangkan benur atau anakan lobster berukuran sebesar sebatang korek kayu, harganya dikisaran Rp 15 ribu per ekor. Benur-benur seukuran itu membutuhkan waktu sekitar lima hingga tujuh bulan untuk menjadi dewasa.

Kalau kita kirimnya tetap ke Jakarta, tapi kalau yang eksportir biasanya yang jenis Batu ke Taiwan terus yang Pasir dan Mutiara ke China.

Kata Tulus, benur justru lebih banyak dicari oleh pembeli. Sehingga sebetulnya lebih menguntungkan untuk dijual. Namun, dia belum pernah menjual benur, sebab itu barang ilegal.

"Kalau saya kan jualnya yang besar terus. Jadi belum ngerasain jual yang kecil. Yang kecil kan ilegal mas," ujarnya.

Lobster lagiSuasana di kolam penampungan gudang lobster milik Tulus, di kawasan Pantai Depok, Rabu, 15 Juli 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Para pencari dan pembeli benur justru bukan pembudidaya lobster. Biasanya, pembelinya adalah pedagang lain yang menjual kembali ke luar negeri.

Harga tertinggi yang pernah dia rasakan adalah pada tahun 2013. Saat itu, harga lobster mencapai Rp 700 ribu per kilogram untuk ukuran 100 gram ke atas.

Sementara, harga terendah dialami saat Vietnam panen raya lobster, harganya anjlok menjadi Rp 170 ribu per kilogram. Harga rendah juga dialami ketika awal pandemi Covid-19, sebab saat itu pintu ekspor ke Tiongkok ditutup.

Tiongkok merupakan salah satu pasar lobster, khususnya untuk jenis Lobster Pasir dan Lobster Mutiara. Sedangkan Taiwan menjadi pasar untuk jenis Lobster Batu.

Tulus mengaku tidak mempermasalahkan perubahan harga lobster yang kadang terjadi sewaktu-waktu. Sebab, dia selalu mengikuti perkembangan harga.

"Saya kan setiap hari update, kalau kira-kira mau turun, ya udah. Kalau pas kena turun, ya udah. Misalnya harga turun, saya belinya ikut turun. Tapi kan nelayan yang kasihan," tuturnya.

Bahkan, fluktuasi harga lobster menjadi hal yang berkesan bagi Tulus, karena itu seperti sebuah tantangan. Selainnya, kenaikan harga yang bisa terjadi sewaktu-waktu tak jarang memberinya keuntungan lebih.

"Senangnya kan kalau pas naik. Misalnya gini, sekarang harga Rp 300 ribu, tiba-tiba nanti malam Rp 350 ribu atau berapa, kan senang to Mas. Tapi kadang tahu-tahu anjlok. Kalau muatan udah penuh tetap saya lepas. Daripada numpuk," tuturnya.

Saat musim lobster sedang banyak, Tulus bisa menerima hingga satu ton lobster per hari. Ketika sepi seperti saat ini, dia mengaku hanya mendapatkan suplai antara 10 hingga 15 kilogram per hari.

Musim lobster biasanya terjadi ketika musim penghujan. Nelayan setempat mencari lobster hanya di sekitar Pantai Depok dan sekitarnya. Lobster jenis Pasir dan Mutiara yang berharga lebih mahal biasanya ditemukan ke arah barat Bantul. Sedangkan ke arah timur, kebanyakan adalah lobster jenis Batu, meski ada juga jenis Pasir.

"Kalau kita kirimnya tetap ke Jakarta, tapi kalau yang eksportir biasanya yang jenis Batu ke Taiwan terus yang Pasir dan Mutiara ke China," tuturnya.

Sebagian besar pelanggan Tulus membeli untuk pasar lokal Indonesia, meski ada juga yang eksportir. Dari kedua jenis pelanggan tersebut, pelanggan eksportir disebutnya lebih menguntungkan, sebab mereka selalu membeli secara cash atau kontan.

"Kalau menguntungkan perputarannya, tetap eksportir. Karena mereka, kita jual langsung bayar. Kalau lokal setengahnya ada yang kredit. Ada yang cash juga," tegasnya.

Beli Air Laut

Meski bisnis lobster terdengar menggiurkan, pengepul seperti Tulus ternyata juga harus menyiapkan anggaran lebih untuk menampung lobster-lobster dari nelayan maupun pedagang.

Selain pembuatan gudang, kolam, drum pengiriman, blower dan sarana-sarana lain, Tulus juga harus merogoh kocek hingga Rp 800 ribu per pekan, untuk membeli satu tangki air laut.

Kalau di sini kadar garamnya kurang. Beda dengan Gunungkidul. Belinya di Gunungkidul, daerah Baron.

Meski lokasi gudangnya hanya berjarak sekitar 100 meter dari laut, untuk air kolam penampungan lobster, dia harus membeli air laut dari Pantai Baron, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal itu dijelaskan Bawor, 30 tahun, seorang karyawan Tulus, yang ditemui di gudang lobster. Menurutnya, air laut di kawasan Pantai Depok tidak cocok untuk menampung lobster. Sebab, airnya kurang asin, atau kadar garamnya rendah.

"Kalau di sini kadar garamnya kurang. Beda dengan Gunungkidul. Belinya di Gunungkidul, daerah Baron. Per tangki itu Rp 800 ribu. Itu untuk seminggulah," jelas pria bertato di lengannya ini.

DrumPuluhan drum yang ditumpuk di lorong depan gudang penampungan lobster milik Tulus, di kawasan Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Rabu, 15 Juli 2020. Drum-drum itu digunakan untuk mengirim lobster. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bahkan terkadang air sebanyak lima ribu liter itu, tidak cukup untuk sepekan. Sebab, air itu digunakan saat mengambil lobster dari nelayan, juga digunakan saat pengiriman lobster.

"Paling lama seminggulah, nggak sampai seminggu, empat hari sudah habis," katanya.

Jika tidak menggunakan air berkadar garam tinggi, kata Bawor, akan berdampak pada kesehatan lobster. Dia mengistilahkan lobster-lobsternya akan molor. Bahkan, untuk jenis Lobster Batu, kakinya bisa patah akibat air yang tidak sesuai.

Hal itu, kata dia, sangat berdampak pada harga jual lobster. Lobster yang molor, apalagi sampai ada yang patah kakinya akan dihargai dengan harga lobster mati, yakni setengah dari harga lobster hidup.

"Di sini kadar garamnya 18, kalau Gunungkidul kan 21. Lobster itu 20 ke atas. Kalau di bawah, lobsternya pada molor, kalau Batu itu kakinya patah," tuturnya. []



Berita terkait
Seniman Magelang Melukis dengan Bahan Limbah Plastik
Sujono, seniman kreatif asal Magelang. Perupa ini melukis dengan pewarna berbahan limbah plastik
Kisah Lasiyo, Pria Terbaring Lumpuh di Gunungkidul
Lasiyo, pria lumpuh di Gunungkidul, tidak punya rumah karena diterjang longsor. Alhamdulillah banyak pihak yang memberi perhatian kepadanya.
Kisah Haru Relawan Pemakaman Jenazah Covid di Kudus
Tidak digaji, tak ada intensif, anak gagal di PPDB, Wak Uying tetap berada di garis depan pemakaman jenazah Covid-19 di Kudus.