Untuk Indonesia

Kenapa NU - Muhammadiyah Belum Menerima Nadiem Makarim

NU, Muhammadiyah dan PGRI masih belum mau menerima Nadiem Makarim. Saya tidak paham kenapa. Kemelut dalam Program Organisasi Penggerak atau POP.
Nadiem Makarim. (Foto: Tagar/Surabaya Pagi)

Oleh: Ade Armando*

Sulit rasanya untuk tidak kagum kepada Nadiem Makarim. Buat saya, dia adalah contoh menteri yang excellent. Terkait dengan kontroversi Program Organisasi Penggerak (POP), dia itu dengan rendah hati menyatakan minta maaf. Dia menyatakan pemerintah ingin belajar dari organisasi-organisasi masyarakat untuk mencari cara terbaik untuk mendidik anak-anak Indonesia.

Dia memutuskan keterlibatan Yayasan Tanoto dan Sampoerna tidak akan didanai APBN sepeser pun. Sehingga dana yang semula hendak disalurkan melalui kedua yayasan tersebut bisa dialihkan ke organisasi-organisasi lain.

Dia bukan saja mengapresiasi masukan, tapi juga minta maaf dan berharap NU, Muhammadiyah, dan PGRI bersedia membimbing pemerintah dalam proses pelaksanaan program.

Sikap semacam itu adalah sikap seorang negarawan. Tapi, sebelum lebih jauh dijelaskan, mengingat barangkali tidak semua orang mengikuti isu POP, saya akan jelaskan secara ringkas apa persoalan yang menghadang program Kemendikbud ini.

POP adalah program penyaluran dana bagi banyak lembaga di Indonesia yang bersedia melakukan pelatihan guru dan kepala sekolah selama satu tahun. Dana yang tersedia lebih dai Rp 500 miliar. Yang menerima dana tersebut mencapai ratusan organisasi.

Untuk dianggap layak menerima dana POP, setiap organisasi harus membuat proposal yang dapat dipertanggungjawabkan tentang apa yang akan mereka lakukan selama setahun ke depan. Penerima dana juga harus berbadan hukum resmi, punya NPWP, punya neraca keuangan yang sudah diaudit, punya SPT pajak, punya rekening bank, dan seterusnya, dan seterusnya. Yang menilai kelayakan bukanlah kementerian. Kemendikbud menunjuk sebuah lembaga independen, SEMERU namanya.

POP menjadi ramai dibicarakan karena NU dan Muhammadiyah pekan lalu tiba-tiba saja menyatakan menarik diri sebagai pihak yang menerima dana hibah. Lalu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun juga bilang mundur.

Sejauh ini yang saya dengar ketiga organisasi tersebut masih belum mau menerima Nadiem. Saya tidak paham kenapa. 

Baca juga: Denny Siregar: Nadiem Makarim di Antara NU dan Muhammadiyah

Ada sejumlah alasan yang dinyatakan NU dan Muhammadiyah. Pertama, mereka protes karena tidak semua anak organisasi mereka diputuskan pemerintah untuk menjadi penerima dana POP karena proposal yang diajukan dianggap tidak memadai. Begitu juga ada sejumlah anak organisasi mereka ditolak karena tidak berbentuk badan hukum.

Kedua, mereka juga melihat bahwa ada banyak organisasi yang diputuskan menerima bantuan dana POP, menurut mereka adalah organisasi-organisasi yang tidak punya pengalaman, dan tidak dikenali track record-nya dalam dunia pendidikan.

Dan keberatan terakhir yang mereka ajukan adalah terpilihnya Yayasan Tanoto dan Yayasan Sampoerna, dua yayasan di bawah konglomerat terbesar di Indonesia, sebagai pihak penerima hibah.

Menurut mereka, kedua yayasan itu seharusnya tidak menerima bantuan, melainkan justru memberi sumbangan untuk dana POP. Kayaknya sih NU dan Muhammadiyah tidak terima, sementara banyak anak organisasi mereka yang berpengalaman selama berpuluh tahun dalam dunia pendidikan ditolak, hanya karena alasan proposal dan ketidaklengkapan persyaratan dokumen, dana malah dialirkan ke organisasi-organisasi yang menurut mereka tidak jelas, dan bahkan kedua yayasan di bawah perusahaan raksasa.

Mereka bilang seharusnya terhadap organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, pemerintah tidak perlu memberlakukan persyaratan proposal dan dokumen yang terlalu ketat. Menurut mereka, pemerintah seharusnya lebih melihat rekam jejak kedua organisasi ketimbang menetapkan persyaratan administratif yang rumit.

Nah, halnya PGRI, walau ada kemiripan kritik, tapi sebetulnya keberatan mereka berbeda. PGRI misalnya juga mengkritik keterlibatan Yayasan Tanoto dan Sampoerna. Tapi yang tampaknya menjadi keberatan utama PGRI adalah terpilihnya asosiasi guru sejenis yang selama ini memang dianggap sebagai pesaing PGRI sebagai lembaga penerima dana POP.

Walau tidak dinyatakan secara terbuka, yang tampaknya bikin marah PGRI adalah terpilihnya Ikatan Guru Indonesia (IGI) dalam daftar penerima. Satu hal lagi alasan yang dikatakan PGRI, walau menurut saya agak mengherankan, adalah PGRI menganggap timing penyelenggaraan POP ini tidak pas. Jadi menurut PGRI sebaiknya program ini dilakukan seusai era pandemi Covid-19.

Sekarang ini, kata PGRI, sebaiknya dana POP dialihkan pada program-program riil seperti peningkatan kesejahteraan guru atau membantu anak didik yang kurang mampu.

Saya sebut agak mengherankan karena kalau alasan timing ini memang ada, mengapa PGRI sempat mengajukan proposal, dan bahkan sudah dinyatakan berhak menerima dana POP? Mengapa baru kemudian menyatakan mundur, setelah ada kritik NU dan Muhammadiyah?

Tapi baiklah, terlepas dari itu, gara-gara protes tiga organisasi besar tersebut, POP jadinya sempat ditunda. Para pengkritik bahkan menuntut pemerintah membatalkan program ini.

Dan seperti biasa, gerombolan gorengan pun turun tangan. Yang diserang bukan cuma Nadiem, tapi juga jokowi. Isu yang dibangun adalah pemerintah mengalirkan dana APBN kepada konglomerat, dan mengabaikan organisasi-organisasi Islam. Apalagi kebetulan kedua yayasan tersebut memang berada di bawah naungan pengusaha Tionghoa. Ramailah jadinya.

Mudah-mudahan bukan karena pemimpin organisasi tersebut merasa di atas angin dan jual mahal. Mudah-mudahan bukan karena mereka merasa tersinggung.

Nadiem Makarim: Dengan Rendah Hati Saya Minta Maaf

Bahkan ada suara-suara miring yang berusaha membangun narasi bahwa Nadiem adalah seorang menteri yang seharusnya memang dilengserkan dari kabinet Jokowi. Jadi, Nadiem sebenarnya berada pada posisi sulit. Tapi Nadiem kemudian mengambil keputusan. Dan seperti yang saya katakan di awal, apa yang dilakukannya mengagumkan.

Nadiem menghadapi gelombang serangan dengan cara yang matang dan rendah hati. Dia tidak ngotot. Pemerintah kan bisa saja dengan mudah menjelaskan pada publik bahwa semua metode penseleksian profesional sudah diterapkan, dan ternyata, dengan sangat disayangkan, banyak organisasi yang berada di bawah naungan NU dan Muhammadiyah tidak bisa diloloskan.

Nadiem bisa saja mengatakan pemerintah harus objektif dan tidak bersifat pilih kasih. Nadiem juga bisa menyatakan bahwa keputusan untuk menyalurkan dana melalui Tanoto dan Sampoerna sepenuhnya didasarkan pada penilaian objektif.

Nadiem bisa saja mengatakan apabila NU, Muhammadiyah, dan PGRI mengundurkan diri, dana tentu saja bisa disalurkan pada banyak organisasi lain. Semua bisa saja kalau Nadiem arogan. Tapi ini yang tidak terjadi. Nadiem mendengar. Nadiem memutuskan tidak ada dana APBN mengalir ke Tanoto dan Sampoerna.

Nadiem mengakui ada kelemahan dalam proses penseleksian penerima hibah. Nadiem meminta maaf dan menyatakan perlu belajar, dan mengharapkan bimbingan dari ketiga organisasi tersebut. Nadiem sebagai menteri bahkan menjadi pihak yang meminta waktu untuk bertemu dengan pemimpin NU dan Muhammadiyah. Nadiem sebagai menteri sudah merendahkan dirinya untuk berbicara dengan ketiga organisasi tersebut.

Itu luar biasa. Sejauh ini yang saya dengar ketiga organisasi tersebut masih belum mau menerima Nadiem. Saya tidak paham kenapa. Mudah-mudahan bukan karena pemimpin organisasi tersebut merasa di atas angin dan jual mahal. Mudah-mudahan bukan karena mereka merasa tersinggung. Mudah-mudahan para pemimpin ketiga organisasi tersebut bersedia menyambut kesediaan Nadiem meminta maaf dan melakukan koreksi program.

Buat saya, logisnya, begitu Tanoto dan Sampoerna tidak lagi menerima dana APBN, persoalan harusnya selesai. Paling-paling permintaan tambahannya adalah agar pemerintah memutuskan ada lebih banyak anak organisasi NU dan Muhammadiyah menjadi penerima dana POP. Mudah-mudahan itu saja. Karena, terus terang, kalau lebih dari itu, banyak orang yang justru akan mempertanyakan ketulusan dan komitmen ketiga organisasi besar tersebut.

Masyarakat juga berhak berharap pemerintah menerapkan standar objektif dan profesional. NU, Muhammadiyah, dan PGRI adalah tiga organisasi yang memang sudah berjalan luar biasa bagi bangsa ini. Komitmen dan pengabdian ketiga organisasi ini tidak pernah boleh diragukan.

Namun pada akhirnya, keterlibatan mereka dalam program POP harus ditata sedemikian rupa dengan cara yang akan membawa kemaslahatan sebesar-besarnya buat rakyat Indonesia. Kita harus sadar bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita bisa bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Semoga kita tetap bisa menilai semua yang terjadi dengan akal sehat. Bukan dengan kecurigaan, kebencian, dan kesombongan, melainkan dengan akal sehat. Karena hanya kalau kita menggunakan akal sehat, negara ini akan selamat.

*Dosen di Universitas Indonesia

Berita terkait
Nadiem Makarim Jelaskan Tujuan POP di Forum KPK
Berdasarkan misi POP, Nadiem Makarim menegaskan pemerintah tak mampu bekerja sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan
Alasan Nadiem Makarim Libatkan Sampoerna dan Tanoto
Usai minta maaf, Nadiem Makarim tetap ingin memasukkan Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Tanoto sebagai peserta POP.
Denny Siregar: Nadiem Makarim, Sudahi Belajar di Rumah
Denny Siregar meminta Nadiem Makarim menyudahi belajar di rumah, mengembalikan anak-anak ke sekolah dengan protokol, menjaga dengan tangan besi.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.