Kementerian ATR/BPN Gelar Studi Komparasi Kehidupan Suku Bajo di Asia Tenggara

Kementerian ATR/BPN terus memberikan perhatian terkait keberadaan masyarakat di kawasan pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil.
Diskusi GTRA Summit Road to Wakatobi dengan tema Studi Komparasi Kehidupan Masyarakat Suku Bajo di Asia Tenggara.(Foto: Tagar/Kementerian ATR/BPN)

Jakarta - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus memberikan perhatian terkait keberadaan masyarakat di kawasan pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil. 

Pemahaman mendalam terhadap masyarakat di kawasan ini menjadi hal krusial agar pembangunan serta pengembangan kawasan pesisir dan perairan dapat terlaksana sesuai kebutuhan.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra berkata, ia pernah mengunjungi Suku Bajau atau yang lebih dikenal dengan Suku Bajo. Suku Bajo di Indonesia sendiri bertempat di Kampung Mola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara


Kita terus proaktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti agenda pemulihan ekonomi inklusif G20, memastikan tidak ada yang tertinggal.


“Hal ini menjadi penting untuk mengerti situasi dan kondisi mereka, tentunya bertujuan untuk memenuhi hak mereka sebisa mungkin,” tutur Surya Tjandra pada diskusi GTRA Summit Road to Wakatobi dengan tema Studi Komparasi Kehidupan Masyarakat Suku Bajo di Asia Tenggara secara daring belum lama ini.

Dalam diskusi kali ini, Surya Tjandra menyebut pentingnya beberapa aspek dilakukan terkait keberadaan Suku Bajo. Surya Tjandra berkata bahwa bagaimana pemerintah memastikan masyarakat Suku Bajo diakui agar hak-hak sipil dan sumber dayanya menjadi lebih optimal. 

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan terkait hak atas tanah serta akses finansial masyarakat Bajo namun tetap menjamin agar konservasi wilayah laut dan pesisir tetap seimbang.

Berdasarkan diskusi hari ini, Surya Tjandra mengatakan, terdapat kesamaan antara masyarakat Bajo di Asia Tenggara seperti di Malaysia dan Thailand. 

Ia menyebut dalam kasus masyarakat Bajo di Thailand, terdapat beberapa isu seperti menguatnya batas antara Thailand dan Filipina sehingga budaya dan tradisi nomaden atau berpindah-pindah masyarakat Bajo menjadi melemah. 

“Belum lagi ancaman ketersediaan ikan di laut, ditambah tentang kesalahpahaman terkait stereotype gaya hidup masyarakat Bajo yang membuat tekanan lebih menguat. Hal ini membuat perlunya revitalisasi kehidupan Masyarakat Bajo di mana pemerintah harus lebih sensitif terhadap cara hidup mereka,” jelas Surya Tjandra.

Lebih lanjut, Wamen ATR/Waka BPN menyampaikan pentingnya memahami kondisi suku Bajo sesuai dengan semangat Presidensi G20 Indonesia. Presidensi G20 Indonesia secara khusus menaruh fokus pada keberlanjutan dan inclusivity dalam rangka pemulihan ekonomi. 

“Kita terus proaktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti agenda pemulihan ekonomi inklusif G20, memastikan tidak ada yang tertinggal,” jelas Surya Tjandra.

Menjelang Presidensi G20 Indonesia, Kementerian ATR/BPN juga akan menggelar Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022, forum diskusi lintas sektor yang akan berlangsung pada Rabu s.d. Jumat, 8 s.d. 10 Juni 2022 bertempat di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. GTRA Summit 2022 membawa tema 

"Menuju Puncak Presidensi G20: Pemulihan Ekonomi yang Inklusif dan Berwawasan Lingkungan melalui Reforma Agraria, Harmonisasi Tata Ruang, dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan," katanya.

Direktur Jenderal Penataan Agraria, Andi Tenrisau menjelaskan terkait beberapa macam Hak yang dapat diberikan bagi Suku Bajo maupun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan perairan lainnya. 

Ia menjabarkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 4 ayat 1 dan 2. 

“Semua wilayah negara kesatuan dimungkinkan diberi hak atas tanah pada permukaan bumi termasuk yang tertutup dengan air, termasuk ruang atas dan ruang bawah apabila berhubungan langsung dengan permukaan bumi, itu amanat UUPA,” ujarnya.

Andi Tenrisau juga berkata amanat UUPA ini semakin diperluas dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang juga menyebut bahwa Hak Atas Tanah (HAT) dapat diberikan pada permukaan bumi, ruang atas, dan ruang bawah. 

“Kapan ini berlaku? Ketika tidak ada hubungan antara konstruksi atau bangunan di permukaan bumi dan pada ruang bawah atau ruang atas. Artinya kalau ada bangunan kemudian patoknya tidak langsung ke tanah atau terapung, maka itu masuk dalam pemberian hak atas tanah pada ruang atas. Berdasarkan UUCK, baru diberikan HAT setelah mendapat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," pungkasnya. []

Berita terkait
Sofyan Djalil: Masyarakat Aceh Tak Akan Melupakan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami
Menteri ATR/BPN SOfyan Djalil mengatakan bahwa kegiatan yang diselenggarakan hari ini untuk memperingati 17 tahun bencana tsunami Aceh.
Kasus Mafia Tanah, Sofyan Djalil: Kementerian ATR/BPN Berikan Perhatian Serius
Maraknya kasus mafia tanah akhir-akhir ini yang tampil di berbagai media, akan memberikan tekanan kepada para pihak yang seharusnya menanganinya.
Sofyan: Berantas Seluruh Oknum Mafia Tanah hingga ke Akarnya
Menteri ATR/BPN Spfyan A. Djalil meminta semua pihak ikut serda dalam memberantas oknum mafia tanah hingga ke akau-akarnya dan tak tersisa lagi.