Keluh Kesah Penggarap Lahan Sultan Ground di Bantul

Dua warga mengeluhkan pemanfaatan lahan Sultan Ground di Bantul, Yogyakarta.
Arman dan Maryanto menceritakan keluh kesahnya saat mendatangi Kantor DPRD Bantul pada Senin, 2 Maret 2020. (Foto: Tagar/Kiki Luqman)

Bantul - Dua warga penggarap lahan pasir Sultan Ground (SG) di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul, Yogyakarta mengeluhkan larangan penggunaan buldoser untuk meratakan lahan. Mereka adalah Arman Apriyanto, 29 tahun dan Maryanto, 40 tahun, warga Banaran, Galur, Kabupaten Kulon Progo.

Dua warga ini sudah satu bulan terhambat menanam melon akibat larangan itu. Padahal keduanya sudah lama menggarap lahan SG sejak empat tahun lalu. Namun, baru sekarang ini dipermasalahkan dan dirugikan. "Sejak tanggal 11 Februari kemarin, pas kami sedang menyiapkan lahan dengan buldoser, tiba-tiba dihentikan," kata Arman saat mengadu di DPRD Bantul pada Senin 2 Maret 2020.

Dia mengatakan penghentian paksa itu dilakukan oleh seseorang perangkat desa dengan alasan merusak lingkungan. Penggarapan lahan harus dilakukan dengan cara manual.

Tetapi, kata dia, cara itu jelas tidak mungkin karena membutuhkan waktu yang sangat lama. Dia menduga hanya alasan saja, karena selain diminta untuk menggarap pertanian secara manual juga diminta melakukan perjanjian izin kepada desa.

Arman mengatakan tanah SG yang berada di Selatan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) itu sejak 1948 sudah dikelola turun temurun oleh warga Poncosari. "Warga di sana memanfaatkan Sultan Ground, berdasarkan sosialisasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu, yang mengatakan tanah boleh digarap dan hasilnya silakan dimanfaatkan warga namun tanah tersebut tidak boleh dijual," katanya.

Warga Poncosari berpegang aturan disana. Namun selama ini warga pemegang hak pakai SG tidak bisa mengelola pertanian. Akhirnya diserahkan kepada kelompok petani penggarap lahan, dengan perjanjian bagi hasil.

Arman mengaku menggarap lahan SG seluas 8.000 meter persegi sejak 2016. Tidak ada kontrak hitam di atas putih. Perjanjian saat itu dengan warga Poncosari selaku pemegang hak pakai SG hanya sebatas bagi hasil.

Berdasarkan sosialisasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu, yang mengatakan tanah boleh digarap dan hasilnya silakan dimanfaatkan warga namun tanah tersebut tidak boleh dijual.

Menurut Arman lahan yang semula kosong menjadi lebih produktif dengan menanam berbagai macam tanaman holtikultura. Mulai dari melon, cabai hingga terong dengan hasil maksimal. "Saya sebenarnya datang ke Bantul bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi memacu semangat kelompok tani setempat untuk bertani," ucap dia.

Namun setelah menjadi lahan produktif, tanah SG diklaim menjadi tanah kas desa dan tidak bisa dipergunakan lagi. Lahan yang semula SG dipatok bertuliskan Tanah Desa Poncosari. Saat akan memanfaatkan lahan tersebut, diminta melakukan perjanjian izin kepada pemerintah desa. Arman menolak, karena merasa sudah melakukan perjanjian dengan warga pemilik hak pakai SG.

Tetapi patok bertuliskan tanah kas Desa semakin banyak. Jumlahnya ratusan dan tersebar di sepanjang lahan pertanian. Saat ini patok tersebut sudah dicabut oleh para petani.

Tak Ada Pematokan Sultan Ground

Diceritakan, di lahan seluas sekitar 7 hektar itu ada 18 warga pemilik hak pakai SG yang digarap ada lima orang. Dari kelima penggarap lahan pertanian SG, mengapa hanya dirinya yang dipersulit. Bahkan menghentikan pekerjaannya di tengah jalan tanpa ada pemberitahuan atau sosialisasi terlebih dahulu. "Tiba-tiba menyetop begitu saja saat kita merapikan tanah," kata Arman.

Maryanto mengaku pernah meminta penjelasan langsung kepada Dukuh setempat maupun pihak Desa. Namun tidak pernah ada jawaban yang memuaskan. 

"Kalau itu memang tanah milik kas desa seharusnya ada peta di desa. Tetapi kami minta untuk menunjukkan mana saja yang masuk tanah kas desa. Mereka tidak menunjukkan," kata dia.

Dia mengaku mengelola pertanian lahan pasir di Poncosari sejak setahun silam. Luasnya sekitar 3.000 meter persegi.

Sementara itu, Lurah Desa Poncosari, Supriyanto membantah ada pematokan lahan tanah SG, apalagi menjadi tanah kas desa. "Tanah Sultan Ground ya tanah Sultan Ground. Tanah kas desa ya tanah kas desa. Tidak ada pematokan," katanya.

Dia juga mengatakan pertanian menggunakan alat berat sudah ada sejak lama di lahan pertanian pasir. Tanah Kas Desa Poncosari sendiri luasnya sekitar 15 hektar. Lokasinya tersebar, termasuk yang ada di wilayah pantai Cangkring yang selama ini dimanfaatkan sebagai pertanian dan Wisata. []

Baca Juga:

Berita terkait
Kronologi Sengketa Hak Kekancingan Sultan Ground
PKL yang membuka lapak di atas tanah Sultan Ground terancam tergusur setelah kalah gugatan sengketan hak kekancingan dari Keraton Yogyakarta.
Sengketa Hak Kekancingan di Atas Tanah Sultan Ground
PKL yang menempati lahan Sultan Ground terusik digusur setelah sengketa dengan pemilik kekancingan memang di tingkat kasasi di MA.
PT KA Daop 6 Gusur Puluhan Warga di Lahan Sultan Ground
Sebanyak 58 kepala keluarga (KK) digusur oleh PT KA Daerah Operasional (Daop) 6 Yogyakarta dari tempat tinggalnya.
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara