Kekejaman Tim Mawar Sang Penculik Aktivis 98

Tim Mawar merupakan tim kecil yang disebut bertugas untuk melakukan penculikan terhadap aktivis pro demokrasi pada 1997-1998.
Mantan komandan Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD Mayjen TNI Purnawirawan Chairawan Nusyirwan menjawab para jurnalis. (Foto: Antara/Dyah Dwi Astuti)

Jakarta - Satuan Tugas Mawar atau lebih kesohor Tim Mawar merupakan tim kecil yang disebut bertugas untuk melakukan penculikan terhadap aktivis pro demokrasi pada 1997-1998. Tim Mawar ini juga dikenal sebagai Tim Mawar Kopassus atau Tim Mawar Prabowo.

Prabowo Subianto sebagai Danjen Kopassus kala itu diduga yang membuat perintah terbentuknya Tim Mawar untuk menculik dan menghabiskan nyawa para aktivis 98.

Sementara keluarga korban aktivis yang diculik oleh Tim Mawar sampai detik ini masih mencari kepastian mengenai nasib keluarganya, hidup atau matikah mereka. 

Berdasarkan data KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), selama periode 1997-1998 ternyata 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dengan rincian, satu orang meninggal dunia, 13 orang hilang masih belum ada kejelasan, sementara sembilan lainnya sudah kembali ke keluarga.

21 tahun silam, tepatnya 13 Maret 1998 adalah hari yang tak terlupakan bagi Mugiyanto dan kawan-kawannya. Mugi, sapaannya, adalah salah satu aktivis 1998 yang menjadi korban penculikan, disekap dan dipenjara oleh orang-orang yang diduga kaum 'militer', hingga akhirnya dikembalikan pada keluarga dalam keadaan bernyawa.

"Saya sebetulnya ada suasana apa ya mencekam di ruangan ini, bukan panasnya, tapi gelapnya. Jadi, kami punya bayangan ketika kami disekap. Saya, Reza, kemudian Aan, ruangannya mungkin seperti ini, gelap," tuturnya dalam konferensi pers Keluarga Korban Penculikan Aktivis 1997-1998, Kembalikan Kawan Kami, Kalahkan Capres Pelanggar HAM, di Jalan Cemara 1 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 13 Maret 2019.

Mugi menceritakan bagaimana awalnya dia diculik dari rumah yang dihuni bersama teman-temannya. Mereka yang juga aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), organisasi afiliasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituding sebagai dalang peristiwa Kudatuli (kerusuhan 27 Juli 1996).

"Satu hari setelah tanggal 12 yaitu hari ini, bagi saya dan Aan juga hari yang luar biasa, dalam artian 13 maret 1998, saya Aan Rusdianto, dan Nezar Patria diculik, kami diambil dari rumah kontrakan kami di Jakarta Timur, di rumah susun Klender," beber dia.

Mugi, yang kini menjadi Ketua Dewan Penasehat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) tidak meceritakan secara detail, di mana sebenarnya dia disekap, dua hari dua malam. Hanya saja, dia ingat penyekapannya berakhir ketika dia dijebloskan ke penjara dijerat undang-undang Anti-Subversi. 

"Saya dan Aan kemudian ditutup mata, dibawa, disekap, kemudian dua hari dua malam di sana, kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya, dan kami dilepaskan setelah tiga bulan ditahan di Polda Metro Jaya, tanggal 13 Maret," terang dia.

Mugiyanto, bukan satu-satunya yang dikembalikan utuh. Aktivis lain yang juga kembali dengan keadaan bernyawa antara lain Aan Rusdianto dan Nezar Patria, yang diculik pada 13 Maret bersama Mugi, Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, diculik di panpan RSCM, 2 Februari 1998, Faisol Reza dan Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998, dan Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998.

Penculikan AktivisPenculikan Aktivis 1998

Duka Mendalam

Sebenarnya hingga kini, sebanyak 13 aktivis pro demokrasi korban penculikan lainnya memang tidak diketahui keberadaannya. Mereka adalah Wiji Thukul, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.

Sementara Leonardus Gilang Iskandar alias Gilang, tewas mengenaskan dengan jasad terbungkus plastik. Dia ditemukan oleh petani Magetan, telah tewas dan dikuburkan dengan kondisi tangan kanan terikat di pohon. Tangan tersebut menyembul ke atas permukaan tanah. 

Diketahui, terdapat luka tembak di tubuh Gilang, badannya sobek terkena senjata tajam, tampak jelas beberapa organ tubuhnya keluar. Hal tersebut dikisahkan oleh Budiarti, saat dijumpai Tagar di Hotel Cemara, Jakarta Pusat, Rabu 13 Maret 2019. 

Budiarti, Kejahatan HAMBudiarti, ibunda Gilang, saat berbincang bersama Tagar News di Jakarta. (Foto: Tagar/Morteza)

"Jasadnya ditemukan di dalam hutan di Magetan, dekat Sarangan sama petani. Tangan kanan anakku diikat di pohon, mayatnya diuntel-untel plastik lalu dikubur asal-asalan, asal masuk lubang saja. Seingat ku ada 2 luka tembak di pundaknya dan satu di ulu hati," ucap Budiarti dengan raut wajah pilu. 

Gilang tutup usia saat berumur 21 tahun. Dia hilang pada April 1998 di Solo, dan ditemukan 3 hari kemudian di Magetan, Jawa Timur, dalam keadaan meninggal dengan kondisi memprihatinkan, karena terdapat beberapa luka tembak dan sayatan senjata tajam di tubuhnya.

Keterlibatan Prabowo Subianto dalam aksi penculikan aktivis yang dilakukan Tim Mawar kembali terangkat pada 2018. Arsip Keamanan Nasional (NSA) merilis 34 dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) terkait situasi sekitar reformasi di Indonesia. Salah satunya arsip tertanggal 7 Mei 1998 yang mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang. 

“Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto,” demikian yang tertulis dalam dokumen itu, dikutip dari BBC, 25 Juli 2018. 

Prabowo boleh jadi tidak terlibat langsung dalam garis komando Tim Mawar yang beranggotakan para anak buahnya yang personel Kopassus itu. Namun, bukan mustahil juga Prabowo yang memerintahkan penculikan tersebut atas titah mertuanya, sebagaimana diungkap dalam dokumen rahasia AS.

Pada akhirnya, anggota Tim Mawar menjalani sidang militer di pengadilan Mahkamah Militer II Jakarta dalam kasus penculikan sembilan aktivis 98 pro demokrasi sebelum kejatuhan rezim Soeharto pada 1998.

Pada Selasa 6 April 1999, dalam persidangan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta yang dipimpin Kolonel (Chk) Susanto, diputus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999. Alhasil, Komandan Tim Mawar Mayor (Inf) Bambang Kristiono divonis 22 bulan penjara dan dipecat anggota TNI

Kapten (Inf) Fausani Syahrial Multhazar selaku Wakil Komandan Tim Mawar, Kapten (Inf) Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten (Inf) Yulius Selvanus dan Kapten (Inf) Untung Budi Harto, masing-masing divonis 20 bulan penjara dan dipecat sebagai anggota TNI. 

Sementara enam prajurit lainnya divonis penjara tapi tak dipecat sebagai anggota TNI. Mereka adalah Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda, Kapten (Inf) Djaka Budi Utama, Kapten (Inf) Fauka Noor Farid masing-masing 1 tahun 4 bulan. 

Sedangkan Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Kelima prajurit yang dipecat mengajukan banding sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka.

Berita terkait:

Berita terkait
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.