Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id - Beberapa hari belakangan ini media massa dan media online ramai memberitakan ulah seorang laki-laki, inisial I, 56 tahun, penjaga malam di kompleks pemakaman Mbah Ratu, Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur, yang melampiaskan dorongan seksual kepada beberapa anak-anak, laki-laki dan perempuan, berumur 5 – 10 tahun.
Kepada polisi di Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Kota Surabaya, I mengaku khilaf. Tentu saja alasan I tidak bisa diterima akal sehat karena dia melakukan dengan beberapa anak-anak dalam waktu yang berbeda pula. Yang sudah dilaporkan orang tuanya ada empat anak. Diduga ada korban lain. Kejahatan seksual itu sudah direncanakan apalagi I melakukan bujuk rayu dan memberi uang jajan.
1. Pelaku Kejahatan Seksual Powerfull dan Voice Full
Persoalan kian runyam karena banyak orang, bahkan perempuan, yang selalu menyalahkan korban dalam kasus-kasus kejahatan seksual. Dari aspek kriminalitas orang-orang yang membela pelaku dan menyalahkan korban bisa dikategorikan sebagai orang yang turut membantu perbuatan kejahatan seksual sehingga bisa dipidana.
Dalam kejahatan seksual korban ada di posisi powerless (tidak berdaya) dan voiceless (tak bisa bersuara) karena posisi pelaku ada di powerfull (kuat) dan voice full (bisa bersuara) dengan dukungan orang-orang yang menyalahkan korban.
Lebih celaka bagi korban karena wartawan dan polisi memberikan tempat (panggung) kepada pelaku kejahatan seksual untuk menyampaikan alasannya melakukan kejahatan seksual. Lalu, wartawan dan polisi memaparkan kejadian, bahkan secara vulgar. Dalam kondisi ini wartawan dan polisi jadi pelaku: the second rape, the second killer atau the second violence against children or women, dan the second against humatity.
Alasan-alasan pelaku hanya untuk menggiring opini publik agar mereka tidak disalahkan. Di awal tahun 1990-an ada seorang pemuda di Bogor yang memerkosa seorang mahasiswi yang sedang mandi di malam hari. Dengan bantuan polisi pelaku mengatakan bahwa dia memerkosa karena baru selesai menonton film porno di sebuah bioskop di Tajur.
2. Pelaku Seorang Infantofilia Sekaligus Pedofilia
Saya mewawancarai seorang psikolog di Jakarta. Menurut psikolog itu ada beberapa hal terkait alasan pelaku, yaitu:
Pertama, adalah hal yang mustahil ada bioskop memutar film porno.
Kedua, kalau betul film itu mempengaruhi dorongan seksual penonton, seharusnya semua penonton melakukan perkosaan. Tapi, fakta menunjukkan hanya pelaku yang memerkosa.
Ketiga, bisa jadi pelaku sudah mengincar korban. Benar saja karena kepada polisi pelaku mengatakan dia sudah lama mengintai korban ketika sedang mandi di malam hari.
Maka, dari paparan di atas jelas persoalan ada pada pelaku bukan karena film. Banyak orang yang (rutin) menonton film porno atau blue film tapi tidak memerkosa. Ketika media dan polisi memberikan panggung kepada pelaku kejahatan seksual sama saja dengan memberikan kesempatan pada pelaku menggiring opini publik agar menyalahkan korban.
Maka, adalah hal yang mustahil I mengatakan dia khilaf karena I melakukan kejahatan seksual terhadap beberapa korban yang berbeda di waktu yang berbeda pula.
Ulah I terbongkar ketika dua anak perempuan, sebut saja A, 5 tahun, dan B, 8 tahun. Dua anak-anak ini mengeluh karena sakit di kemaluannya. Dua lagi disebut anak laki-laki.
Ada media yang menyebut I sebagai pedofilia. Tapi, kalau dilihat dari umur A di usia 5 tahun, maka I adalah seorang parafilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain. Bisa juga disebut deviasi seksual. Dalam hal ini I adalah seorang infantofilia sekaligus pedofilia.
Infantofilia adalah orang dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak pada rentang usia 0 – 7 tahun. Kasus infantofilia yang ditangani polisi sudah banyak dengan umur korban termuda 9 bulan di Jakarta Timur.
3. Korban Powerless dan Voiceless
Sedangkan pedofilia laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak, laki-laki dan perempuan, umur 7 – 12 tahun. Kasus pedofilia juga sudah banyak yang ditangani polisi.
Dengan demikian I adalah seorang infantofilia sekaligus juga sebagai seorang pedofilia. Dalam kasus pedofilia pelaku tidak melakukan kekerasan. I memberikan ponselnya agar korban bisa menonton TikTok dan memberikan uang jajan. Ini modus konvensional dengan korban orang-orang yang tidak berdaya (powerless), sedangkan pelaku ada di posisi powerfull (kuat).
Terkait dengan infantofilia pelaku biasanya dekat dengan calon korban, bahkan dari keluarga, dengan bersikap sopan menimang bayi, memberi minum dan makan, memandikan, dll. Korban di Jakarta Timur itu meninggal dunia karena infeksi di vagina dengan indikasi ‘penyakit kelamin’ yang ditularkan pelaku yang juga pamannya.
Selama masyarakat, media dan polisi tetap memberikan ruang atau panggung kepada pelaku melakukan pembelaan diri yang didukung oleh setengah orang, maka kejahatan seksual tidak akan pernah bisa dihentikan.
Sanksi hukum pun sangat rendah. I, misalnya, hanya diancam 15 tahun penjara sehingga vonis bisa separuh tuntutan maksimal atau dikebiri. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id