Jakarta - Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati menjelaskan, efikasi vaksin Sinovac di suatu tempat berbeda-beda. Ini tergantung dari tempat dan populasi yang digunakan dalam uji klinis.
Zullies mengungkapkan, efikasi adalah menunjukkan seberapa besar kemampuan vaksin untuk mencegah terjadinya infeksi. Cara menghitung efikasi adalah dengan membandingkan kelompok yang divaksin dengan tidak divaksin.
Ketika efikasinya tinggi, belum tentu tingkat keamanannya juga tinggi. Itu yang menjadi pertimbangan.
Diketahui, dalam uji klinis fase ketiga pada vaksin Sinovac yang diadakan di Bandung, menunjukkan efikasi sekitar 65,3 persen. Angka efikasi tersebut berbeda negara lain, seperti Brazil menyebut efikasi 78 persen, dan Turki 91,25 persen.
"Hal ini dipengaruhi oleh risiko yang ada di tempat uji klinis ada populasi yang digunakan, sehingga ini sangat mungkin suatu uji klinis itu menghasilkan angka efikasi yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Indonesia beda, Brasil beda,Turki beda," ujar Zullies, dikutip Tagar, Jumat, 15 Januari 2021.
Zullies menyampaikan, apabila dalam mendefinisikan suatu kasus dengan menghitung semua OTG dan indikasi yang terkait, maka kasus semakin banyak. Tetapi, jika yang dihitung hanya pasien Covid-19 keadaan sedang hingga berat maka hasil perhitungan akan berbeda.
"Tentu hasil hitungannya berbeda, walaupun itu sebenarnya uji klinis yang sama, menggunakan vaksin yang sama, tetapi hitungan bisa berbeda ketika cara mendefinisikan kasus berbeda," tuturnya.
Selain itu, Zullies juga mengatakan, mempertimbangkan suatu vaksin tidak hanya dari efikasi saja, tapi juga keamanan. Sebab, efikasi dan keamanan merupakan hal yang berbeda.
Apabila suatu vaksin memiliki efikasi tinggi, tetapi kemanannya rendah maka akan banyak menimbulkan efek samping.
"Ketika efikasinya tinggi, belum tentu tingkat keamanannya juga tinggi. Itu yang menjadi pertimbangan," kata Prof Zullies. [] (Grace Natalia Indah)