Untuk Indonesia

Kami Pun Harus Segera Lockdown Jika Tak Ingin Punah

Kini kami tersentak karena Covid-19, virus yang memungkinkan manusia di desa-desa kami punah, jika tidak melakukan lockdown.
Perempuan Baduy sedang menenun. (Foto: Tagar/dok. Ichwan Azahri)

Oleh: Ichwan Azhari*

Surat untuk Kades Baduy (Yang Duluan Lockdown)

Bapak Kepala Desa Kanekes yang baik, mohon maaf sejak saya meninggalkan Baduy delapan tahun yang lalu (2012) baru sekarang saya dapat mengirimkan foto-foto kunjungan saya ke desa Bapak, desa yang berabad-abad telah melakukan lockdown yang sempurna, mengagumkan dan ditulis dalam ratusan literatur antropologi modern.

Kini kami tersentak karena Covid-19, virus yang memungkinkan manusia di desa-desa kami punah, juga yang di kota, di mana-mana punah jika tidak melakukan lockdown, menutup diri dari dunia luar. Seperti yang telah bapak amalkan bersama leluhur bapak turun-temurun, berabad-abad di desa bebukitan yang teduh itu.

Pada saat kampus-kampus kami tutup, saya teringat dan membuka file-file perjalanan saya ke desa Bapak, desa yang berabad-abad melakukan lockdown tapi desanya makmur, tidak ada yang miskin, warganya sejahtera dan bahagia dari sudut pandang orang dalam. Juga sudut pandang sebagian orang luar yang cerdas. Tentu tidak dari sudut pandang pemerintah yang merasa paling (sok) tahu tentang desa-desa seperti desa Bapak ini.

Teori-teori sosiologi pedesaan yang saya pelajari dari Pak Sajogyo waktu saya kuliah di Bogor dulu, mendapat dimensi baru saat saya ke desa Bapak. Salah satu teori itu adalah bagaimana kejamnya ekonomi pasar: keterbukaan desa adalah pintu kemiskinan bagi desa itu, keterbukaan melumpuhkan sendi-sendi sosial, ekonomi, inisiatif dan kekuatan kultural desa.

Program-program dari kota berbaju pemerintah juga kerap lebih merugikan desa, sebagaimana dibongkar Robert Chambers dalam buku teks kuliah saya dulu. Mengagumkan desa Bapak berhasil menolak dunia luar yang merusak tatanan desa itu.

Dari bilik depan 'ruang tamu" Bapak yang bersahaja, di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, yang tanpa dinding dan kursi itu, saya sampai sekarang tidak bisa melupakan bagaimana desa Bapak menolak paket-paket bantuan pangan pemerintah yang terasa seperti meremehkan capaian kemakmuran warga desa Bapak.

Dari bilik itu, hanya selemparan batu jauhnya terletak sekolah dasar pemerintah (SD negeri) tapi anak-anak di desa Bapak tidak perlu disekolahkan pada sistem dari dunia luar itu. Dan dari tempat saya duduk itu, yang hanya lima menit jalan kaki dari ujung aspal tempat kami memarkir mobil, saya bisa melihat kabel listrik bergantungan, tapi tak satu rumah pun di desa Bapak boleh dialiri listrik. Ah, tanpa listrik berabad-abad warga desa ini sampai sekarang bisa hidup dan sejahtera.

Saya ingin menegaskan desa Bapak bukanlah desa terpencil. Semua ada, semua bisa datang atau didatangkan dari luar kalau mau. Kalau mau bisa sama dengan desa-desa lain yang sudah porak-poranda otonomi dan kearifan desanya. Tapi Bapak dan amalan dari leluhur Bapak tak mau dengan segala keterbukaan yang menghancurkan tatanan tradisi ini.

Saya akan kabarkan kepada Bapak apakah inspirasi dari desa Bapak itu bisa kami laksanakan

Lockdown adalah kearifan luar biasa yang bertahan sampai kini. Bahkan terkesan pun lockdown yang ekstrem telah dilakukan di bagian dalam desa Bapak. Tak boleh ada satu pun produk pabrik kapitalisme sampai ke sana.

Dan kini saat hantu Covid-19 datang mendadak ke mana-mana dengan cepat dan misterius, saat yang lain ragu, galau atau menolak lockdown, desa Bapak telah melakukannya sejak lama.

Waktu itu saya duduk dengan suguhan kopi dan gula merah, yang ditanam sendiri oleh warga desa Bapak. Pertama kali itulah saya minum kopi dengan gula merah. Saya jalan ke rumah rumah warga dan tak melihat satu pun dialiri listrik. Saya melihat kesediaan pangan di lumbung padi yang nampak penuh.

Di mana-mana saya melihat perempuan menenun, menumbuk padi, mengenakan perhiasan emas, simbol kemakmuran desa itu. Saya sering berpapasan dengan lelaki yang ke luar dari sungai membawa ikan, membawa kayu bakar dan madu. Rumah-rumah dibangun dengan kayu, bambu, atap rumbia yang ditanam sendiri di desa itu.

Jembatan dibuat dari balutan kayu dan bambu yang menawan dengan teknologi kuno. Di desa Bapak alam dan manusia selaras, seimbang, saya merasa waktu seperti berhenti. Saya merasa seperti terlempar ke dunia lain, ke zaman lain.

Kini pun kami lewat Covid-19 ini seperti tersadar terlempar ke dunia lain, dunia aneh yang menakutkan. Lebih menakutkan karena kami tidak tahu apakah kami bisa kembali lagi, karena telah pergi dan tersesat jauh dari alam.

Terima kasih kehidupan di desa Bapak yang penuh kearifan sudah mengajarkan dan memberikan inspirasi bagaimana dengan menutup diri kita malah lebih kuat dari serangan dunia luar yang membawa virus modernisme, virus eksploitasi ekonomi dan kini, virus Covid-19 yang potensial memusnahkan kami.

Saya percaya walau tidak "seekstrem" Lockdown Baduy, kami bisa selamat dari Covid-19 ini jika segera menutup desa-desa kami di tempat terpencil, atau di pulau-pulau yang jauh dari keramaian dan fasilitas kesehatan modern.

Kepala desa dan pemimpin adat kami harus segera bisa menyelamatkan warga desa dari serangan yang datang begitu cepat. Terlambat akan menyebabkan kematian massal di desa desa tanpa dokter dan tanpa rumah sakit itu.

Desa Bapak bisa menolak banyak hal dari intervensi pemerintah pada kehidupan desa. Tentu desa-desa lain akan bisa juga menimba inspirasi dari desa Bapak, segera menutup desanya dan melakukan lockdown di sudut desa. Pemerintah pusat dalam situasi seperti ini tak akan juga bisa berbuat banyak di tempat terpencil. Di depan hidung saja, di kota-kota besar pemerintah sedang kesulitan menghadapi serangan dahsyat yang mungkin terlambat di antisipasi ini.

Jika desa terpencil lockdown bagaimana kehidupan ekonominya? Kami lupa bahwa desa-desa itu bisa menghidupi dirinya dari dalam, tentu kebutuhan dimaksud bukan dari sudut pandang orang luar.

Pembangunan modern telah menghilangkan apa yang disebut dalam teori sebagai "produksi subsistensi" yang dapat diadopsi menjadi kekuatan desa. Warga memproduksi kebutuhannya sendiri. Dulu tak semua orang harus makan nasi. Ada ubi, keladi, jagung, pisang, sukun, sagu dan kombinasinya. Ada sayuran yang melimpah, ikan dan unggas, ada hutan desa tempat segala nutrisi dan obat-obatan tersedia. Dulu tapi Pak.

Entah pun dengan serangan Covid-19 ini terjadi revolusi di desa-desa kami. Modal sosial dan terobosan budaya akan berlangsung di desa kami. Desa Bapak berabad-abad sampai kini dengan menutup diri bisa tidak mati. Masakan desa kami tidak bisa menutup diri selama beberapa bulan saja agar tidak diserang Covid-19.

Kami perlu cepat menutup desa-desa terpencil kami. Kalau ada bantuan pangan dari pemerintah bisa dititip di pintu desa saja. Kami bisa menggerakkan desa karena sudah menutup rapat pintu desa kami dari serangan Covid-19. Saya akan kabarkan kepada Bapak apakah inspirasi dari desa Bapak itu bisa kami laksanakan. Salam dari Sumatera yang juga sedang berada dalam medan pertempuran. []

Tulisan ini sudah naik di Facebook Ichwan Azhari dengan judul:

Surat Untuk Kades Baduy (Yang Duluan Lockdown)

DESA DESA TERPENCIL KAMI PUN HARUS SEGERA LOCKDOWN, JIKA TIDAK INGIN SEGERA PUNAH

*Penulis adalah seorang sejarawan, pengajar dan ahli filologi Indonesia. Ia merupakan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara.

Berita terkait
Sosok Wali Kota Dedy Yon Supriyono di Balik Tegal Lockdown
Ia menjadi buah bibir usai mengumumkan local lockdown Kota Tegal, Jawa Tengah. Ini profil lengkapnya, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono.
Makassar Tidak Lockdown, Hanya Karantina Parsial
Meski jumlah positif terjangkit virus Corona di Makassar terus mengalami peningkatan yang signifikan, tapi makassar tidak lockdown.
Ganjar Pranowo Bantah Kota Tegal Lockdown Corona
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan Kota Tegal tidak lockdown tapi isolasi terbatas mencegah penyebaran virus corona.
0
PKS Akan Ajukan Uji Materi PT 20%, Ridwan Darmawan: Pasti Ditolak MK
Praktisi Hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa haqqul yaqiin gugatan tersebut akan di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.